26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

DPR dan MPR Kompak Tolak Kenaikan Iuran BPJS

JAKARTA – Rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan kelas I dan kelas II mandiri pada Juli 2020, yang tercantum
dalam Pasal 34 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan
Kesehatan terus menuai kontroversi. Pemerintah diminta mengkaji kembali aturan
ini sebelum resmi diterapkan.

Anggota Komisi IX DPR Ribka
Tjiptaning menegaskan, tetap menolak kebijakan pemerintah yang tetap menaikkan
iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui Peraturan
Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

”Dari awal Komisi IX, baik di
internal, di rapat gabungan antar komisi, sampai rapat dengan Ketua DPR menolak
kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Terakhir, Mahkamah Agung juga atas desakan
rakyat menolak Perpres yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan,” kata Ribka, Kamis
(14/5).

Politisi PDI Perjuangan itu
mengatakan dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan
Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, Komisi IX DPR
sebenarnya berharap pemerintah tinggal menjalankan saja.

Namun, tanpa diduga pemerintah
kemudian menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang disebut-sebut
telah menjalankan putusan MA tersebut, tetapi tetap menaikkan iuran BPJS
Kesehatan. ”Dengan adanya wabah Covid-19, rakyat sedang terhimpit. Ada yang
kehilangan pekerjaan. Ada yang bingung dengan kontrakan rumah. Jangan karena
masyarakat sudah diberi sembako, lalu iuran BPJS Kesehatan tetap dinaikkan,”
jelasnya.

Ribka menilai Perpres 64 Tahun
2020 terbit dengan memanfaatkan pembatasan jarak akibat pandemi Covid-19
sehingga tidak ada pertemuan-pertemuan fisik dengan DPR. ”Pertemuan-pertemuan
dengan DPR hanya bisa dilakukan terbatas. Jangan itu menjadi kesempatan untuk
mengesahkan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Pembahasan omnibus law
juga saya protes karena seperti memanfaatkan situasi,” katanya.

Meskipun peraturan presiden dan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah domain pemerintah, Ribka
mengatakan tidak ada salahnya berkonsultasi dengan DPR. ”Jangan-jangan nanti
malah pada tidak mau bayar iuran, malah tambah repot. Yang kelas I dan II saja
ada yang mau turun kelas. Ini masyarakat sudah mau gotong royong malah
dipersulit lagi,” katanya.

Sementara Ketua MPR RI Bambang
Soesatyo (Bamsoet) dalam keterangannya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang
rencana tersebut, mengingat putusan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya melarang
pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Baca Juga :  Istri Hilang 23 Hari, Suami Bikin Sayembara Berhadiah Rp75 Juta

Meskipun kenaikan iuran BPJS
nominalnya sedikit berbeda, namun langkah Presiden menaikkan iuran BPJS tetap
tidak dapat dibenarkan karena bukan satu-satunya cara mengatasi defisit ekonomi
negara, terlebih di tengah resesi ekonomi saat ini.

Dia meminta pemerintah segera
memberikan sosialisasi dan penjelasan yang dapat dipahami masyarakat karena
rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini bertolak belakang dengan kembali
normalnya iuran BPJS Kesehatan yang beberapa waktu lalu diputuskan MA.

Politikus Partai Golkar itu
mengingatkan pemerintah agar selalu mengedepankan kepentingan masyarakat luas
dan menyampaikan bahwa peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja
informal yang perekonomiannya sangat terdampak pandemi Covid-19.

”Kenaikan iuran BPJS Kesehatan
ini justru berpotensi membuat masyarakat kesulitan dalam membayar iuran BPJS
Kesehatan sehingga akses layanan kesehatan menjadi terhambat,” ujarnya.

Dia juga meminta pemerintah
mencari solusi dalam menjaga keberlanjutan program JKN-KIS dan keberlangsungan
BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN agar tetap berjalan, namun
tidak memberatkan ataupun membebani masyarakat.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi II
KSP bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Ekologi dan Budaya Strategis
Abetnego Tarigan menjawab kritikan terhadap keputusan untuk menaikkan iuran peserta
mandiri BPJS Kesehatan.

”Dengan angka segitu itu yang
memang punya prospek sustainability, keberlanjutan pengelolaan BPJS itu. Memang
mereka dari Kementerian Keuangan mengatakan perhitungan itu juga sudah
memperhitungkan terkait dengan ability to pay dalam melakukan pembayaran,” kata
Abetnego di Jakarta, Kamis.

Berdasarkan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan iuran peserta mandiri
kelas I naik 87,5 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu dan kelas II naik
96,07 persen dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu.

Selanjutnya iuran peserta mandiri
kelas III baru akan naik tahun depan. Pemerintah menaikkan iuran peserta
mandiri kelas III sebesar 37,25 persen dari Rp25.500 menjadi Rp35 ribu.

Sebelumnya, Mahkamah Agung
membatalkan Perpres No. 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang memuat
soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pada Perpres 75 tahun 2019 yang sudah
dibatalkan itu menyebut iuran peserta mandiri kelas I sebesar Rp160 ribu, kelas
II sebesar Ro110 ribu dan kelas III sebesar Rp42 ribu.

Baca Juga :  Viral, Guru TK Korban Pinjol, Utang Rp2,5 Menjadi Rp40 Juta

”Paket di perpres yang baru
adalah upaya untuk perbaikan keseluruhan sistem JKN (Jaminan Kesehatan
Nasional), jadi dari kami sendiri di dalam diskusi memperkuat upaya perbaikan
tata kelola dari JKN kita,” tutur Abetnego.

Dalam perpres No. 64 tahun 2020
itu juga mengatur iuran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS
Kesehatan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah Pusat. Semula, peserta PBI
terbagi menjadi PBI pusat dan PBI daerah atau PBI APBD, artinya pembayaran PBI
bagi 40 persen dari penduduk ekonomi terbawah di Indonesia berdasarkan Data
Terpadu Kesejahteraan Sosial (DKTS) ditanggung pemerintah pusat. Sedangkan
nantinya pemerintah daerah akan menanggung sebagian iuran peserta mandiri Kelas
III.

”Jadi yang dibatalkan terkait
dengan dilakukan penyesuaian. Kemudian penyesuaian dilakukan pemerintah caranya
adalah yang PBI pasti dibayar pemerintah tapi yang bukan PBI itu tetap bayar
seperti dulu, selebihnya ada bantuan iuran pemerintah,” ungkap Abetnego.

Bagi peserta mandiri yang
kesulitan membayar tetap ada kesempatan untuk mengajukan diri sebagai peserta
PBI melalui perbaikan data di Kementerian Sosial. ”Yang juga harus dilihat
terus-menerus adalah upaya perbaikan sistem informasi ketersediaan tempat tidur
RS sekarang kan sudah online, tidak ada lagi orang ditolak-tolak, kemudian
prosesnya lebih cepat dan lain-lainnya,” ucap Abetnego.

Ia pun menegaskan bahwa kenaikan
tersebut demi perbaikan sistem dan tidak ada lagi keributan soal defisit BPJS
yang justru memperlambat pemerintah dalam penyelesaian tanggung jawab ke rumah
sakit. ”Jadi situasinya itu terbuka artinya terbuka untuk warga masyarakat
menyesuaikan di kelas mana bahkan termasuk ketika banyak warga kita jadi PBI
karena situasi pandemik Covid-19 sehingga banyak keluarga yang jatuh miskin,”
ujar Abetnego.

Abetnego juga mengakui bahwa
kondisi negara sedang dalam situasi solid akibat pandemik Covid-19. Ia pun
terbuka bila ada kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi ke MA terkait
perpres tersebut. ”Setiap warga negara juga berhak menggunakan hak-haknya
termasuk menggugat kebijakan pemerintah ke MA, tapi tentu pemerintah harus bisa
menjelaskan situasinya kenapa angka-angka ini yang muncul,” tutur Abetnego.

JAKARTA – Rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan kelas I dan kelas II mandiri pada Juli 2020, yang tercantum
dalam Pasal 34 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan
Kesehatan terus menuai kontroversi. Pemerintah diminta mengkaji kembali aturan
ini sebelum resmi diterapkan.

Anggota Komisi IX DPR Ribka
Tjiptaning menegaskan, tetap menolak kebijakan pemerintah yang tetap menaikkan
iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui Peraturan
Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

”Dari awal Komisi IX, baik di
internal, di rapat gabungan antar komisi, sampai rapat dengan Ketua DPR menolak
kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Terakhir, Mahkamah Agung juga atas desakan
rakyat menolak Perpres yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan,” kata Ribka, Kamis
(14/5).

Politisi PDI Perjuangan itu
mengatakan dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan
Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, Komisi IX DPR
sebenarnya berharap pemerintah tinggal menjalankan saja.

Namun, tanpa diduga pemerintah
kemudian menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang disebut-sebut
telah menjalankan putusan MA tersebut, tetapi tetap menaikkan iuran BPJS
Kesehatan. ”Dengan adanya wabah Covid-19, rakyat sedang terhimpit. Ada yang
kehilangan pekerjaan. Ada yang bingung dengan kontrakan rumah. Jangan karena
masyarakat sudah diberi sembako, lalu iuran BPJS Kesehatan tetap dinaikkan,”
jelasnya.

Ribka menilai Perpres 64 Tahun
2020 terbit dengan memanfaatkan pembatasan jarak akibat pandemi Covid-19
sehingga tidak ada pertemuan-pertemuan fisik dengan DPR. ”Pertemuan-pertemuan
dengan DPR hanya bisa dilakukan terbatas. Jangan itu menjadi kesempatan untuk
mengesahkan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Pembahasan omnibus law
juga saya protes karena seperti memanfaatkan situasi,” katanya.

Meskipun peraturan presiden dan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah domain pemerintah, Ribka
mengatakan tidak ada salahnya berkonsultasi dengan DPR. ”Jangan-jangan nanti
malah pada tidak mau bayar iuran, malah tambah repot. Yang kelas I dan II saja
ada yang mau turun kelas. Ini masyarakat sudah mau gotong royong malah
dipersulit lagi,” katanya.

Sementara Ketua MPR RI Bambang
Soesatyo (Bamsoet) dalam keterangannya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang
rencana tersebut, mengingat putusan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya melarang
pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Baca Juga :  Istri Hilang 23 Hari, Suami Bikin Sayembara Berhadiah Rp75 Juta

Meskipun kenaikan iuran BPJS
nominalnya sedikit berbeda, namun langkah Presiden menaikkan iuran BPJS tetap
tidak dapat dibenarkan karena bukan satu-satunya cara mengatasi defisit ekonomi
negara, terlebih di tengah resesi ekonomi saat ini.

Dia meminta pemerintah segera
memberikan sosialisasi dan penjelasan yang dapat dipahami masyarakat karena
rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini bertolak belakang dengan kembali
normalnya iuran BPJS Kesehatan yang beberapa waktu lalu diputuskan MA.

Politikus Partai Golkar itu
mengingatkan pemerintah agar selalu mengedepankan kepentingan masyarakat luas
dan menyampaikan bahwa peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja
informal yang perekonomiannya sangat terdampak pandemi Covid-19.

”Kenaikan iuran BPJS Kesehatan
ini justru berpotensi membuat masyarakat kesulitan dalam membayar iuran BPJS
Kesehatan sehingga akses layanan kesehatan menjadi terhambat,” ujarnya.

Dia juga meminta pemerintah
mencari solusi dalam menjaga keberlanjutan program JKN-KIS dan keberlangsungan
BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN agar tetap berjalan, namun
tidak memberatkan ataupun membebani masyarakat.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi II
KSP bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Ekologi dan Budaya Strategis
Abetnego Tarigan menjawab kritikan terhadap keputusan untuk menaikkan iuran peserta
mandiri BPJS Kesehatan.

”Dengan angka segitu itu yang
memang punya prospek sustainability, keberlanjutan pengelolaan BPJS itu. Memang
mereka dari Kementerian Keuangan mengatakan perhitungan itu juga sudah
memperhitungkan terkait dengan ability to pay dalam melakukan pembayaran,” kata
Abetnego di Jakarta, Kamis.

Berdasarkan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan iuran peserta mandiri
kelas I naik 87,5 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu dan kelas II naik
96,07 persen dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu.

Selanjutnya iuran peserta mandiri
kelas III baru akan naik tahun depan. Pemerintah menaikkan iuran peserta
mandiri kelas III sebesar 37,25 persen dari Rp25.500 menjadi Rp35 ribu.

Sebelumnya, Mahkamah Agung
membatalkan Perpres No. 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang memuat
soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pada Perpres 75 tahun 2019 yang sudah
dibatalkan itu menyebut iuran peserta mandiri kelas I sebesar Rp160 ribu, kelas
II sebesar Ro110 ribu dan kelas III sebesar Rp42 ribu.

Baca Juga :  Viral, Guru TK Korban Pinjol, Utang Rp2,5 Menjadi Rp40 Juta

”Paket di perpres yang baru
adalah upaya untuk perbaikan keseluruhan sistem JKN (Jaminan Kesehatan
Nasional), jadi dari kami sendiri di dalam diskusi memperkuat upaya perbaikan
tata kelola dari JKN kita,” tutur Abetnego.

Dalam perpres No. 64 tahun 2020
itu juga mengatur iuran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS
Kesehatan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah Pusat. Semula, peserta PBI
terbagi menjadi PBI pusat dan PBI daerah atau PBI APBD, artinya pembayaran PBI
bagi 40 persen dari penduduk ekonomi terbawah di Indonesia berdasarkan Data
Terpadu Kesejahteraan Sosial (DKTS) ditanggung pemerintah pusat. Sedangkan
nantinya pemerintah daerah akan menanggung sebagian iuran peserta mandiri Kelas
III.

”Jadi yang dibatalkan terkait
dengan dilakukan penyesuaian. Kemudian penyesuaian dilakukan pemerintah caranya
adalah yang PBI pasti dibayar pemerintah tapi yang bukan PBI itu tetap bayar
seperti dulu, selebihnya ada bantuan iuran pemerintah,” ungkap Abetnego.

Bagi peserta mandiri yang
kesulitan membayar tetap ada kesempatan untuk mengajukan diri sebagai peserta
PBI melalui perbaikan data di Kementerian Sosial. ”Yang juga harus dilihat
terus-menerus adalah upaya perbaikan sistem informasi ketersediaan tempat tidur
RS sekarang kan sudah online, tidak ada lagi orang ditolak-tolak, kemudian
prosesnya lebih cepat dan lain-lainnya,” ucap Abetnego.

Ia pun menegaskan bahwa kenaikan
tersebut demi perbaikan sistem dan tidak ada lagi keributan soal defisit BPJS
yang justru memperlambat pemerintah dalam penyelesaian tanggung jawab ke rumah
sakit. ”Jadi situasinya itu terbuka artinya terbuka untuk warga masyarakat
menyesuaikan di kelas mana bahkan termasuk ketika banyak warga kita jadi PBI
karena situasi pandemik Covid-19 sehingga banyak keluarga yang jatuh miskin,”
ujar Abetnego.

Abetnego juga mengakui bahwa
kondisi negara sedang dalam situasi solid akibat pandemik Covid-19. Ia pun
terbuka bila ada kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi ke MA terkait
perpres tersebut. ”Setiap warga negara juga berhak menggunakan hak-haknya
termasuk menggugat kebijakan pemerintah ke MA, tapi tentu pemerintah harus bisa
menjelaskan situasinya kenapa angka-angka ini yang muncul,” tutur Abetnego.

Terpopuler

Artikel Terbaru