25 C
Jakarta
Thursday, November 28, 2024

Ancaman Resesi-Masalah Serapan Anggaran

’’Yang bisa diharapkan saat ini (…) hanya
satu (…), yaitu belanja pemerintah. Karena itu, jangan sampai ada ngerem.”

—

PERNYATAAN di atas dikeluarkan Presiden
Joko Widodo ketika memberikan arahan kepada para gubernur di Bogor, Jawa Barat,
pada 16 Juli 2020. Presiden sadar bahwa resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19
berada di depan mata, padahal investasi tidak bisa diandalkan.

Presiden menilai bahwa saat ini hanya
anggaran pemerintah yang dapat menjadi tumpuan untuk menggerakkan roda
perekonomian. Maka, anggaran ini tidak boleh mengendap.

Sejatinya, ini adalah kali kesekian presiden
menekankan isu penyerapan anggaran. Sebelumnya, presiden dua kali menegur keras
menterinya karena tidak gesit membelanjakan anggaran (18/6 dan 7/7).

Fakta presiden sudah berkali-kali marah, tapi
situasi tidak kunjung berubah menunjukkan ada problem fundamental yang belum
ketemu titik masalahnya.

Mungkin presiden sudah menerima laporan bahwa
banyak birokrat yang takut terbentur masalah hukum dalam proses penyerapan
anggaran. Tapi, boleh jadi dia menilai seharusnya itu tidak boleh lagi menjadi
problem. Regulasi sudah tersedia, jajarannya dan lembaga terkait juga telah
mengeluarkan sederet kebijakan dan pedoman yang bernuansa menenteramkan.

Misalnya, lahirnya Perppu No 1 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dalam Menghadapi Covid-19. Atau, untuk
konteks penyerapan anggaran via pengadaan barang jasa (PBJ), birokrat juga
sudah punya acuan regulasi untuk penanganan keadaan darurat (Perpres 16/2018,
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) No 13
Tahun 2018). Belakangan, LKPP pun sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 3
Tahun 2020 untuk Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) dalam Rangka Penanganan
Covid-19.

KPK juga sudah berinisiatif menenangkan hati
birokrat yang terlibat pengadaan dengan SE No 8 Tahun 2020. KPK menegaskan
bahwa pihaknya tidak akan memakai kacamata kuda dalam menindak.

Selain aspek harga, KPK akan melihat kualitas
serta konteks pandemi yang memungkinkan mahalnya harga yang didapatkan. KPK
bahkan menyatakan, sepanjang tidak melakukan perbuatan curang, bersekongkol,
menerima suap atau gratifikasi, birokrat akan aman.

Baca Juga :  Bawaslu Tegaskan Simpan Semua Anggaran di Bank Kalteng

Jaksa agung pun mengambil langkah serupa
dengan mengeluarkan Instruksi No 6 Tahun 2020 dan SE No 7 Tahun 2020. Intinya,
proses hukum administrasi akan dikedepankan daripada pidana.

Lalu, mengapa birokrat masih memilih ekstra hati-hati
dalam melaksanakan belanja pemerintah?

SE Horor

Selain ada SE yang meneduhkan hati di atas,
terdapat SE horor, yakni SE 02/G/Gs.2/04/2020 yang dikeluarkan Jaksa Agung Muda
dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung tentang Pedoman Pendampingan Hukum
Keperdataan PBJ dalam Keadaan Darurat.

SE itu mengirimkan pesan yang berseberangan
dengan SE LKPP dan SE KPK. Misalnya, mengutip suatu putusan peradilan di mana
ada pejabat pembuat komitmen (PPK) yang melakukan pengadaan di situasi normal
dan divonis bersalah.

Sebab, PPK tersebut tidak memiliki estimasi
harga pasar terhadap barang yang ingin dibeli. PPK langsung menerima harga yang
disodorkan penyedia. Padahal, belakangan, harga tersebut dinilai penegak hukum
lebih mahal daripada harga pasar.

Masalahnya, kutipan tersebut dilakukan tanpa
menguraikan ada tidaknya niat dan pemufakatan jahat antara PPK dan penyedia.
Juga tanpa menampilkan bukti-bukti kuat bahwa misalnya memang ada kolusi, suap,
kickback, atau gratifikasi. Padahal, SE KPK di atas menegaskan untuk
menggunakan hal tersebut sebagai patokan.

SE Jamdatun itu juga mengirimkan pesan yang
bertolak belakang dengan substansi SE LKPP karena LKPP membolehkan PPK untuk
menunjuk penyedia sekalipun belum memiliki estimasi harga. LKPP juga
membolehkan PPK menggunakan informasi dari penyedia dalam membuktikan kewajaran
harga.

Pesan kontrakdiktif itu aneh karena
sebenarnya SE LKPP di-copy paste di bagian awal SE Jamdatun tersebut. Dengan
kejanggalan itu, wajar jika PPK khawatir melaksanakan pengadaan. PPK takut
barang/jasa yang mereka peroleh belakangan dinilai aparat penegak hukum (APH)
lebih mahal, lalu dianggap merugikan negara. Kemudian dengan mudahnya ia masuk
kualifikasi korupsi tipe merugikan keuangan negara (pasal 2 dan/atau 3 UU
Tipikor).

