27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Pidana Korporasi, Pencucian Uang, dan Pilkada

BUPATI Sidoarjo Saiful Ilah terjerat operasi
tangkap tangan (OTT) KPK karena dugaan korupsi sejumlah proyek infrastruktur.
Pada dasarnya, kasus tersebut tidak dapat dilepaskan dari ekonomi korporasi.
Yakni, untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, perlu ada hubungan baik
dengan pejabat yang berwenang.

Dalam konteks demikian, Dionysios Spinellis dari Universitas Athena
menyebut relasi kasus tersebut sebagai crimes of politicians in office atau top
hat crimes.

Peristiwa serupa terjadi di beberapa negara dengan sistem politik dan
sosial yang berbeda.

Kejahatan yang dilakukan pun berbeda-beda. Mulai pengkhianatan tingkat
tinggi, pelanggaran konstitusi, pembunuhan terhadap pesaing politik,
penculikan, penyalahgunaan kekuasaan, penyadapan telepon secara ilegal, hingga
memata-matai pesaing politik. Atau, penahanan secara melawan hukum, skandal
ekonomi, penggelapan uang rakyat, penyalahgunaan informasi orang dalam,
penyuapan, dan lain-lainnya (General Report for the Round Table Discussion at
the “XV International Congress of Penal Law” yang diselenggarakan di Manila,
Selasa, 6 September 1994:17).

Semakin besar kekuatan ekonomi dari sektor privat (korporasi), semakin
mudah pula memengaruhi top hat. Dalam konteks demikian, hubungan antara top hat
dan white-collar dapat menjadi hubungan yang saling membutuhkan dan
menguntungkan. Namun, dalam beberapa kasus, bisa juga top hat yang melakukan
pemerasan (extortion) terhadap korporasi. Top hat berkaitan dengan pejabat
publik yang memegang dan menggunakan kewenangan politik. Sedangkan white collar
umumnya berkaitan dengan kegiatan bisnis, utamanya di sektor swasta.

Hubungan yang saling menguntungkan itu, tampaknya, terus berlangsung.
Misalnya, dalam kasus Enron. Enron yang jaringan bisnisnya menggurita hingga ke
Indonesia, ternyata setelah kejatuhannya, terungkap bahwa banyak petinggi di
Gedung Putih yang menikmati sumbangan dana dari Enron, tak terkecuali George W.
Bush semasa menjadi presiden AS. Uang itu merupakan imbalan dari berbagai
kebijakan Gedung Putih yang menguntungkan Enron.

Baca Juga :  Kunjungi Posko Pantau Covid-19, Wali Kota Fairid Apresiasi Warga Kecip

Pencucian Uang

Menjelang pilkada serentak 2020, patut dicermati tren kenaikan tindak pidana
pencucian uang (TPPU). Modusnya melalui penyembunyian asal-usul harta kekayaan
yang dikumpulkan dari hasil kejahatan. Dana ilegal itu disalurkan untuk
membiayai pilkada.

Sudah jamak apabila pilkada bertalian dengan penggunaan uang untuk biaya
pemenangan. Itu menjadi pintu masuk bagi penyandang dana alias sponsor berdana
besar untuk mencuci uang. Praktik tersebut tidak dapat dipisahkan dari peran
dua pihak. Yakni, calon kepala daerah dan penyandang dana. Mereka saling
membutuhkan.

Di satu sisi, calon kepala daerah butuh dana besar untuk money politics. Di
sisi lain, penyandang dana ingin membersihkan uang yang dikumpulkan dari
praktik ilegal, entah itu dari korupsi (termasuk suap), judi, bahkan mungkin
narkoba atau kejahatan lain yang merupakan tindak pidana asal (predicate
crimes) sesuai pasal 2 ayat (1) UU No 8 Tahun 2010 tentang TPPU.

Selanjutnya, hubungan calon kepala daerah dan penyandang dana bisa ditebak.
Yakni, bakal melakukan serangkaian kolusi (permufakatan) dan persekongkolan
(konspirasi).

Pada dasarnya, TPPU merupakan kejahatan terhadap pembangunan dan
kesejahteraan.

Ruang lingkup dan dimensi kejahatan itu begitu luas. Mencakup ciri-ciri
sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan transnational
crime. Bahkan, dengan kemajuan teknologi informasi, TPPU dapat menjadi salah
satu bentuk dari cyber crime.

Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) merumuskan bahwa
TPPU adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil kejahatan.
Tujuannya, penghilangan jejak kejahatan sehingga memungkinkan pelakunya
menikmati keuntungan tanpa mengungkap sumber perolehan.

Penjualan senjata ilegal, penyelundupan, dan kejahatan terorganisasi
(contohnya perdagangan obat dan prostitusi) dapat menghasilkan banyak uang.
Penggelapan, perdagangan orang dalam (insider trading), penyuapan, dan bentuk
penyalahgunaan komputer dapat juga menghasilkan keuntungan yang besar. Selain
itu, menimbulkan dorongan untuk menghalalkan (legitimise) hasil yang diperoleh
melalui money laundering.

Baca Juga :  Kursi Kotim 1 Bakal Diperebutkan Pengusaha, Politisi Hingga Birokrat

Sebagaimana yang ditulis Hans G. Nilsson dalam buku Money Laundering and
Banking Secrecy, General Report of XIVth International Congress of Comparative
Law, Athens, 1994, TPPU telah menjadi permasalahan bagi masyarakat
internasional dalam dua dekade ini. Dewan Eropa kala itu mengingatkan bahaya
TPPU terhadap demokrasi. Dinyatakan juga bahwa transfer dana hasil kejahatan
dari negara satu ke negara lain dan pencucian uang kotor melalui penempatan
dalam sistem ekonomi telah meningkatkan permasalahan serius, baik dalam skala
nasional maupun internasional.

Meski demikian, hampir satu dekade rekomendasi tersebut tidak berhasil
menarik perhatian masyarakat internasional. Baru kemudian setelah meledaknya
perdagangan gelap narkotika pada 1980-an, masyarakat internasional sadar bahwa
money laundering menjadi ancaman terhadap keutuhan sistem keuangan dan pada
akhirnya dapat menimbulkan permasalahan serius terhadap stabilitas demokrasi.

Untuk penanggulangan, lazimnya kejahatan lainnya, TPPU tidak mungkin
dienyahkan secara total. Sebab, ada teritori tertentu di luar jangkauan hukum.
Yang bisa dilakukan adalah meminimalkan. Dalam politik kriminal, penanggulangan
kejahatan meliputi dua pendekatan. Yakni, jalur penal (hukum pidana) dan
non-penal (tidak menggunakan hukum pidana). Jalur penal dilakukan melalui
penegakan hukum UU TPPU. Sedang non-penal melalui pencegahan dengan cara
mengoptimalkan registrasi khusus dari lembaga keuangan yang berwenang bagi
mereka yang ingin bertransaksi dengan mata uang ini. (***)

(M. Arief Amrullah, adalah Guru besar hukum bidang pidana korporasi dan
pencucian uang Fakultas Hukum Universitas Jember)

BUPATI Sidoarjo Saiful Ilah terjerat operasi
tangkap tangan (OTT) KPK karena dugaan korupsi sejumlah proyek infrastruktur.
Pada dasarnya, kasus tersebut tidak dapat dilepaskan dari ekonomi korporasi.
Yakni, untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, perlu ada hubungan baik
dengan pejabat yang berwenang.

Dalam konteks demikian, Dionysios Spinellis dari Universitas Athena
menyebut relasi kasus tersebut sebagai crimes of politicians in office atau top
hat crimes.

Peristiwa serupa terjadi di beberapa negara dengan sistem politik dan
sosial yang berbeda.

Kejahatan yang dilakukan pun berbeda-beda. Mulai pengkhianatan tingkat
tinggi, pelanggaran konstitusi, pembunuhan terhadap pesaing politik,
penculikan, penyalahgunaan kekuasaan, penyadapan telepon secara ilegal, hingga
memata-matai pesaing politik. Atau, penahanan secara melawan hukum, skandal
ekonomi, penggelapan uang rakyat, penyalahgunaan informasi orang dalam,
penyuapan, dan lain-lainnya (General Report for the Round Table Discussion at
the “XV International Congress of Penal Law” yang diselenggarakan di Manila,
Selasa, 6 September 1994:17).

Semakin besar kekuatan ekonomi dari sektor privat (korporasi), semakin
mudah pula memengaruhi top hat. Dalam konteks demikian, hubungan antara top hat
dan white-collar dapat menjadi hubungan yang saling membutuhkan dan
menguntungkan. Namun, dalam beberapa kasus, bisa juga top hat yang melakukan
pemerasan (extortion) terhadap korporasi. Top hat berkaitan dengan pejabat
publik yang memegang dan menggunakan kewenangan politik. Sedangkan white collar
umumnya berkaitan dengan kegiatan bisnis, utamanya di sektor swasta.

Hubungan yang saling menguntungkan itu, tampaknya, terus berlangsung.
Misalnya, dalam kasus Enron. Enron yang jaringan bisnisnya menggurita hingga ke
Indonesia, ternyata setelah kejatuhannya, terungkap bahwa banyak petinggi di
Gedung Putih yang menikmati sumbangan dana dari Enron, tak terkecuali George W.
Bush semasa menjadi presiden AS. Uang itu merupakan imbalan dari berbagai
kebijakan Gedung Putih yang menguntungkan Enron.

Baca Juga :  Kunjungi Posko Pantau Covid-19, Wali Kota Fairid Apresiasi Warga Kecip

Pencucian Uang

Menjelang pilkada serentak 2020, patut dicermati tren kenaikan tindak pidana
pencucian uang (TPPU). Modusnya melalui penyembunyian asal-usul harta kekayaan
yang dikumpulkan dari hasil kejahatan. Dana ilegal itu disalurkan untuk
membiayai pilkada.

Sudah jamak apabila pilkada bertalian dengan penggunaan uang untuk biaya
pemenangan. Itu menjadi pintu masuk bagi penyandang dana alias sponsor berdana
besar untuk mencuci uang. Praktik tersebut tidak dapat dipisahkan dari peran
dua pihak. Yakni, calon kepala daerah dan penyandang dana. Mereka saling
membutuhkan.

Di satu sisi, calon kepala daerah butuh dana besar untuk money politics. Di
sisi lain, penyandang dana ingin membersihkan uang yang dikumpulkan dari
praktik ilegal, entah itu dari korupsi (termasuk suap), judi, bahkan mungkin
narkoba atau kejahatan lain yang merupakan tindak pidana asal (predicate
crimes) sesuai pasal 2 ayat (1) UU No 8 Tahun 2010 tentang TPPU.

Selanjutnya, hubungan calon kepala daerah dan penyandang dana bisa ditebak.
Yakni, bakal melakukan serangkaian kolusi (permufakatan) dan persekongkolan
(konspirasi).

Pada dasarnya, TPPU merupakan kejahatan terhadap pembangunan dan
kesejahteraan.

Ruang lingkup dan dimensi kejahatan itu begitu luas. Mencakup ciri-ciri
sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan transnational
crime. Bahkan, dengan kemajuan teknologi informasi, TPPU dapat menjadi salah
satu bentuk dari cyber crime.

Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) merumuskan bahwa
TPPU adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil kejahatan.
Tujuannya, penghilangan jejak kejahatan sehingga memungkinkan pelakunya
menikmati keuntungan tanpa mengungkap sumber perolehan.

Penjualan senjata ilegal, penyelundupan, dan kejahatan terorganisasi
(contohnya perdagangan obat dan prostitusi) dapat menghasilkan banyak uang.
Penggelapan, perdagangan orang dalam (insider trading), penyuapan, dan bentuk
penyalahgunaan komputer dapat juga menghasilkan keuntungan yang besar. Selain
itu, menimbulkan dorongan untuk menghalalkan (legitimise) hasil yang diperoleh
melalui money laundering.

Baca Juga :  Kursi Kotim 1 Bakal Diperebutkan Pengusaha, Politisi Hingga Birokrat

Sebagaimana yang ditulis Hans G. Nilsson dalam buku Money Laundering and
Banking Secrecy, General Report of XIVth International Congress of Comparative
Law, Athens, 1994, TPPU telah menjadi permasalahan bagi masyarakat
internasional dalam dua dekade ini. Dewan Eropa kala itu mengingatkan bahaya
TPPU terhadap demokrasi. Dinyatakan juga bahwa transfer dana hasil kejahatan
dari negara satu ke negara lain dan pencucian uang kotor melalui penempatan
dalam sistem ekonomi telah meningkatkan permasalahan serius, baik dalam skala
nasional maupun internasional.

Meski demikian, hampir satu dekade rekomendasi tersebut tidak berhasil
menarik perhatian masyarakat internasional. Baru kemudian setelah meledaknya
perdagangan gelap narkotika pada 1980-an, masyarakat internasional sadar bahwa
money laundering menjadi ancaman terhadap keutuhan sistem keuangan dan pada
akhirnya dapat menimbulkan permasalahan serius terhadap stabilitas demokrasi.

Untuk penanggulangan, lazimnya kejahatan lainnya, TPPU tidak mungkin
dienyahkan secara total. Sebab, ada teritori tertentu di luar jangkauan hukum.
Yang bisa dilakukan adalah meminimalkan. Dalam politik kriminal, penanggulangan
kejahatan meliputi dua pendekatan. Yakni, jalur penal (hukum pidana) dan
non-penal (tidak menggunakan hukum pidana). Jalur penal dilakukan melalui
penegakan hukum UU TPPU. Sedang non-penal melalui pencegahan dengan cara
mengoptimalkan registrasi khusus dari lembaga keuangan yang berwenang bagi
mereka yang ingin bertransaksi dengan mata uang ini. (***)

(M. Arief Amrullah, adalah Guru besar hukum bidang pidana korporasi dan
pencucian uang Fakultas Hukum Universitas Jember)

Terpopuler

Artikel Terbaru