27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Pakar Epidemi UI Ragukan Obat Covid Unair

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Universitas Airlangga (Unair) Surabaya
mengklaim telah menemukan obat COVID-19 pertama di dunia. Penelitian dan uji
klinis obat tersebut telah dilakukan bersama TNI AD, BIN, dan Polri. Obat
tersebut merupakan kombinasi dari tiga jenis obat yakni Lopinavir/Ritonavir dan
Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycyline, Hydrochloroquine dan
Azithromyci.

Pakar Epidemi Universitas
Indonesia (UI) Pandu Riono meragukan obat COVID-19 hasil penelitian Universitas
Airlangga (Unair). Sebab menurutnya, laporan riset obat COVID-19 seharusnya
dilaporkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

“Seharusnya laporan riset obat
kombinasi itu dilaporkan Unair ke BPOM terlebih dahulu. Bukan ke TNI atau BIN
sebagai sponsornya dan langsung mengumumkan ke publik secara terbuka bahwa
penelitian mereka berhasil dan memberikan klaim sebagai penemuan obat COVID-19
pertama di dunia,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/8).

Menurutnya mekanisme yang
dilakukan Unair tidak sesuai dengan prosedur yang sudah ada. Uji klinik pertama
obat COVID-19 dan prosedur riset yang tak terbuka serta klaimnya tidak
mengikuti standar uji klinik yang baku.

“Itu sebabnya akan banyak
akademisi yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut,”
terangnya.

Dia menduga penelitian tim riset
Unair tersbeut belum direview oleh dunia akademis sesuai standar yang berlaku.
Sehingga laporan risetnya belum sesuai kaidah standar laporan ilmiah untuk uji
klinis.

Padahal, ada persyaratan uji
klinis obat yang sesuai standar yang ditetapkan secara internasional, dan harus
diregistrasi uji klinis Badan Kesehatan Dunia atau WHO.

“Biasanya setiap uji klinis harus
diregistrasi secara internasional, dan protokol harus bisa diakses oleh dunia
akademis. Hasil cek uji klinis, Unair belum pernah diregistrasi pada laman
https://www.isrctn.com/, https://www.who.int/ictrp/en/,” jelasnya.

Dia mengingatkan seharusnya tim
Unair ikut prosedur yang terbuka, dan dilaporkan hasilnya dalam pertemuan
akademis yang memahami prosedur uji klinik. Semua harus mengedepankan aspek
transparan.

Selama tahapan riset harus
dipantau oleh tim “clinical monitoring” yang independen. Selain itu, secara
administratif dan transparansi mesti ada “independent clinical monitor”, “Data
Safety Monitorign Board” (DSMB) minimal tiga orang, meliputi masing-masing satu
ahli farmakologi, biostatistik dan ahli penyakit yang diteliti.

Baca Juga :  Kejagung Benarkan Salah Satu Jaksanya di Jogjakarta Terindikasi Korona

“Selain itu, harus terdaftar di
International Clinical Trial Registry, bisa di WHO atau registry lainnya,”
ungkap Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu.

Dikatakannya tim clinical monitor
dari BPOM dan kelompok independen yang mengevaluasi data uji klinik
sehari-hari. Pihak clinical monitor melapor ke peneliti jika ada kesalahan prosedur
untuk perbaikan. Laporannya juga ke DSMB.

Pandu menilai terdapat kesalahan
prosedur yaitu memasukkan orang tanpa gejala dalam subjek riset, karena ambil
kasus di rumah susun isolasi di Lamongan dan Secapa.

Pandu juga mengingatkan setiap
ada perubahan protokol riset harus dilaporkan dan direview oleh Komite Etik
Penelitian yang independen dan disetujui oleh BPOM.

Komite Etik yang independen,
harap Pandu, sebaiknya dari Balitbangkes Kemenkes dan beberapa pakar dari luar
Unair sendiri. “BPOM harus bersikap tegas, apabila hasil penelitian tersebut
belum memenuhi syarat,” tegasnya.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menegaskan hingga saat ini belum ditemukan
kombinasi terapi yang paling manjur untuk mengobati COVID-19.

