(dailymail.co.uk)
Tertangkap Virus
Virus menyerang Carlos Ghosn –secara tidak
langsung. Virus yang sama juga membuat banyak pelarian lain tertangkap.
Di Jakarta operasi pengamanan Covid-19 membuat
pencetak uang kena jaring. Ia bukan Mukhamad Misbakhun yang getol mengajukan
ide cetak uang. Ia justru cetak uang untuk membayar utang –dan keperluan
lainnya. Yang dicetak uang palsu.
Di Amerika mantan tentara baret hijau yang
melarikan Carlos Ghosn –mantan CEO Nissan-Renault-Mitsubishi yang legendaris
itu– juga tertangkap. Bersama anaknya.
Di Tiongkok pembangkang terkemuka juga
ditangkap. Setelah tidak ada lagi tempat bersembunyi –akibat lockdown. Pembangkang itu –dari sudut pandang
demokrasi ia adalah pejuang.
Di Bangladesh lebih seru lagi. Yang tertangkap
ini pangkatnya kapten angkatan darat: Abdel Majed. Kalau tidak melarikan diri
bisa jadi sekarang pangkatnya sudah jenderal.
Tapi ia harus melarikan diri. Kala itu. 26
tahun lalu.
Kudeta yang dilakukannya hanya setengah
berhasil. Majed sukses membunuh Perdana Menteri Mujibur Rahman. Tapi kudetanya
dapat perlawanan. Pimpinan kudeta itu ditangkap. Ia sendiri melarikan diri.
Jauh sekali. Ke wilayah India –dekat perbatasan Bangladesh.
Kelak, di awal tahun 2020, India melakukan lockdown –untuk mengatasi Covid-19. Sebelum
itu pun India sudah melakulan razia besar-besaran. Terhadap pendatang gelap
dari Bangladesh. Yang umumnya sudah merasa menjadi penduduk India –saking
lamanya.
Di suasana lockdown tidak
ada lagi ruang untuk sang Kapten. Ia memutuskan pulang ke Bangladesh. Ia
mengira peristiwa 26 tahun yang lalu sudah terlupakan.
Ia ditangkap.
Langsung digantung.
Mestinya ia harus dianggap mati akibat Covid-19
juga.
Pengadilan Bangladesh memang sudah menjatuhkan
hukuman mati atas si Kapten. In absentia. Sudah lama berkekuatan hukum
pula.
Kalau pun baru dua minggu lalu menjalani hukum
gantung setidaknya ia sudah mendapat tambahan hidup 26 tahun.
Ia salah perhitungan. Harusnya ia tahu: Perdana
Menteri Bangladesh sekarang, Sheikh Hasina, adalah putri Mujibur Rahman.
Apalagi Hasina lagi naik daun. Ekonomi Bangladesh meroket di masa
pemerintahannyi sekarang ini.
Salah hitung seperti itu pula yang terjadi pada
Michael Taylor –dan putranya, Peter Taylor.
Taylor sudah aman bersembunyi di Lebanon. Tidak
jauh dari Carlos Ghosn yang ia selamatkan –yang kini juga tinggal di Lebanon.
Bahkan, bagi Taylor Lebanon adalah negeri yang ia perjuangan sendiri dengan
nyawanya. Ia pernah menjadi pelatih tentara Kristen di sana bertahun-tahun saat
terjadi perang sipil di Lebanon.
Mungkin ia mengira perhatian semua orang
Amerika lagi ke soal Covid-19. Yang di Amerika parahnya memang bukan main.
Termasuk di Boston, Massachusetts –kampung halamannya.
Ia pulang ke situ, ke Harvard, Boston.
Ditangkap.
Alasannya: Taylor sebenarnya sedang menjalani
hukuman percobaan. Kaitannya dengan kewajiban pajaknya. Hukuman percobaan
adalah hukuman penjara yang tidak perlu masuk penjara –asal tidak berbuat
kriminal lagi.
Begitu ia melakukan perbuatan kriminal langsung
saja tinggal menangkapnya –untuk dimasukkan penjara. Tidak bisa ditunda dengan
uang jaminan.
Anaknya, Peter, sebenarnya juga sudah nyaman
berbisnis di Dubai. Tapi negeri itu juga lagi diserang wabah luar biasa
–dibanding sedikitnya jumlah penduduknya. Negeri itu berpenduduk hanya 10 juta
orang. Yang terkena Covid-1.926.000 orang.
Sang anak pulang juga ke Boston.
Langsung ditangkap.
Ayah-anak Taylor-lah yang mengatur semua
pelarian Carlos Ghosn yang tidak ada duanya itu. Taylor-lah yang mempunyai ide pelarian
menggunakan kotak alat musik itu.
Taylor dan anak buahnya yang orang Lebanon,
datang ke Osaka mengaku sebagai pemusik. Buktinya ia membawa kotak besar alat
musik.
Kotak itu dibawa ke salah satu hotel di Osaka.
Sang anak tinggal di hotel itu. Sudah beberapa hari. Ke hotel itu pulalah Ghosn
naik kereta cepat dari tempat tahanan rumahnya di Tokyo.
Di hotel itu ia masuk ke dalam kotak. Lalu
mereka ke bandara. Ke terminal pesawat carter. Kotaknya kebesaran untuk
dilewatkan mesin scanner. Toh
isinya hanya â€alat musicâ€. Dan lagi ini bandara pesawat carter. Tidak mungkin
kotak itu berisi bahan peledak.
Padahal isinya bisa untuk membeli ribuan ton
bahan peledak: milyader Carlos Ghosn.
Kini Jepang melayangkan permintaan: agar
bapak-anak itu diekstradisi. Akan diadili di Jepang. Kedua negara memang punya
perjanjian ekstradisi. Artinya Amerika mengakui sistem hukum dan praktek
penegakan hukum di Jepang. Di Jepang hukum bisa dipercaya keadilannya.
Amerika, atau Jepang, atau Singapura tidak akan
mau memiliki perjanjian ekstradisi dengan satu negara –yang mereka yakini
hukum di negara tersebut tidak adil.
Covid ternyata tidak hanya menyulitkan orang
tua yang punya penyakit pernafasan, diabetes, dan darah tinggi. Covid-19 juga
menyulitkan para pelarian. Tinggal satu yang masih tetap sakti: yang di
Indonesia itu –yang terkait suap KPU itu. (Dahlan Iskan)