PERUBAHAN metode
kampanye dengan mengurangi tatap muka dan mengalihkannya melalui media
sosial maupun media massa, pada
satu sisi dapat
meminimalkan potensi penyebaran Covid-19. Akan
tetapi pada di
sisi lain, metode kampanye melalui media sosial bisa berdampak
negatif berupa maraknya hoaks, kampanye hitam, maupun
ujaran
kebencian.
Anggota Bawaslu RI
Mochammad Afifuddin mengatakan, berbagai potensi tersebut harus
bisa
diantisipasi. Sebab, kampanye dengan menyebar hoaks, kampanye hitam, hingga
ujaran kebencian akan sangat berbahaya bagi kesehatan proses
demokrasi.
Berdasarkan
identifikasi yang dilakukan Bawaslu, dari 270 daerah pelaksana pilkada, ada 10
daerah
yang memiliki kerawanan tinggi terjadi penyimpangan kampanye lewat
media
sosial. “Untuk provinsi mencakup Sumatera Barat,
Bengkulu, dan Jambi,” ujarnya dalam webinar,
beberapa waktu lalu.
Sementara tujuh daerah
lainnya berada pada level kabupaten/kota. Meliputi Sekadau,
Kota Bukittinggi, Maluku Barat Daya, Solok, Pasaman, Kota Sungai Penuh, dan
Halmahera Timur.
Afif menambahkan, untuk
pengawasan di sosial media, Bawaslu sudah
menjalin kerja sama dengan sejumlah pihak. Mulai dari
Kementerian Komunikasi dan Informatika hingga cyber crime
Mabes
Polri.
Hanya saja, diakuinya,
dalam proses penindakan konten sosial media, masih ditemukan sejumlah
persoalan. Salah satunya adalah kecepatan dalam penurunan konten.
Afif menjelaskan,
Bawaslu tidak memiliki infrastruktur maupun kewenangan untuk memblokir atau menurunkan
konten. Untuk itu, penindakan harus melalui Kominfo dan platform dengan
prosedur yang panjang. Untuk Facebook misalnya, penindakan terhadap sebuah
konten sangat ketat.
“Ga bisa langsung
takedown, kecuali ada persetujuan Facebook Singapura,”
imbuhnya. Padahal, lanjut Afif, konten di sebuah sosial media bisa viral dalam
waktu sekejap. Imbasnya, saat akun di–takedown, kontennya
sudah telanjur viral.
Plt Direktur
Pengendalian Aplikasi Informatika Kominfo Anthonius Malau mengakui, prosedur
penurunan konten masih cukup panjang. Sebagai contoh, jika Kominfo menemukan
konten yang melanggar, pihaknya tidak langsung melakukan takedown,
tapi
harus meminta pertimbangan Bawaslu.
“Untuk dievaluasi
apakah ini terdapat unsur melanggar UU Pilkada,” ujarnya. Jika Bawaslu
menyatakan melanggar, barulah Kominfo dapat melakukan blokir atau takedown
website. Namun jika konten tersebut ada di sosial media, maka harus
berkoordinasi lagi dengan platform.
Anthon menambahkan, pihaknya sudah berupaya
mempercepat prosesnya dengan menjalin kesepakatan dengan platform. Selain itu,
untuk mengantisipasi lamanya prosedur, Kominfo berupaya secepat mungkin
mendapati konten yang melanggar. Bukan hanya mengandalkan laporan
dari masyarakat, tapi Kominfo juga melakukan patroli cyber.