Baca Juga :  Tim Kampanye Sugianto-Edy di Daerah Sudah Bergerak

Pasal Karet

Sejatinya, SE Jamdatun itu barulah penyebab
masalah. Adapun akar masalahnya, keberadaan kedua pasal di atas yang dinilai
sebagai ’’pasal karet”.

Ditinjau dari konsep hukum standar
pembuktian, dua pasal itu memang bermasalah. Pasal tersebut adalah delik
pidana, tapi malah tidak membadankan standar pembuktian hukum pidana yang
bersifat ’’beyond reasonable doubt’’. Pasal itu justru membadankan standar
pembuktian hukum administrasi dan perdata berupa ’’more likely than not”.

Akibatnya, kesalahan administrasi dan
keperdataan dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana sebagai korupsi tipe
merugikan keuangan negara (Wibowo, 2015, 2017).

Karena itu, ada pakar yang menilai pasal
tersebut sebagai ’’Pasal Keranjang Sampah” (Hieriej, 2015). Bahkan, sarjana
hukum luar negeri juga mengungkapkan keheranannya dan mengkritik konsep dan
penerapan pasal itu (Butt, 2009).

Sesungguhnya Mahkamah Konstitusi (MK) sudah pernah
dua kali mengeluarkan putusan guna meningkatkan standar pembuktian pada pasal
tersebut (tahun 2006 dan 2016). Sayang, sebagian hakim Mahkamah Agung (MA)
memilih menghindari putusan MK di atas.

MA kemudian malah mengeluarkan SE No 7 Tahun
2012 yang salah satu substansinya tidak sejalan dengan putusan MK di atas.
Implikasi lanjutannya adalah aparat kepolisian-kejaksaan akan menyesuaikan
dengan paradigma hakim di lingkup MA; melanjutkan paradigma lama yang
mencampuradukkan kesalahan administrasi dan perdata sebagai kesalahan (Wibowo,
2017).

Maka, SE Jamdatun dan paradigma penegak
hukumlah yang menjadi sumbatan masalah penyerapan anggaran. Hendaknya presiden
mengatasi masalah tersebut dengan berkonsultasi ke MA dan menginstruksi
kejaksaan dan kepolisian untuk mengadopsi kerangka berpikir putusan MK. Hal itu
perlu dilakukan segera sebagai salah satu langkah antisipasi resesi. (*)


Richo Andi Wibowo, Dosen FH UGM dengan minat riset
kontrak pemerintah dan pencegahan patologi birokrasi

’’Yang bisa diharapkan saat ini (…) hanya
satu (…), yaitu belanja pemerintah. Karena itu, jangan sampai ada ngerem.”

—

PERNYATAAN di atas dikeluarkan Presiden
Joko Widodo ketika memberikan arahan kepada para gubernur di Bogor, Jawa Barat,
pada 16 Juli 2020. Presiden sadar bahwa resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19
berada di depan mata, padahal investasi tidak bisa diandalkan.

Presiden menilai bahwa saat ini hanya
anggaran pemerintah yang dapat menjadi tumpuan untuk menggerakkan roda
perekonomian. Maka, anggaran ini tidak boleh mengendap.

Sejatinya, ini adalah kali kesekian presiden
menekankan isu penyerapan anggaran. Sebelumnya, presiden dua kali menegur keras
menterinya karena tidak gesit membelanjakan anggaran (18/6 dan 7/7).

Fakta presiden sudah berkali-kali marah, tapi
situasi tidak kunjung berubah menunjukkan ada problem fundamental yang belum
ketemu titik masalahnya.

Mungkin presiden sudah menerima laporan bahwa
banyak birokrat yang takut terbentur masalah hukum dalam proses penyerapan
anggaran. Tapi, boleh jadi dia menilai seharusnya itu tidak boleh lagi menjadi
problem. Regulasi sudah tersedia, jajarannya dan lembaga terkait juga telah
mengeluarkan sederet kebijakan dan pedoman yang bernuansa menenteramkan.

Misalnya, lahirnya Perppu No 1 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dalam Menghadapi Covid-19. Atau, untuk
konteks penyerapan anggaran via pengadaan barang jasa (PBJ), birokrat juga
sudah punya acuan regulasi untuk penanganan keadaan darurat (Perpres 16/2018,
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) No 13
Tahun 2018). Belakangan, LKPP pun sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 3
Tahun 2020 untuk Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) dalam Rangka Penanganan
Covid-19.

KPK juga sudah berinisiatif menenangkan hati
birokrat yang terlibat pengadaan dengan SE No 8 Tahun 2020. KPK menegaskan
bahwa pihaknya tidak akan memakai kacamata kuda dalam menindak.

Selain aspek harga, KPK akan melihat kualitas
serta konteks pandemi yang memungkinkan mahalnya harga yang didapatkan. KPK
bahkan menyatakan, sepanjang tidak melakukan perbuatan curang, bersekongkol,
menerima suap atau gratifikasi, birokrat akan aman.

Baca Juga :  Bawaslu Tegaskan Simpan Semua Anggaran di Bank Kalteng

Jaksa agung pun mengambil langkah serupa
dengan mengeluarkan Instruksi No 6 Tahun 2020 dan SE No 7 Tahun 2020. Intinya,
proses hukum administrasi akan dikedepankan daripada pidana.

Lalu, mengapa birokrat masih memilih ekstra hati-hati
dalam melaksanakan belanja pemerintah?

SE Horor

Selain ada SE yang meneduhkan hati di atas,
terdapat SE horor, yakni SE 02/G/Gs.2/04/2020 yang dikeluarkan Jaksa Agung Muda
dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung tentang Pedoman Pendampingan Hukum
Keperdataan PBJ dalam Keadaan Darurat.

SE itu mengirimkan pesan yang berseberangan
dengan SE LKPP dan SE KPK. Misalnya, mengutip suatu putusan peradilan di mana
ada pejabat pembuat komitmen (PPK) yang melakukan pengadaan di situasi normal
dan divonis bersalah.

Sebab, PPK tersebut tidak memiliki estimasi
harga pasar terhadap barang yang ingin dibeli. PPK langsung menerima harga yang
disodorkan penyedia. Padahal, belakangan, harga tersebut dinilai penegak hukum
lebih mahal daripada harga pasar.

Masalahnya, kutipan tersebut dilakukan tanpa
menguraikan ada tidaknya niat dan pemufakatan jahat antara PPK dan penyedia.
Juga tanpa menampilkan bukti-bukti kuat bahwa misalnya memang ada kolusi, suap,
kickback, atau gratifikasi. Padahal, SE KPK di atas menegaskan untuk
menggunakan hal tersebut sebagai patokan.

SE Jamdatun itu juga mengirimkan pesan yang
bertolak belakang dengan substansi SE LKPP karena LKPP membolehkan PPK untuk
menunjuk penyedia sekalipun belum memiliki estimasi harga. LKPP juga
membolehkan PPK menggunakan informasi dari penyedia dalam membuktikan kewajaran
harga.

Pesan kontrakdiktif itu aneh karena
sebenarnya SE LKPP di-copy paste di bagian awal SE Jamdatun tersebut. Dengan
kejanggalan itu, wajar jika PPK khawatir melaksanakan pengadaan. PPK takut
barang/jasa yang mereka peroleh belakangan dinilai aparat penegak hukum (APH)
lebih mahal, lalu dianggap merugikan negara. Kemudian dengan mudahnya ia masuk
kualifikasi korupsi tipe merugikan keuangan negara (pasal 2 dan/atau 3 UU
Tipikor).

Baca Juga :  Tim Kampanye Sugianto-Edy di Daerah Sudah Bergerak

Pasal Karet

Sejatinya, SE Jamdatun itu barulah penyebab
masalah. Adapun akar masalahnya, keberadaan kedua pasal di atas yang dinilai
sebagai ’’pasal karet”.

Ditinjau dari konsep hukum standar
pembuktian, dua pasal itu memang bermasalah. Pasal tersebut adalah delik
pidana, tapi malah tidak membadankan standar pembuktian hukum pidana yang
bersifat ’’beyond reasonable doubt’’. Pasal itu justru membadankan standar
pembuktian hukum administrasi dan perdata berupa ’’more likely than not”.

Akibatnya, kesalahan administrasi dan
keperdataan dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana sebagai korupsi tipe
merugikan keuangan negara (Wibowo, 2015, 2017).

Karena itu, ada pakar yang menilai pasal
tersebut sebagai ’’Pasal Keranjang Sampah” (Hieriej, 2015). Bahkan, sarjana
hukum luar negeri juga mengungkapkan keheranannya dan mengkritik konsep dan
penerapan pasal itu (Butt, 2009).

Sesungguhnya Mahkamah Konstitusi (MK) sudah pernah
dua kali mengeluarkan putusan guna meningkatkan standar pembuktian pada pasal
tersebut (tahun 2006 dan 2016). Sayang, sebagian hakim Mahkamah Agung (MA)
memilih menghindari putusan MK di atas.

MA kemudian malah mengeluarkan SE No 7 Tahun
2012 yang salah satu substansinya tidak sejalan dengan putusan MK di atas.
Implikasi lanjutannya adalah aparat kepolisian-kejaksaan akan menyesuaikan
dengan paradigma hakim di lingkup MA; melanjutkan paradigma lama yang
mencampuradukkan kesalahan administrasi dan perdata sebagai kesalahan (Wibowo,
2017).

Maka, SE Jamdatun dan paradigma penegak
hukumlah yang menjadi sumbatan masalah penyerapan anggaran. Hendaknya presiden
mengatasi masalah tersebut dengan berkonsultasi ke MA dan menginstruksi
kejaksaan dan kepolisian untuk mengadopsi kerangka berpikir putusan MK. Hal itu
perlu dilakukan segera sebagai salah satu langkah antisipasi resesi. (*)


Richo Andi Wibowo, Dosen FH UGM dengan minat riset
kontrak pemerintah dan pencegahan patologi birokrasi

Terpopuler

Artikel Terbaru