25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Uji Coba Intervensi Tim RSCM Sukses Turunkan Prevalensi Stunting di Pa

Sebuah penelitian uji coba intervensi gizi spesifik di Desa Bayumundu, Kabupaten Pandeglang, Banten, memberikan harapan baru dalam mengatasi prevalensi stunting pada anak usia di bawah dua tahun.

Penelitian itu dilakukan oleh tim dokter spesialis nutrisi anak dari RSCM yang dipimpin Damayanti R. Sjarif.

Hasil penelitian terbukti sukses menurunkan angka prevalensi stunting melalui pemantauan berat badan dan tinggi badan secara teratur di posyandu dan konseling nutrisi.

Terutama dalam hal konsumsi protein hewani yang tersedia setiap hari seperti, telur, ikan, ayam, dan susu.

Damayanti mengatakan, jika metode itu bisa diterapkan di daerah lain, ada peluang untuk mempercepat pencapaian target penurunan prevalensi stunting pada anak Indonesia.

“Langkah yang paling tepat untuk mengatasi masalah stunting memang pencegahan karena dampaknya yang permanen terhadap kognitif dan fisik anak,” ujar Damayanti di Jakarta, Jumat (17/5).

Dia menambahkan, pencegahan penurunan kognitif adalah 2 tahun pertama kehidupan. Pada masa itu harus dipastikan nutrisi anak terpenuhi dengan baik dan pertumbuhan sesuai dengan usianya.

“Jika terdeteksi penurunan berat badan (weight faltering), harus segera ditangani secara medis untuk mencari penyebabnya dan solusinya. Oleh sebab itu, deteksi dini diikuti dengan intervensi nutrisi sangat diperlukan,” jelasnya.

Baca Juga :  Pendidikan SMK Akan Dibuat Empat Tahun

Tim dokter spesialis anak dari RSCM merupakan peneliti yang ditunjuk oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk melakukan intervensi gizi spesifik pada 174 balita di Desa Bayumundu, Kecamatan Kaduhejo, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Daerah itu memiliki angka stunting sebesar 37,9 persen berdasar data dan pantauan posyandu. Pada hasil pemeriksaan pertama, terdapat 54 balita stunting atau setara 41,5 persen dan 13 di antaranya balita di bawah dua tahun (26,5 persen).

“Dengan pemantauan rutin selama enam bulan sejak Agustus 2018 termasuk konseling pemberian sumber protein hewani dari telur, ikan, ayam dan susu, dapat menurunkan 8,4 perse prevalensi stunting pada balita dan 6,1 perse pada baduta,” papar Damayanti.

Selain itu, ditemukan enam baduta stunting disertat gizi kurang dan sebelas baduta dengan kondisi weight faltering yang perlu dirujuk ke RSUD untuk mendapatkan pangan untuk kondisi medis khusus (PKMK).

Hasilnya, laju pertumbuhan baduta stunting dan weight faltering berhasil dipercepat dan menyelamatkan mereka dari kondisi stunting.

Pemberian nasihat nutrisi saja tidak cukup. Sebab, perlu deteksi dini stunting dengan pemantauan berat badan dan tinggi badan berkala oleh tenaga kesehatan.

Baca Juga :  Vaksin Corona Buatan Cina Sudah Tiba di Indonesia

Kompetensi tenaga kesehatan itu perlu ditingkatkan melalui pelatihan yang melibatkan kader pssyandu, bidan, dan petugas gizi lapangan.

“Selain screening malanutrisi pada balita, diperlukan sistem perujukan ke dokter puskesmas dan RSUD khusus stunting karena penyebab stunting antara lain adalah infeksi dan penyakit kronis lain,” tambahnya.

Pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, dari hasil penelitian bisa disimpulkan bahwa ternyata penanganan stunting tidak terlalu rumit dan tanpa harus membutuhkan strategi kebijakan yang berlebihan.

“Pemerintah cukup mewajibkan semua anak mendapatkan asupan ASI dan MPASI yang mengandung protein hewani yang cukup dan mudah didapat, seperti telur, ikan dan susu. Jangan lagi menggunakan makanan yang aneh-aneh, mahal, dan membebani APBN,” jelas Agus.

Hasil uji coba di Pandeglang mengindikasikan bahwa dengan terobosan intervensi, angka prevalensi stunting dapat turun hingga 4.3 kali target penurunan pertahun dari WHO yaitu 3,9 persen per tahun.

“Terobosan ini mestinya dapat ditiru dan diaplikasikan di daerah-daerah dengan prevalensi stunting tinggi. Jangan sampai, alih-alih bonus demografi, Indonesia akan mengalami tragedi demografi pada 2030 mendatang,” tegas Agus. (jos/jpnn)

Sebuah penelitian uji coba intervensi gizi spesifik di Desa Bayumundu, Kabupaten Pandeglang, Banten, memberikan harapan baru dalam mengatasi prevalensi stunting pada anak usia di bawah dua tahun.

Penelitian itu dilakukan oleh tim dokter spesialis nutrisi anak dari RSCM yang dipimpin Damayanti R. Sjarif.

Hasil penelitian terbukti sukses menurunkan angka prevalensi stunting melalui pemantauan berat badan dan tinggi badan secara teratur di posyandu dan konseling nutrisi.

Terutama dalam hal konsumsi protein hewani yang tersedia setiap hari seperti, telur, ikan, ayam, dan susu.

Damayanti mengatakan, jika metode itu bisa diterapkan di daerah lain, ada peluang untuk mempercepat pencapaian target penurunan prevalensi stunting pada anak Indonesia.

“Langkah yang paling tepat untuk mengatasi masalah stunting memang pencegahan karena dampaknya yang permanen terhadap kognitif dan fisik anak,” ujar Damayanti di Jakarta, Jumat (17/5).

Dia menambahkan, pencegahan penurunan kognitif adalah 2 tahun pertama kehidupan. Pada masa itu harus dipastikan nutrisi anak terpenuhi dengan baik dan pertumbuhan sesuai dengan usianya.

“Jika terdeteksi penurunan berat badan (weight faltering), harus segera ditangani secara medis untuk mencari penyebabnya dan solusinya. Oleh sebab itu, deteksi dini diikuti dengan intervensi nutrisi sangat diperlukan,” jelasnya.

Baca Juga :  Pendidikan SMK Akan Dibuat Empat Tahun

Tim dokter spesialis anak dari RSCM merupakan peneliti yang ditunjuk oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk melakukan intervensi gizi spesifik pada 174 balita di Desa Bayumundu, Kecamatan Kaduhejo, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Daerah itu memiliki angka stunting sebesar 37,9 persen berdasar data dan pantauan posyandu. Pada hasil pemeriksaan pertama, terdapat 54 balita stunting atau setara 41,5 persen dan 13 di antaranya balita di bawah dua tahun (26,5 persen).

“Dengan pemantauan rutin selama enam bulan sejak Agustus 2018 termasuk konseling pemberian sumber protein hewani dari telur, ikan, ayam dan susu, dapat menurunkan 8,4 perse prevalensi stunting pada balita dan 6,1 perse pada baduta,” papar Damayanti.

Selain itu, ditemukan enam baduta stunting disertat gizi kurang dan sebelas baduta dengan kondisi weight faltering yang perlu dirujuk ke RSUD untuk mendapatkan pangan untuk kondisi medis khusus (PKMK).

Hasilnya, laju pertumbuhan baduta stunting dan weight faltering berhasil dipercepat dan menyelamatkan mereka dari kondisi stunting.

Pemberian nasihat nutrisi saja tidak cukup. Sebab, perlu deteksi dini stunting dengan pemantauan berat badan dan tinggi badan berkala oleh tenaga kesehatan.

Baca Juga :  Vaksin Corona Buatan Cina Sudah Tiba di Indonesia

Kompetensi tenaga kesehatan itu perlu ditingkatkan melalui pelatihan yang melibatkan kader pssyandu, bidan, dan petugas gizi lapangan.

“Selain screening malanutrisi pada balita, diperlukan sistem perujukan ke dokter puskesmas dan RSUD khusus stunting karena penyebab stunting antara lain adalah infeksi dan penyakit kronis lain,” tambahnya.

Pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, dari hasil penelitian bisa disimpulkan bahwa ternyata penanganan stunting tidak terlalu rumit dan tanpa harus membutuhkan strategi kebijakan yang berlebihan.

“Pemerintah cukup mewajibkan semua anak mendapatkan asupan ASI dan MPASI yang mengandung protein hewani yang cukup dan mudah didapat, seperti telur, ikan dan susu. Jangan lagi menggunakan makanan yang aneh-aneh, mahal, dan membebani APBN,” jelas Agus.

Hasil uji coba di Pandeglang mengindikasikan bahwa dengan terobosan intervensi, angka prevalensi stunting dapat turun hingga 4.3 kali target penurunan pertahun dari WHO yaitu 3,9 persen per tahun.

“Terobosan ini mestinya dapat ditiru dan diaplikasikan di daerah-daerah dengan prevalensi stunting tinggi. Jangan sampai, alih-alih bonus demografi, Indonesia akan mengalami tragedi demografi pada 2030 mendatang,” tegas Agus. (jos/jpnn)

Terpopuler

Artikel Terbaru