27.6 C
Jakarta
Friday, June 6, 2025

Kampanye Hitam Berbahaya bagi Proses Demokrasi

PERUBAHAN metode
kampanye dengan mengurangi tatap muka dan mengalihkannya
melalui media
sosial
maupun media massa, pada
satu sisi
dapat
meminimal
kan potensi penyebaran Covid-19. Akan
tetapi pada
di
sisi lain, metode kampanye
melalui media sosial bisa berdampak
negatif
berupa maraknya hoaks, kampanye hitam, maupun
ujaran
kebencian.

Anggota Bawaslu RI
Mochammad Afifuddin mengatakan, berbagai potensi tersebut harus

bisa

diantisipasi. Sebab, kampanye dengan menyebar hoaks, kampanye hitam
, hingga
ujaran kebencian
akan sangat berbahaya bagi kesehatan proses
demokrasi.

Berdasarkan
identifikasi yang dilakukan Bawaslu, dari 270 daerah pelaksana
pilkada, ada 10
daerah
yang memiliki kerawanan tinggi terjadi penyimpangan kampanye
lewat
media
sosial. “Untuk provinsi
mencakup Sumatera Barat,
Bengkulu
, dan Jambi,” ujarnya dalam webinar,
beberapa waktu lalu. 

Sementara tujuh daerah
lainnya
berada pada level kabupaten/kota. Meliputi Sekadau,
Kota Bukittinggi, Maluku Barat Daya, Solok, Pasaman, Kota Sungai Penuh
, dan
Halmahera Timur.

Baca Juga :  Sekretariat PPK Diminta Bantu Lancarkan Tahapan Pilkada

Afif menambahkan, untuk
pengawasan
di sosial media, Bawaslu sudah
menjalin kerja
sama dengan sejumlah pihak. Mulai dari
Kementerian Komunikasi dan Informatika
hingga cyber crime
Mabes
Polri.

Hanya saja, diakuinya,
dalam proses penindakan konten sosial media, masih ditemukan sejumlah
persoalan. Salah satunya adalah kecepatan dalam penurunan konten.

Afif menjelaskan,
Bawaslu tidak memiliki infrastruktur maupun kewenangan untuk memblokir atau menurunkan
konten. Untuk itu, penindakan harus melalui Kominfo dan platform dengan
prosedur yang panjang. Untuk Facebook misalnya, penindakan terhadap sebuah
konten sangat ketat.

“Ga bisa langsung
takedown
, kecuali ada persetujuan Facebook Singapura,”
imbuhnya. Padahal, lanjut Afif, konten di sebuah sosial media bisa viral dalam
waktu sekejap. Imbasnya, saat akun di
takedown, kontennya
sudah telanjur viral.

Baca Juga :  Program Kampus Mengajar Angkatan Pertama di Kapuas Berakhir

Plt Direktur
Pengendalian Aplikasi Informatika Kominfo Anthonius Malau mengakui, prosedur
penurunan konten masih cukup panjang. Sebagai contoh, jika Kominfo menemukan
konten yang melanggar, pihaknya tidak langsung melakukan takedown
,
tapi

harus meminta pertimbangan Bawaslu.

“Untuk dievaluasi
apakah ini terdapat unsur melanggar UU Pilkada,” ujarnya. Jika Bawaslu
menyatakan melanggar, barulah Kominfo dapat melakukan blokir atau takedown
website. Namun jika konten tersebut ada di sosial media, maka harus
berkoordinasi lagi dengan platform.

Anthon menambahkan, pihaknya sudah berupaya
mempercepat prosesnya dengan menjalin kesepakatan dengan platform. Selain itu,
untuk mengantisipasi lamanya prosedur, Kominfo berupaya secepat mungkin
mendapati konten yang melanggar. Bukan hanya
mengandalkan laporan
dari masyarakat, tapi Kominfo juga melakukan patroli cyber.

PERUBAHAN metode
kampanye dengan mengurangi tatap muka dan mengalihkannya
melalui media
sosial
maupun media massa, pada
satu sisi
dapat
meminimal
kan potensi penyebaran Covid-19. Akan
tetapi pada
di
sisi lain, metode kampanye
melalui media sosial bisa berdampak
negatif
berupa maraknya hoaks, kampanye hitam, maupun
ujaran
kebencian.

Anggota Bawaslu RI
Mochammad Afifuddin mengatakan, berbagai potensi tersebut harus

bisa

diantisipasi. Sebab, kampanye dengan menyebar hoaks, kampanye hitam
, hingga
ujaran kebencian
akan sangat berbahaya bagi kesehatan proses
demokrasi.

Berdasarkan
identifikasi yang dilakukan Bawaslu, dari 270 daerah pelaksana
pilkada, ada 10
daerah
yang memiliki kerawanan tinggi terjadi penyimpangan kampanye
lewat
media
sosial. “Untuk provinsi
mencakup Sumatera Barat,
Bengkulu
, dan Jambi,” ujarnya dalam webinar,
beberapa waktu lalu. 

Sementara tujuh daerah
lainnya
berada pada level kabupaten/kota. Meliputi Sekadau,
Kota Bukittinggi, Maluku Barat Daya, Solok, Pasaman, Kota Sungai Penuh
, dan
Halmahera Timur.

Baca Juga :  Sekretariat PPK Diminta Bantu Lancarkan Tahapan Pilkada

Afif menambahkan, untuk
pengawasan
di sosial media, Bawaslu sudah
menjalin kerja
sama dengan sejumlah pihak. Mulai dari
Kementerian Komunikasi dan Informatika
hingga cyber crime
Mabes
Polri.

Hanya saja, diakuinya,
dalam proses penindakan konten sosial media, masih ditemukan sejumlah
persoalan. Salah satunya adalah kecepatan dalam penurunan konten.

Afif menjelaskan,
Bawaslu tidak memiliki infrastruktur maupun kewenangan untuk memblokir atau menurunkan
konten. Untuk itu, penindakan harus melalui Kominfo dan platform dengan
prosedur yang panjang. Untuk Facebook misalnya, penindakan terhadap sebuah
konten sangat ketat.

“Ga bisa langsung
takedown
, kecuali ada persetujuan Facebook Singapura,”
imbuhnya. Padahal, lanjut Afif, konten di sebuah sosial media bisa viral dalam
waktu sekejap. Imbasnya, saat akun di
takedown, kontennya
sudah telanjur viral.

Baca Juga :  Program Kampus Mengajar Angkatan Pertama di Kapuas Berakhir

Plt Direktur
Pengendalian Aplikasi Informatika Kominfo Anthonius Malau mengakui, prosedur
penurunan konten masih cukup panjang. Sebagai contoh, jika Kominfo menemukan
konten yang melanggar, pihaknya tidak langsung melakukan takedown
,
tapi

harus meminta pertimbangan Bawaslu.

“Untuk dievaluasi
apakah ini terdapat unsur melanggar UU Pilkada,” ujarnya. Jika Bawaslu
menyatakan melanggar, barulah Kominfo dapat melakukan blokir atau takedown
website. Namun jika konten tersebut ada di sosial media, maka harus
berkoordinasi lagi dengan platform.

Anthon menambahkan, pihaknya sudah berupaya
mempercepat prosesnya dengan menjalin kesepakatan dengan platform. Selain itu,
untuk mengantisipasi lamanya prosedur, Kominfo berupaya secepat mungkin
mendapati konten yang melanggar. Bukan hanya
mengandalkan laporan
dari masyarakat, tapi Kominfo juga melakukan patroli cyber.

Terpopuler

Artikel Terbaru