26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kemendikbud Catat 718 Bahasa Daerah di Indonesia

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
melalui Badan Bahasa dan Perbukuan mencatat, bahwa saat ini Indonesia memiliki
718 bahasa daerah.

Kepala Badan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud, Dadang Sunendar mengatakan,
bahwa jumlah yang ada saat ini bertambah dari sebelumnya pada tahun lalu
Indonesia hanya memiliki 668 bahasa daerah.

“Sampai bulan Oktober ini ada penambahan jumlah bahasa di Indonesia. Tahun
lalu Oktober, jumlah bahasa 668. Sekarang menjadi 718 bahasa daerah. Ini tidak
termasuk dialek atau gaya bahasa, tapi bahasa saja,” kata Dadang di Jakarta,
Kamis (24/10).

Dadang menyebutkan, penambahan ini kebanyakan terjadi di wilayah timur
Indonesia. Provinsi Papua mengalami penambahan paling banyak yakni 26 bahasa,
sementara Papua Barat bertambah sebanyak tujuh bahasa.

Sedangkan Provinsi Maluku bertambah delapan bahasa dan Maluku Utara
bertambah satu bahasa. Adapun di Provinsi Sulawesi Barat bertambah sebanyak
empat, Nusa Tenggara Timur (NTT) bertambah sebanyak tiga bahasa, dan Kalimantan
Utara sebanyak satu bahasa.

Baca Juga :  Pimpinan DPR Berharap Pemerintah Segera Kirim Draf Usulan Pemindahan I

“Total tahun ini bertambah 50 total bahasa,” ujarnya.

Dengan bertambahnya jumlah bahasa daerah, Dadang berharap pemerintah daerah
(Pemda) harus ikut berperan aktif dalam penguatan dan pelestarian bahasa
daerah.

Berdasarkan Undang-undang 24 Tahun 2009 Pasal 41 dinyatakan urusan
pengembangan, pembinaan, dan perlindungan Bahasa Indonesia adalah kewenangan
pemerintah pusat.

“Namun, pada Pasal 42, dinyatakan bahwa pemerintah daerah wajib
mengembangkan, membina dan, melindungi sastra dan bahasa daerah,” terangnya.

Dadang menjelaskan, bentuk kerja sama dengan pemerintah daerah adalah
dengan cara pendampingan. Misalnya, mendorong keluarnya peraturan daerah
(perda), seperti perda tentang pengutamaan bahasa negara dan perlindungan
bahasa dan sastra daerah.

“Pemerintah pusat juga mendorong pemberlakuan muatan lokal (mulok) dalam
kurikulum pendidikan di daerah. Misalnya, di Jawa Barat bisa ada Rabu Nyunda.
Itu tergantung kreativitas kepala daerah masing-masing,” tuturnya.

Dadang menyatakan, komitmen pemda dalam melestarikan bahasa dan sastra
daerah masih tergolong rendah. Hal itu tercermin belum terbentuknya kebijakan
daerah yang pro pada perlindungan bahasa.

Baca Juga :  Pemerintah Menolak Dianggap Lelet Hadapi Covid-19, Ini Alasannya

“Baru lima daerah yang memiliki peraturan daerah terkait dengan pelestarian
bahasa, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera
Utara,” sebutnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa dan Sastra Kemendikbud, RI Gufron Ali Ibrahim menilai, upaya pelestarian
bahasa daerah juga kian terkendala oleh implementasi aturan di lapangan.

“Implementasinya belum berjalan. Salah satu penyebab mungkin karena
sejumlah daerah pinggiran sulit diakses,” ujarnya.

Menurut Ali, faktor ancaman lain berasal dari lingkungan rumah. Menurut
dia, masih banyak orangtua yang tidak mengajarkan bahasa daerah kepada anak.

“Kami akan terus berusaha, agar mendorong pemda untuk menjalankan program
belajar bahasa sendiri di kampung sendiri. Program ini mengharuskan anak-anak
menuturkan bahasa ibu saat di rumah dan bermain bersama teman,” pungkasnya. (der/fin/kpc)

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
melalui Badan Bahasa dan Perbukuan mencatat, bahwa saat ini Indonesia memiliki
718 bahasa daerah.

