PILKADA serentak 2020 yang diikuti
sembilan provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota kali ini menjadi lebih pelik.
Bahkan, tahapan pilkada 2020 sempat terhenti akibat pandemi Covid-19.
Sebelumnya, ada pro dan kontra tentang penundaan pilkada
hingga tahun depan. Akhirnya disepakati antara pemerintah, DPR dan
penyelenggara pemilu bahwa proses pemungutan dan penghitungan suara digelar
tanggal 9 Desember 2020, sebelumnya ditetapkan pada 23 September 2020. Pasalnya,
tak ada satu pun negara termasuk Indonesia yang mengetahui kapan pandemi ini
akan berakhir.
Pandemi Covid-19 adalah peristiwa menyebarnya penyakit
coronavirus disease 2019 (Covid-19) di seluruh dunia. Pandemi ini pertama kali
dideteksi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada bulan Desember 2019.
Kemudian, wabah ini ditetapkan sebagai pandemi oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020. Suasana pandemi membuat
penyelenggara pilkada mesti kerja lebih ekstra daripada keadaan normal. Tahapan
pilkada tetap berjalan di tengah pandemi, pendaftaran calon kepala daerah,
pendataan daftar pemilih hingga masa kampanye akan menjadi tantangan baru bagi
para aktor penyelenggaraan pilkada.
Tegakkan Protokol Kesehatan
Penyelenggara pemilu menaruh perhatian khusus terkait pesta
demokrasi di tengah pusaran pandemi kali ini. Terutama pasca maraknya
pengerahan massa pada masa pendaftaran pasangan calon pilkada serentak pada 4-6
September 2020. Bawaslu menemukan pelanggaran terjadi di 243 dari 270 daerah
yang menggelar pilkada. Tercatat ada 316 dari 711 bakal calon pasangan kepala
daerah yang melakukan pelanggaran protokol pencegahan Covid-19.
Mengantisipasi fenomena tersebut, Bawaslu, KPU dan
Kemendagri sepakat untuk mengadakan penandatanganan komitmen oleh para pasangan
calon kepala daerah untuk menerapkan protokol pencegahan Covid-19 selama
tahapan pilkada berlangsung.
Selain itu, Kemendagri juga telah memberikan sanksi
terhadap 53 bakal pasangan calon kepala daerah petahana dengan teguran keras.
Misalnya, melalui surat resmi pihak Kemendagri memerintahkan Gubernur Jawa
Barat Ridwan Kamil agar menegur secara tertulis Bupati Kerawang Cellica
Nurrachadiana.
Alasannya, saat Cellica mendaftar ke KPU Kerawang sebagai
bakal calon bupati Kerawang periode 2020-2025 terjadi arak-arakan massa yang
berpotensi terjadinya penyebaran Covid-19. Selain itu, Kemendagri juga
mengancam akan menunda prosesi pelantikan bagi mereka yang tidak patuh terhadap
aturan protokol kesehatan.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri
Bahtiar menegaskan teguran terhadap calon kepala daerah petahana yang melanggar
protokol kesehatan pilkada 2020 merupakan teguran keras. Jika ketahuan lagi
mengumpulkan massa, calon kepala daerah petahana dapat didiskualifikasi dari
perhelatan pilkada. Sejak awal pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu sepakat
melanjutkan pilkada dengan mengutamakan prinsip keselamatan warga negara.
Karena itu, seluruh tahapan pilkada 2020 dibuat dengan wajib patuh pada
protokol kesehatan.
Peran Strategis Bawaslu Selama tahapan pendaftaran pasangan
calon pilkada kemarin, Bawaslu menemukan masih abainya protokol pencegahan
Covid-19. Misalnya, temuan konser deklarasi pasangan calon di kabupaten
Pohuwato, Gorontalo.
Data Bawaslu selama pendaftaran pencalonan 4-5 September
2020, sebagian besar pelanggaran adalah para bakal pasangan calon membawa massa
saat mendaftar ke KPU. Aturan mengenai prosedur pendaftaran peserta pilkada
diatur dalam Pasal 49 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10
Tahun 2020 tentang Perubahan PKPU Nomor 6 Tahun 2020 mengatur bahwa pendaftaran
peserta pilkada hanya boleh dihadiri ketua dan sekretaris partai politik atau
ketua dan sekretarisnya jika calon perseorangan. Secara legal Bawaslu memang
belum dapat melakukan penindakan karena belum ada penetapan pasangan calon
kepala daerah oleh KPU.
Namun, Bawaslu dapat meneruskan temuan kepada aparat
kepolisian dengan dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang
Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).
Selain tahapan pendaftaraan pasangan calon, masih ada
tahapan kampanye serta tahapan pemuktahiran daftar pemilih. Belum lagi
permasalahan daftar pemilih juga selalu menjadi momok setiap pilkada. Dalam
keadaan normal saja masih menjadi problem klasik, apalagi dalam kondisi
pandemi.
Problematika, adanya warga yang tidak tercatat dalam daftar
pemilih tetap, antrian panjang pemilih saat pemungutan suara di TPS, terjadinya
kerumunan dan gesekan di seputar TPS, serta pengaduan masyarakat karena
kehilangan hak pilih. Karut marut daftar pemilih jangan sampai menjadi penyakit
kronis dalam setiap pilkada. Sebab hak pilih warga negara dijamin oleh
konstitusi.
Bawaslu memang tidak dapat menjadi obat mujarab untuk
menyelesaikan aneka problematika tersebut. Secara kewenangan merujuk pada
undang-undang pilkada, Bawaslu dapat memberikan sanksi administrasi atau pun
pidana.
Dalam sanksi administratif Bawaslu dapat memberikan
rekomendasi kepada KPU, sedangkan terkait sanksi pidana Bawaslu dapat
meneruskan dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang diatur di luar
undang-undang pilkada kepada aparat keamanan.
Bawaslu memiliki peran strategis sebagai penegak keadilan
pilkada. Bawaslu dapat melibatkan aparat kepolisian, kejaksaan dan satpol
pamong praja. Misalnya, Bawaslu memberikan bukti permulaan, petunjuk serta
merekomendasikan segala dugaan pelanggaran protokol kesehatan kepada pihak
berwenang. Karena itu, juga diharapkan aparat penegak hukum memiliki ketegasan
dalam menindak pelanggar protokol kesehatan.
Jika aparat penegak
hukum dinilai masih kurang tegas, masyarakat dapat menghukum calon kepala
daerah yang tidak mematuhi protokol kesehatan dengan tidak memilihnya. Mereka
terbukti hanya bernapsu mendulang suara, tak peduli kesehatan warganya!
Penulis anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara