Site icon Prokalteng

Pembunuh Fa-Lao

pembunuh-fa-lao

TANPA artificial intelligent (AI) tidak mungkin wanita pembunuh ini tertangkap. Biar pun korban yang dibunuh sampai 7 orang.

Apalagi serangkaian pembunuhan itu terjadi di tahun 1996 –lebih dari 20 tahun yang lalu. Maka wanita ini pun sudah merasa aman dalam pelariannyi.

Sebenarnya pembunuh yang satu sudah tertangkap. Waktu itu juga.

Tapi pembunuh satunya, sang istri, berhasil melarikan diri. Dia menyamar. Dia menggunakan nama baru. Dia melakukan operasi kecantikan.

Setelah 20 tahun merasa aman, dia justru tertangkap. Beberapa waktu lalu. Senin kemarin, dia diajukan ke pengadilan.

Pasti, dia akan dijatuhi hukuman mati. Seperti suaminyi dulu. Yang sudah dieksekusi lewat hukum tembak 20 tahun lalu.


Fa Ziying suami Lao Rongzhi.

Nama cewek ini: Lao Rongzhi. Waktu pembunuhan dilakukan umurnyi baru 21 tahun. Ketika ditangkap, Lao sudah berumur 46 tahun.

Lao ditangkap di Xiamen. Itulah kota yang pernah dikenal sebagai ”Hawaii”-nya Tiongkok. Kota Xiamen juga pernah bernama Amoy. Letaknya di provinsi Fujian. Di utara kota Shenzhen –4 jam naik mobil.

Sehari sebelum ditangkap Lao terlihat berjalan di trotoar kota Xiamen. Tidak jauh dari sebuah mal di sana.

Yang berhasil melihatnyi adalah kamera. Yang banyak dipasang di berbagai sudut kota Xiamen. Kamera jalanan itu secara langsung melaporkan hasil jepretannya ke pusat pengolahan data di kantor polisi.

Semua wajah orang yang lalu lalang di jalan raya memang terekam oleh kamera. Salah satunya ternyata cocok dengan file foto lama. Yang dicari-cari polisi selama 20 tahun terakhir. Itulah foto wajah Lao yang kini sudah jauh lebih tua.

Keesokan harinya Lao terlihat lagi lewat di sekitar mal itu. Polisi mulai membuntutinyi. Dia masuk mal. Polisi ikut masuk mal. Jarak mereka kian dekat.

Lao ternyata menuju sebuah kios. Dia jualan jam tangan. Polisi langsung meringkusnyi. Ketika dia mempertanyakan penangkapan itu polisi langsung menegaskan bahwa dia pasti wanita yang bernama Lao Rongzhi.

“Saya bukan Lao. Nama saya Hong,” kata wanita itu.

Polisi tidak percaya. Dia langsung ditahan. Lalu dilakukan tes DNA.

Benarlah bahwa Hong itu nama palsu. Lao tidak bisa berkutik.

Selama 20 tahun dalam pelarian Lao memang berganti-ganti nama. Juga berganti alamat. Pindah-pindah –dari satu kota ke kota lainnya. Dia juga pindah-pindah pekerjaan. Terutama di tempat-tempat hiburan malam.

Lao berasal dari kota kecil di provinsi Jiangxi. Dari daerah selatan. Sudah dekat dengan provinsi Guangdong.

Suaminyi, juga dari kota yang berdekatan. Nama sang suami: Fa Ziying. Mereka bertemu di tahun 1993. Lalu menikah. Saat menikah itu Lao sudah punya pekerjaan: sebagai guru SD. Waktu itu Tiongkok masih sangat miskin. Mereka pun merantau ke kota besar.

Di kota itulah mereka mulai kesulitan hidup. Lalu terpikir untuk melakukan usaha ini: memeras orang kaya.

Sang istri bertugas mencari mangsa. Di klub-klub malam. Dia harus bisa merayu laki-laki berduit. Setelah terpikat si laki-laki diajak ke apartemennyi.

Itu adalah apartemen sewaan. Di kamar itu suami Lao sudah menunggu. Korban diperas. Kalau melawan diancam dibunuh.

Setelah berhasil mendapat uang Fa dan Lao pindah ke kota lain. Melakukan hal yang sama.

Suatu hari mereka pindah ke kota Zhengzhou, Henan. Pasangan ini mulai membunuh korbannya di sini. Rupanya ia tidak berhasil memeras. Maka Fa-Lao membunuhnya. Mereka lalu menggunakan identitas korban untuk mendatangi rumah korban. Istri korban percaya saja. Mereka dipersiapkan masuk rumah.

Di dalam rumah itulah mereka membunuh istri korban. Lalu merampok. Ternyata masih ada anak kecil di rumah itu. Seorang gadis kecil. Sekalian saja dibunuh.

Fa dan Lao pindah kota lagi.

Mereka mencari mangsa lagi. Dengan cara yang sama. Total sampai 7 orang yang mereka bunuh.

Belum lagi yang diperas tanpa perlu dibunuh.

Di hari lain mereka kena batunya. Yakni saat di kota Hefei, kota terbesar di provinsi Anhui.

Mereka berhasil mendapat mangsa. Korban disekap di kamar apartemen sewaan. Fa lantas menghubungi istri korban. Minta tebusan untuk sang suami.

Si istri menyanggupi menyerahkan uang 10.000 yuan. Sekitar Rp 20 juta. Maka Fa datang ke rumah korban.

Si istri rupanya sudah mengontak polisi.

Fa pun disergap saat mengambil uang tebusan itu. Terjadilah drama tembak-menembak di lokasi itu.

Fa berhasil diringkus. Tahun itu juga pengadilan menjatuhkan hukuman mati untuk Fa. Hanya dalam hitungan hari Fa sudah dieksekusi.

Tapi Fa berhasil melindungi Lao. Fa tidak mau menyebut di mana tinggal. Termasuk di mana lokasi penyekapan.

Ia tahu bahwa ia toh akan dihukum mati. Mengakui siapa temannya membunuh pun tidak akan membuat hukumannya lebih ringan.

Saat itulah Lao lari. Meninggalkan korban yang disekap di apartemen itu. Beberapa hari kemudian barulah polisi menemukan lokasi itu: dari laporan penduduk. Yakni karena ada bau busuk keluar dari kamar itu.

Mungkin korban mati karena dibunuh. Mungkin juga karena diikat. Tidak ada yang tahu ada sandera di situ.

Di pengadilan Senin lalu Lao mengaku berada di bawah tekanan suami. Kalau menolak perintah suami dia akan dibunuh. Bahkan juga keluarganyi. “Saya sering dipukul, dicekik dan dimaki-maki. Juga diancam,” ujar Lao kepada hakim.

Lao pun minta maaf kepada semua keluarga korban. Dia mengaku tidak berniat membunuh. Dia merasa ditipu oleh suami.

Lao diadili di kota Nanchang, ibu kota provinsi Jiangxi –kota tempat saya dulu belajar bahasa Mandarin.

Itu karena Lao berasal dari provinsi itu.

Salah satu keluarga korban memberikan kesaksian. “Keluarga kami hancur setelah pembunuhan itu,” ujar janda korban. Sebagaimana disiarkan di media di Nanchang. “Ibu mertua kami menangis sampai buta. Tiga anak kami putus sekolah,” katanyi.

Bagaimana dengan anak Fa bersama Lao? “Kami tidak punya anak. Fa tidak boleh saya punya anak. Saya empat kali aborsi,” katanyi pada polisi.

Lao sendiri mungkin tidak menyangka otak buatan yang ditaruh di kamera-kamera di jalanan berhasil mengungkapkan pembunuhan 20 tahun lalu.

Tentu Lao tidak tahu kalau kamera itu bisa mendeteksi 80 titik unik di wajah seseorang. Yakni titik-titik di sekitar mata, hidung, pipi, dan mulut. Yang tidak semuanya bisa berubah saat operasi kecantikan.

Dari 80 titik unik itu tentu masih ada yang sama dan tidak berubah. Tapi tetap saja AI ini mengagumkan. Kok tetap bisa mendeteksi biarpun foto gadis 21 tahun itu sudah menjadi wanita berumur 46 tahun.

Kemajuan teknologi di sana memang mencengangkan. Dalam Repelita ke-13, tahun ini, Tiongkok punya program Sky Net Project. Atau juga disebut Sharp Eye Project.

Di akhir Repelita 13 itu, tahun depan, sudah akan terpasang 626 juta kamera di tempat umum di seluruh Tiongkok.

Semua kamera itu dilengkapi AI yang terhubung dengan big data. Jumlah kamera itu begitu banyaknya sehingga praktis tiap dua penduduk diawasi dengan satu kamera.

Dengan teknologi itu akan bisa dikenali 1,3 miliar wajah orang Tiongkok hanya dalam waktu tiga detik.

Dengan teknologi ini era sidik jari sudah praktis berakhir. Tidak ada gunanya lagi cap jempol. Kamera, dengan kecerdasan buatan, menggantikannya.

Lao masih terlalu muda untuk mengalami zaman AI. Yang ternyata AI-lah yang bisa mengakhiri hidupnyi.(Dahlan Iskan)

Exit mobile version