Kepala Badan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud, Dadang Sunendar mengatakan,
bahwa jumlah yang ada saat ini bertambah dari sebelumnya pada tahun lalu
Indonesia hanya memiliki 668 bahasa daerah.

“Sampai bulan Oktober ini ada penambahan jumlah bahasa di Indonesia. Tahun
lalu Oktober, jumlah bahasa 668. Sekarang menjadi 718 bahasa daerah. Ini tidak
termasuk dialek atau gaya bahasa, tapi bahasa saja,” kata Dadang di Jakarta,
Kamis (24/10).

Dadang menyebutkan, penambahan ini kebanyakan terjadi di wilayah timur
Indonesia. Provinsi Papua mengalami penambahan paling banyak yakni 26 bahasa,
sementara Papua Barat bertambah sebanyak tujuh bahasa.

Sedangkan Provinsi Maluku bertambah delapan bahasa dan Maluku Utara
bertambah satu bahasa. Adapun di Provinsi Sulawesi Barat bertambah sebanyak
empat, Nusa Tenggara Timur (NTT) bertambah sebanyak tiga bahasa, dan Kalimantan
Utara sebanyak satu bahasa.

Baca Juga :  Pimpinan DPR Berharap Pemerintah Segera Kirim Draf Usulan Pemindahan I

“Total tahun ini bertambah 50 total bahasa,” ujarnya.

Dengan bertambahnya jumlah bahasa daerah, Dadang berharap pemerintah daerah
(Pemda) harus ikut berperan aktif dalam penguatan dan pelestarian bahasa
daerah.

Berdasarkan Undang-undang 24 Tahun 2009 Pasal 41 dinyatakan urusan
pengembangan, pembinaan, dan perlindungan Bahasa Indonesia adalah kewenangan
pemerintah pusat.

“Namun, pada Pasal 42, dinyatakan bahwa pemerintah daerah wajib
mengembangkan, membina dan, melindungi sastra dan bahasa daerah,” terangnya.

Dadang menjelaskan, bentuk kerja sama dengan pemerintah daerah adalah
dengan cara pendampingan. Misalnya, mendorong keluarnya peraturan daerah
(perda), seperti perda tentang pengutamaan bahasa negara dan perlindungan
bahasa dan sastra daerah.

“Pemerintah pusat juga mendorong pemberlakuan muatan lokal (mulok) dalam
kurikulum pendidikan di daerah. Misalnya, di Jawa Barat bisa ada Rabu Nyunda.
Itu tergantung kreativitas kepala daerah masing-masing,” tuturnya.

Dadang menyatakan, komitmen pemda dalam melestarikan bahasa dan sastra
daerah masih tergolong rendah. Hal itu tercermin belum terbentuknya kebijakan
daerah yang pro pada perlindungan bahasa.

Baca Juga :  Pemerintah Menolak Dianggap Lelet Hadapi Covid-19, Ini Alasannya

“Baru lima daerah yang memiliki peraturan daerah terkait dengan pelestarian
bahasa, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera
Utara,” sebutnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa dan Sastra Kemendikbud, RI Gufron Ali Ibrahim menilai, upaya pelestarian
bahasa daerah juga kian terkendala oleh implementasi aturan di lapangan.

“Implementasinya belum berjalan. Salah satu penyebab mungkin karena
sejumlah daerah pinggiran sulit diakses,” ujarnya.

Menurut Ali, faktor ancaman lain berasal dari lingkungan rumah. Menurut
dia, masih banyak orangtua yang tidak mengajarkan bahasa daerah kepada anak.

“Kami akan terus berusaha, agar mendorong pemda untuk menjalankan program
belajar bahasa sendiri di kampung sendiri. Program ini mengharuskan anak-anak
menuturkan bahasa ibu saat di rumah dan bermain bersama teman,” pungkasnya. (der/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru