31.3 C
Jakarta
Friday, June 6, 2025

Profil Lee Jae Myung, Presiden Baru Korea Selatan: Buruh Pabrik Miskin Kini jadi Pemimpin Negara

PROKALTENG.CO-Pemimpin Partai Demokratik Korea Lee Jae Myung terpilih sebagai presiden baru Korea Selatan usai memenangkan pemilihan presiden (pilpres), Selasa (3/6).

Lee Jae Myung berhasil mengamankan 96,74 persen suara, jauh melampaui lawannya Kim Moon Soo dari partai konservatif, Partai Kekuatan Rakyat (PPP).

Kim Moon Soo telah mengakui kekalahannya dari Lee Jae Myung dalam pilpres ini.

Profil Lee Jae Myung

Lee lahir pada 1963 di sebuah desa terpencil di Andong, Provinsi Gyeongsang Utara sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara.

Saat kelahirannya, Korea Selatan sangat miskin. Bahkan, negara ini berada dalam level produk domestik bruto (PDB) per kapita setara dengan negara-negara Afrika sub-Sahara.

Orang tuanya seperti kebanyakan orang tua lain yang menyadari angka kematian bayi pada masa itu tinggi membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mendaftarkan kelahirannya.

Itu sebabnya tahun kelahiran Lee tercatat resmi pada 1964.

Lee Jae Myung tumbuh di keluarga, yang bahkan menurut standar pada masa itu, sangat miskin. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, ia memutuskan untuk pindah ke Seongnam, Provinsi Gyeonggi.

Di sana ia bekerja sebagai buruh remaja dengan gaji hanya 200 won (sekitar Rp2.371) per hari di pabrik jam untuk menghidupi keluarganya.

Di usia 15 tahun, kecelakaan di tempat kerja membuatnya mengalami cacat permanen pada lengan kirinya.

Namun, Lee menolak untuk membiarkan kesulitan menentukan masa depannya.

Dalam pidatonya tahun 2022, ia mengatakan, “Kemiskinan bukanlah dosa, tetapi saya selalu peka terhadap ketidakadilan yang saya alami karena kemiskinan.”

Meskipun melewatkan pendidikan formal selama bertahun-tahun, Lee lulus dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dengan belajar untuk ujian di luar jam kerja.

Ia juga berhasil mendapatkan beasiswa ke fakultas hukum Universitas Chung-Ang pada 1982.

Selama masa kuliahnya, Pemberontakan Gwangju 1980 mengilhami dia untuk mendedikasikan kariernya pada keadilan sosial dan advokasi bagi mereka yang kurang mampu.

Karier Hukum dan Politik

Setelah lulus, Lee memulai karirnya sebagai pengacara hak asasi manusia di Seongnam, di mana ia dengan cepat mendapatkan reputasi dalam menentang korupsi lokal dan memperjuangkan kepentingan publik, termasuk pendirian rumah sakit umum.

Baca Juga :  Timnas Indonesia vs Korea Selatan: Ujian Berat Nova Arianto di Piala Asia U-17

Aktivisme dan komitmennya terhadap pelayanan publik membawanya ke dunia politik, termotivasi oleh keyakinan bahwa perubahan yang berarti membutuhkan kekuatan politik.

Selama karier hukumnya, Lee dikenal karena memperjuangkan hak-hak orang yang kurang beruntung, termasuk korban kecelakaan industri dan penduduk yang menghadapi penggusuran karena proyek pembangunan kembali kota.

Pada 2006, Lee terjun ke dunia politik untuk pertama kalinya dengan gagal dalam pencalonan sebagai wali kota Seongnam, yang kemudian diikuti dua tahun kemudian dengan kegagalannya dalam pencalonan sebagai anggota parlemen di kota tersebut.

Latar belakang kemiskinannya menjadi alasan ia terjun ke dunia politik.