“Memang saat ini belum ada terapi
spesifik untuk COVID-19, tidak ada sampai saat ini di seluruh dunia. Belum
ditemukan,” tegasnya di Graha BNPB Jakarta.

Namun, para pakar menyepakati
empat regimen pengobatan untuk membantu pengobatan pasien COVID-19 berdasarkan
literatur dan kajian yang ada sampai saat ini. Dari empat regimen tersebut,
tiga yang tersedia di Indonesia, karena ketiadaan Remdesivir.

Kombinasi tersebut memiliki
kesamaan di obat pertama yaitu penggunaan Azitromisin atau Levofloksasin dan
obat kedua Klorokuin atau Hidroksiklorokuin.

Kedua obat itu kemudian
dikombinasi antara pilihan pertama memakai Oseltamivir, kedua Favipiravir dan
ketiga Lopinavir ditambah Ritonavir. Jenis obat keempat adalah vitamin untuk
mendukung pengobatan.

Ketiga kombinasi itu adalah
regimen pengobatan yang dilakukan kepada pasien sejak kasus pertama COVID-19
muncul di Indonesia. Namun, dia menegaskan belum ada pengujian yang membuktikan
regimen mana yang paling baik untuk merawat pasien COVID-19.

“Kita sejauh ini belum ada riset
membandingkan ketiganya. Penggunaannya berdasarkan emergeny use dari Badan
POM,” katanya.

Senada diungkapkan anggota Komite
Nasional Penilai Obat BPOM, Anwar Santoso. Dia menyebut hingga hari ini belum
ada obat yang direkomendasikan untuk mengobati pasien COVID-19 di Indonesia.

Baca Juga :  Rutan dan LP Overload, Kemenkumham Akan Beri Amnesti Massal Pengguna N

“Sampai saat ini, pagi ini, belum
ada obat yang dikatakan manjur dan aman untuk COVID-19,” ujarnya.

Dikatakannya, memang ada sejumlah
obat yang dianggap bisa mengobati pasien COVID-19. Namun, obat itu masih dalam
tahap uji klinis sesuai standar yang ditetapkan internasional.

“Semuanya masih dalam fase uji
klinik. Jadi, (Badan POM) tidak menyatakan satu statement resmi ada obat yang
direkomendasikan untuk dipakai atau aman tapi dalam status uji klinik semua,”
ucapnya.

Demikian pula yang diungkapkan
Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kemenristek/BRIN, Ali Ghufron
Mukti. Meski pemerintah telah membentuk Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19
sejak Maret, namun hingga saat ini belum ditemukan obat COVID-19.

“Ya, jadi sampai sekarang belum
ada satu pun yang kita bisa klaim sebetulnya merupakan satu obat,” kata dia.

“Banyak klaim-klaim dari beberapa
entah mengatakan penelitian atau tidak. Tapi yang termasuk dalam konsorsium itu
belum satu pun yang bisa dikatakan inilah obat spesifik khusus untuk COVID-19,”
tutupnya.

Sebelumnya Unair bersama TNI
Angkatan Darat (AD), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri, telah
menyelesaikan penelitian obat baru COVID-19. Hasil penelitian ini diharapkan
menjadi obat Covid-19 pertama di dunia.

“Karena ini akan menjadi obat
baru maka diharapkan ini akan menjadi obat COVID-19 pertama di dunia,” kata
Rektor Unair Mohammad Nasih dalam acara penyerahan hasil uji klinis fase 3 di
Mabes AD, Jakarta Pusat, Sabtu (15/8).

Nasih mengatakan obat ini
merupakan hasil kombinasi dari tiga jenis obat. Di luar negeri tiga obat itu
diberikan satu per satu kepada pasien. Namun, oleh Unair, obat tersebut
dijadikan satu. Alhasil, efektivitas obat lebih dari 90 persen.

Meski begitu, satu obat tersebut
memiliki dosis yang rendah dibanding apabila obat diberikan secara tunggal.
Menurutnya, BPOM tetap menganggap obat yang dihasilkan Unair digolongkan pada
obat baru.

“Setelah kami kombinasikan daya
penyembuhannya meningkat dengan sangat tajam dan baik. Untuk kombinasi tertentu
itu sampai 98 persen efektivitasnya,” katanya.

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Universitas Airlangga (Unair) Surabaya
mengklaim telah menemukan obat COVID-19 pertama di dunia. Penelitian dan uji
klinis obat tersebut telah dilakukan bersama TNI AD, BIN, dan Polri. Obat
tersebut merupakan kombinasi dari tiga jenis obat yakni Lopinavir/Ritonavir dan
Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycyline, Hydrochloroquine dan
Azithromyci.

Pakar Epidemi Universitas
Indonesia (UI) Pandu Riono meragukan obat COVID-19 hasil penelitian Universitas
Airlangga (Unair). Sebab menurutnya, laporan riset obat COVID-19 seharusnya
dilaporkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

“Seharusnya laporan riset obat
kombinasi itu dilaporkan Unair ke BPOM terlebih dahulu. Bukan ke TNI atau BIN
sebagai sponsornya dan langsung mengumumkan ke publik secara terbuka bahwa
penelitian mereka berhasil dan memberikan klaim sebagai penemuan obat COVID-19
pertama di dunia,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/8).

Menurutnya mekanisme yang
dilakukan Unair tidak sesuai dengan prosedur yang sudah ada. Uji klinik pertama
obat COVID-19 dan prosedur riset yang tak terbuka serta klaimnya tidak
mengikuti standar uji klinik yang baku.

“Itu sebabnya akan banyak
akademisi yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut,”
terangnya.

Dia menduga penelitian tim riset
Unair tersbeut belum direview oleh dunia akademis sesuai standar yang berlaku.
Sehingga laporan risetnya belum sesuai kaidah standar laporan ilmiah untuk uji
klinis.

Padahal, ada persyaratan uji
klinis obat yang sesuai standar yang ditetapkan secara internasional, dan harus
diregistrasi uji klinis Badan Kesehatan Dunia atau WHO.

“Biasanya setiap uji klinis harus
diregistrasi secara internasional, dan protokol harus bisa diakses oleh dunia
akademis. Hasil cek uji klinis, Unair belum pernah diregistrasi pada laman
https://www.isrctn.com/, https://www.who.int/ictrp/en/,” jelasnya.

Dia mengingatkan seharusnya tim
Unair ikut prosedur yang terbuka, dan dilaporkan hasilnya dalam pertemuan
akademis yang memahami prosedur uji klinik. Semua harus mengedepankan aspek
transparan.

Selama tahapan riset harus
dipantau oleh tim “clinical monitoring” yang independen. Selain itu, secara
administratif dan transparansi mesti ada “independent clinical monitor”, “Data
Safety Monitorign Board” (DSMB) minimal tiga orang, meliputi masing-masing satu
ahli farmakologi, biostatistik dan ahli penyakit yang diteliti.

Baca Juga :  Kejagung Benarkan Salah Satu Jaksanya di Jogjakarta Terindikasi Korona

“Selain itu, harus terdaftar di
International Clinical Trial Registry, bisa di WHO atau registry lainnya,”
ungkap Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu.

Dikatakannya tim clinical monitor
dari BPOM dan kelompok independen yang mengevaluasi data uji klinik
sehari-hari. Pihak clinical monitor melapor ke peneliti jika ada kesalahan prosedur
untuk perbaikan. Laporannya juga ke DSMB.

Pandu menilai terdapat kesalahan
prosedur yaitu memasukkan orang tanpa gejala dalam subjek riset, karena ambil
kasus di rumah susun isolasi di Lamongan dan Secapa.

Pandu juga mengingatkan setiap
ada perubahan protokol riset harus dilaporkan dan direview oleh Komite Etik
Penelitian yang independen dan disetujui oleh BPOM.

Komite Etik yang independen,
harap Pandu, sebaiknya dari Balitbangkes Kemenkes dan beberapa pakar dari luar
Unair sendiri. “BPOM harus bersikap tegas, apabila hasil penelitian tersebut
belum memenuhi syarat,” tegasnya.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menegaskan hingga saat ini belum ditemukan
kombinasi terapi yang paling manjur untuk mengobati COVID-19.

“Memang saat ini belum ada terapi
spesifik untuk COVID-19, tidak ada sampai saat ini di seluruh dunia. Belum
ditemukan,” tegasnya di Graha BNPB Jakarta.

Namun, para pakar menyepakati
empat regimen pengobatan untuk membantu pengobatan pasien COVID-19 berdasarkan
literatur dan kajian yang ada sampai saat ini. Dari empat regimen tersebut,
tiga yang tersedia di Indonesia, karena ketiadaan Remdesivir.

Kombinasi tersebut memiliki
kesamaan di obat pertama yaitu penggunaan Azitromisin atau Levofloksasin dan
obat kedua Klorokuin atau Hidroksiklorokuin.

Kedua obat itu kemudian
dikombinasi antara pilihan pertama memakai Oseltamivir, kedua Favipiravir dan
ketiga Lopinavir ditambah Ritonavir. Jenis obat keempat adalah vitamin untuk
mendukung pengobatan.

Ketiga kombinasi itu adalah
regimen pengobatan yang dilakukan kepada pasien sejak kasus pertama COVID-19
muncul di Indonesia. Namun, dia menegaskan belum ada pengujian yang membuktikan
regimen mana yang paling baik untuk merawat pasien COVID-19.

“Kita sejauh ini belum ada riset
membandingkan ketiganya. Penggunaannya berdasarkan emergeny use dari Badan
POM,” katanya.

Senada diungkapkan anggota Komite
Nasional Penilai Obat BPOM, Anwar Santoso. Dia menyebut hingga hari ini belum
ada obat yang direkomendasikan untuk mengobati pasien COVID-19 di Indonesia.

Baca Juga :  Rutan dan LP Overload, Kemenkumham Akan Beri Amnesti Massal Pengguna N

“Sampai saat ini, pagi ini, belum
ada obat yang dikatakan manjur dan aman untuk COVID-19,” ujarnya.

Dikatakannya, memang ada sejumlah
obat yang dianggap bisa mengobati pasien COVID-19. Namun, obat itu masih dalam
tahap uji klinis sesuai standar yang ditetapkan internasional.

“Semuanya masih dalam fase uji
klinik. Jadi, (Badan POM) tidak menyatakan satu statement resmi ada obat yang
direkomendasikan untuk dipakai atau aman tapi dalam status uji klinik semua,”
ucapnya.

Demikian pula yang diungkapkan
Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kemenristek/BRIN, Ali Ghufron
Mukti. Meski pemerintah telah membentuk Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19
sejak Maret, namun hingga saat ini belum ditemukan obat COVID-19.

“Ya, jadi sampai sekarang belum
ada satu pun yang kita bisa klaim sebetulnya merupakan satu obat,” kata dia.

“Banyak klaim-klaim dari beberapa
entah mengatakan penelitian atau tidak. Tapi yang termasuk dalam konsorsium itu
belum satu pun yang bisa dikatakan inilah obat spesifik khusus untuk COVID-19,”
tutupnya.

Sebelumnya Unair bersama TNI
Angkatan Darat (AD), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri, telah
menyelesaikan penelitian obat baru COVID-19. Hasil penelitian ini diharapkan
menjadi obat Covid-19 pertama di dunia.

“Karena ini akan menjadi obat
baru maka diharapkan ini akan menjadi obat COVID-19 pertama di dunia,” kata
Rektor Unair Mohammad Nasih dalam acara penyerahan hasil uji klinis fase 3 di
Mabes AD, Jakarta Pusat, Sabtu (15/8).

Nasih mengatakan obat ini
merupakan hasil kombinasi dari tiga jenis obat. Di luar negeri tiga obat itu
diberikan satu per satu kepada pasien. Namun, oleh Unair, obat tersebut
dijadikan satu. Alhasil, efektivitas obat lebih dari 90 persen.

Meski begitu, satu obat tersebut
memiliki dosis yang rendah dibanding apabila obat diberikan secara tunggal.
Menurutnya, BPOM tetap menganggap obat yang dihasilkan Unair digolongkan pada
obat baru.

“Setelah kami kombinasikan daya
penyembuhannya meningkat dengan sangat tajam dan baik. Untuk kombinasi tertentu
itu sampai 98 persen efektivitasnya,” katanya.

Terpopuler

Artikel Terbaru