“Alasan saya terjun ke dunia politik sekarang adalah untuk membantu mereka yang masih menderita dalam jurang kemiskinan dan keputusasaan yang berhasil saya hindari, dengan membangun masyarakat yang adil dan dunia yang penuh harapan,” katanya.

Pada 2010, Lee terpilih sebagai wali kota Seongnam.

Inisiatif kesejahteraannya yang berani termasuk seragam sekolah gratis, dividen pemuda, pembayaran tahunan sebesar 1 juta won untuk anak muda berusia 19 hingga 24 tahun, dan perawatan pascapersalinan publik mendapat perhatian nasional.

Gayanya yang lugas dan terkadang agresif menjadikannya sosok yang memecah belah, sekaligus populer di kalangan warga.

Reputasi Lee sebagai pembaharu semakin kuat selama krisis politik 2016-17, ketika ia menjadi salah satu orang pertama yang menyerukan pemakzulan Presiden Park Geun-hye, yang dimakzulkan karena skandal korupsi.

Pada 2018, ia terpilih sebagai Gubernur Provinsi Gyeonggi, wilayah terpadat di Korea.

Di sana, ia memperkenalkan pembayaran bantuan COVID-19 universal pertama di negara itu dan menerapkan kebijakan agresif pada konstruksi ilegal dan memperluas kesejahteraan sosial.

Kontestasi Pemilihan Presiden

Setelah mengundurkan diri sebagai gubernur, Lee memasuki panggung nasional sebagai kandidat Partai Demokrat dalam pemilihan presiden 2022.

Baca Juga :  Natasha Sapu Bersih Kontes Kecantikan Tanpa Riasan

Ia kalah dari Yoon Suk-yeol dengan selisih suara 0,73 persen suara – selisih terkecil dalam sejarah Korea Selatan.

Lee berhasil memimpin Partai Demokrat meraih salah satu hasil terbaiknya dalam pemilihan parlemen tahun lalu, memberikannya 173 kursi di Majelis Nasional yang memiliki 300 kursi.

Setelah pemakzulan dan pemecatan Yoon dari jabatan presiden setelah deklarasi darurat militer yang berlangsung singkat pada bulan Desember, Lee mendapatkan nominasi dari partainya tanpa tentangan yang serius, dengan mengumpulkan hampir 90 persen suara primer.

Dalam jajak pendapat minggu-minggu menjelang pemungutan suara, Lee selalu unggul jauh dari pesaing terdekatnya, Kim Moon-soo, dari Partai Kekuatan Rakyat yang konservatif sehingga kemenangannya dalam pilpres tak diragukan lagi.

Kontroversi Lee Jae Myung

Karier politik Lee tidak lepas dari kontroversi. Pada 2024 di Busan, Lee nyaris menjadi korban penikaman yang hampir merenggut nyawanya.

Saat ini, Lee sedang menjalani lima proses hukum, yang meliputi tuduhan pelanggaran hukum pemilu dan pelanggaran kepercayaan terkait skandal korupsi tanah.

Setelah terpilih sebagai presiden, Lee diperkirakan akan terbebas dari persidangan selama masa jabatannya yang berlangsung lima tahun.

Menurut konstitusi Korea Selatan, presiden yang sedang menjabat memiliki kekebalan dari penuntutan, kecuali dalam kasus pemberontakan atau pengkhianatan.

Namun, terdapat perdebatan di kalangan ahli hukum mengenai apakah kekebalan ini juga berlaku untuk proses hukum yang sudah berjalan sebelum masa jabatan dimulai.

Untuk mengatasi ketidakjelasan ini, Partai Demokrat pada bulan lalu mengesahkan amandemen hukum pidana yang menyatakan bahwa proses hukum terhadap seseorang yang terpilih sebagai presiden harus ditunda hingga masa jabatannya berakhir.

Meski menghadapi berbagai rintangan tersebut, Lee Jae Myung tetap memperoleh dukungan publik yang kuat, terutama dari kalangan pemilih muda dan kelas pekerja yang merasa terwakili oleh latar belakang serta agenda reformisnya.

Kebangkitannya menjadi cerminan harapan dan ketahanan bagi masyarakat Korea biasa.(np/jpg)

 

PROKALTENG.CO-Pemimpin Partai Demokratik Korea Lee Jae Myung terpilih sebagai presiden baru Korea Selatan usai memenangkan pemilihan presiden (pilpres), Selasa (3/6).

Lee Jae Myung berhasil mengamankan 96,74 persen suara, jauh melampaui lawannya Kim Moon Soo dari partai konservatif, Partai Kekuatan Rakyat (PPP).

Kim Moon Soo telah mengakui kekalahannya dari Lee Jae Myung dalam pilpres ini.

Profil Lee Jae Myung

Lee lahir pada 1963 di sebuah desa terpencil di Andong, Provinsi Gyeongsang Utara sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara.

Saat kelahirannya, Korea Selatan sangat miskin. Bahkan, negara ini berada dalam level produk domestik bruto (PDB) per kapita setara dengan negara-negara Afrika sub-Sahara.

Orang tuanya seperti kebanyakan orang tua lain yang menyadari angka kematian bayi pada masa itu tinggi membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mendaftarkan kelahirannya.

Itu sebabnya tahun kelahiran Lee tercatat resmi pada 1964.

Lee Jae Myung tumbuh di keluarga, yang bahkan menurut standar pada masa itu, sangat miskin. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, ia memutuskan untuk pindah ke Seongnam, Provinsi Gyeonggi.

Di sana ia bekerja sebagai buruh remaja dengan gaji hanya 200 won (sekitar Rp2.371) per hari di pabrik jam untuk menghidupi keluarganya.

Di usia 15 tahun, kecelakaan di tempat kerja membuatnya mengalami cacat permanen pada lengan kirinya.

Namun, Lee menolak untuk membiarkan kesulitan menentukan masa depannya.

Dalam pidatonya tahun 2022, ia mengatakan, “Kemiskinan bukanlah dosa, tetapi saya selalu peka terhadap ketidakadilan yang saya alami karena kemiskinan.”

Meskipun melewatkan pendidikan formal selama bertahun-tahun, Lee lulus dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dengan belajar untuk ujian di luar jam kerja.

Ia juga berhasil mendapatkan beasiswa ke fakultas hukum Universitas Chung-Ang pada 1982.

Selama masa kuliahnya, Pemberontakan Gwangju 1980 mengilhami dia untuk mendedikasikan kariernya pada keadilan sosial dan advokasi bagi mereka yang kurang mampu.

Karier Hukum dan Politik

Setelah lulus, Lee memulai karirnya sebagai pengacara hak asasi manusia di Seongnam, di mana ia dengan cepat mendapatkan reputasi dalam menentang korupsi lokal dan memperjuangkan kepentingan publik, termasuk pendirian rumah sakit umum.

Baca Juga :  Timnas Indonesia vs Korea Selatan: Ujian Berat Nova Arianto di Piala Asia U-17

Aktivisme dan komitmennya terhadap pelayanan publik membawanya ke dunia politik, termotivasi oleh keyakinan bahwa perubahan yang berarti membutuhkan kekuatan politik.

Selama karier hukumnya, Lee dikenal karena memperjuangkan hak-hak orang yang kurang beruntung, termasuk korban kecelakaan industri dan penduduk yang menghadapi penggusuran karena proyek pembangunan kembali kota.

Pada 2006, Lee terjun ke dunia politik untuk pertama kalinya dengan gagal dalam pencalonan sebagai wali kota Seongnam, yang kemudian diikuti dua tahun kemudian dengan kegagalannya dalam pencalonan sebagai anggota parlemen di kota tersebut.

Latar belakang kemiskinannya menjadi alasan ia terjun ke dunia politik.

“Alasan saya terjun ke dunia politik sekarang adalah untuk membantu mereka yang masih menderita dalam jurang kemiskinan dan keputusasaan yang berhasil saya hindari, dengan membangun masyarakat yang adil dan dunia yang penuh harapan,” katanya.

Pada 2010, Lee terpilih sebagai wali kota Seongnam.

Inisiatif kesejahteraannya yang berani termasuk seragam sekolah gratis, dividen pemuda, pembayaran tahunan sebesar 1 juta won untuk anak muda berusia 19 hingga 24 tahun, dan perawatan pascapersalinan publik mendapat perhatian nasional.

Gayanya yang lugas dan terkadang agresif menjadikannya sosok yang memecah belah, sekaligus populer di kalangan warga.

Reputasi Lee sebagai pembaharu semakin kuat selama krisis politik 2016-17, ketika ia menjadi salah satu orang pertama yang menyerukan pemakzulan Presiden Park Geun-hye, yang dimakzulkan karena skandal korupsi.

Pada 2018, ia terpilih sebagai Gubernur Provinsi Gyeonggi, wilayah terpadat di Korea.

Di sana, ia memperkenalkan pembayaran bantuan COVID-19 universal pertama di negara itu dan menerapkan kebijakan agresif pada konstruksi ilegal dan memperluas kesejahteraan sosial.

Kontestasi Pemilihan Presiden

Setelah mengundurkan diri sebagai gubernur, Lee memasuki panggung nasional sebagai kandidat Partai Demokrat dalam pemilihan presiden 2022.

Baca Juga :  Natasha Sapu Bersih Kontes Kecantikan Tanpa Riasan

Ia kalah dari Yoon Suk-yeol dengan selisih suara 0,73 persen suara – selisih terkecil dalam sejarah Korea Selatan.

Lee berhasil memimpin Partai Demokrat meraih salah satu hasil terbaiknya dalam pemilihan parlemen tahun lalu, memberikannya 173 kursi di Majelis Nasional yang memiliki 300 kursi.

Setelah pemakzulan dan pemecatan Yoon dari jabatan presiden setelah deklarasi darurat militer yang berlangsung singkat pada bulan Desember, Lee mendapatkan nominasi dari partainya tanpa tentangan yang serius, dengan mengumpulkan hampir 90 persen suara primer.

Dalam jajak pendapat minggu-minggu menjelang pemungutan suara, Lee selalu unggul jauh dari pesaing terdekatnya, Kim Moon-soo, dari Partai Kekuatan Rakyat yang konservatif sehingga kemenangannya dalam pilpres tak diragukan lagi.

Kontroversi Lee Jae Myung

Karier politik Lee tidak lepas dari kontroversi. Pada 2024 di Busan, Lee nyaris menjadi korban penikaman yang hampir merenggut nyawanya.

Saat ini, Lee sedang menjalani lima proses hukum, yang meliputi tuduhan pelanggaran hukum pemilu dan pelanggaran kepercayaan terkait skandal korupsi tanah.

Setelah terpilih sebagai presiden, Lee diperkirakan akan terbebas dari persidangan selama masa jabatannya yang berlangsung lima tahun.

Menurut konstitusi Korea Selatan, presiden yang sedang menjabat memiliki kekebalan dari penuntutan, kecuali dalam kasus pemberontakan atau pengkhianatan.

Namun, terdapat perdebatan di kalangan ahli hukum mengenai apakah kekebalan ini juga berlaku untuk proses hukum yang sudah berjalan sebelum masa jabatan dimulai.

Untuk mengatasi ketidakjelasan ini, Partai Demokrat pada bulan lalu mengesahkan amandemen hukum pidana yang menyatakan bahwa proses hukum terhadap seseorang yang terpilih sebagai presiden harus ditunda hingga masa jabatannya berakhir.

Meski menghadapi berbagai rintangan tersebut, Lee Jae Myung tetap memperoleh dukungan publik yang kuat, terutama dari kalangan pemilih muda dan kelas pekerja yang merasa terwakili oleh latar belakang serta agenda reformisnya.

Kebangkitannya menjadi cerminan harapan dan ketahanan bagi masyarakat Korea biasa.(np/jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru