TULISAN Victor F Yeimo yang berjudul “Memandang Pembebasan Papuaâ€
yang dimuat di www.suarapapua.com penuh dengan pembolak-balikkan fakta sejarah
dan tulisan Juru Bicara Internasional KNPB Pusat ini jelas sarat dengan
propaganda dan agitasi dalam rangka menjaga semakin “membenci†generasi muda
Papua, padahal sebenarnya mayoritas generasi muda di Papua sudah mulai
menyadari bahwa Papua adalah bagian sah Indonesia, karena Indonesia adalah
Papua dan Papua adalah Indonesia.
Sebagai bukti bahwa kelompok
separatis dan sayap politiknya tidak mendapatkan dukungan dari generasi muda di
Papua seperti dikemukakan Ikatan Keluarga Mahasiswa Papua di Ambon, Maluku
meminta mahasiswa Papua untuk tidak ikut-ikutan pada aksi yang didasarkan pada
kekaburan fakta sejarah yang bisa berkonsekuensi hukum seperti aksi 1 Desember.
Mahasiswa Papua diminta untuk lebih fokus belajar dapatkan gelar sarjana untuk
dapat berperan membangun daerah Papua.
Jika Victor F Yeimo yang
bersahabat dengan Veronica Koman menilai bahwa jenis kesengsaraan yang menimpa
orang Papua, merupakan bentuk dari kolonialisme modern yang kemudian dapat
dibahasakan sebagai imperialisme. Dengan begitu, perspektif cara pandang kita
menjadi jelas bahwa semua ketimpangan ekonomi, sosial dan politik di West Papua
merupakan anak kandung kaum imperialis yang bernama, Indonesia, maka jelas ini
adalah pemikiran yang salah kaprah, sebab Indonesia tidak pernah menjajah
Papua.
Victor yang menulis ekspansi
kekuasan Indonesia yang dilakukan Soekarno melalui Trikora (Tri Komando Rakyat)
terhadap wilayah kedaulatan West Papua, yang dimulai pada 1 Mei 1961 (atau 19
hari setelah deklarasi Manifesto Kemerdekaan West Papua) menjadi awal dari
penjajahan tersebut. Aksi ekspansif Indonesia ke tanah Papua, dengan berbagai
alasan pembenarannya justru menjadi pembuktiaan mental militerisme dan hasrat
kolonialisme penguasa Indonesia saat itu yang akhirnya terus berlangsung hingga
sekarang.
Pemikiran Yeimo ini perlu
diluruskan karena integrase Papua dalam wilayah Indonesia disetujui oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan tidak ada tekanan kepada masyarakat Papua
saat itu, dan pelaksanaan Pepera yang disupervisi oleh PBB juga berjalan dengan
lancar.
Kemudian terkait tuduhan bahwa
Indonesia juga menjalankan praktik penjajahan lain melalui politik asimilisasi
(Indonesianisasi). Praktik ini dijalankan dengan pendapat bahwa orang Papua
masih terbelakang dan tuntutan kemerdekaan yang muncul semata-mata karena ketidakpahaman
mengenai ke-Indonesia-an itu sendiri. Praktik Indonesianisasi ini, misalkan,
dijalankan melalui pendidikan sosial budaya baik melalui sekolah maupun
institusi terkait lain.
Fenomena ini jelas menggambarkan
bagaimana Victor F Yeimo kurang mendapatkan informasi valid terkait dinamika
generasi muda Papua di beberapa daerah khususnya di Jawa Timur yang sangat
antusias mengikuti pendidikan ‘Sekolah Pancasila†yang dilaksanakan oleh salah
satu organisasi massa atau Parpol tersebut. Dalam pelaksanaannya, generasi muda
Papua menyadari bahwa Pancasila itu penting dan Papua bergabung dalam Indonesia
adalah tindakan benar dari para pejuang Papua saat itu.
Tidak ada buktinya dan tidak ada
ceritanya jika aparat Indonesia menjajah atau membuat repot masyarakat Papua,
bahkan fakta sebaliknya justru yang terjadi dimana kelompok separatis Papua
yang sering mengancam dan mengintimasi kalangan orang asli Papua (OAP) itu
sendiri, seperti contohnya tanggal 29 Januari 2019, di Kompleks Pasar Ilaga,
Jalan Kimak, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, masyarakat mendapatkan dua
surat mengatasnamakan Sentra TPN/OPM Papua Barat yang intinya berisi permintaan
uang sebesar Rp50.000.000, kepada para kepala suku, pemilik kios dan tukang
ojek di kawasan Kompleks Pasar Ilaga. Uang tersebut akan digunakan oleh TPN/OPM
Papua Barat. Jika dana tersebut tidak diberikan, TPN/OPM Papua Barat akan
melakukan aksi gangguan keamanan.
Kemudian di Manokwari, Papua
Barat, pada akhir Juni 2019, masyarakat juga mendapatkan selebaran permohonan
dukungan dana yang dikeluarkan oleh Negara Republik Federal Papua Barat wilayah
III Domberai) untuk mendukung perjuangan Papua Merdeka yang ditujukan kepada
seluruh OAP di wilayah Manokwari dan Papua Barat.
Pada awal Mei 2019, di Kota
Jayapura, Papua, beredar rekaman video berdurasi 3 menit 55 detik yang berisi
pernyataan perang Ayub Waker yang juga Komandan Operasi TPN/OPM Wilayah Banti,
Ultikini, Tembagapura Kabupaten Mimika dari Markas Kodap VIII Kemabu Intan
Jaya, yang akan melakukan aksi penyerangan terhadap PT Freeport Indonesia di
Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika. Pernyataan perang tersebut juga telah
disebarkan melalui medsos Youtube.
Komnas TPNPB-OPM ikut menyebarkan
link video tersebut melalui akun facebook. “TPNPB akan menembak mati orang yang
tidak bersenjata tetapi yang masih di daerah Tembagapura setelah pengumuman
pernyataan perang ini dikeluarkan. Pernyataan ini akan mulai berlaku sejak hari
pernyataan ini dipublikasikan hingga awal perang. Jika ada korban sipil atau
seseorang yang tidak bersenjata, itu adalah risiko karena tidak mengindahkan
pengumuman perintah perang iniâ€.
Video ini jelas menggambarkan
bahwa kelompok TPNPB-OPM lah yang selama ini menjadi biang kerok instabilitas
keamanan di Papua, dan tugas TNI, Polri dan BIN dalam mengamankan Papua selama
ini adalah konstitusional, termasuk sangat kuat dasar hukum secara
internasional, karena apapun ceritanya kelompok separatis adalah musuh bersama
masyarakat global.
Di negara manapun juga, yang
namanya pemberontakan atau separatis harus diberantas sampai habis, dan apabila
tidak menyerah atau tertangkap dapat dikenakan hukuman setinggi-tingginya
karena tindakannya membahayakan kedaulatan negara.
Oleh karena itu, sangat
mengherankan pernyataan Sebby Sambom yang juga Juru Bicara Komnas TPNPB awal
Mei 2019 yang menyatakan sikap TPNPB-OPM menolak tuntutan hukuman mati terhadap
Yogor Telenggen alias Kartu Kuning, bahkan jika hukuman mati tetap dilakukan
TPNPB-OPM mengancam akan membalas dengan cara militer TPNPB, walaupun sampai
saat ini hal tersebut hanya “gertak sambalâ€.
Victor F Yeimo seharusnya akan
lebih baik menulis bagaimana anasir-anasir asing termasuk sahabat Victor F
Yeimo yaitu Veronica Koman yang terus menerus berupaya menginternasionalisasi
masalah Papua, walaupun selalu gagal. Berbagai catatan “keterlibatan asingâ€
dalam masalah Papua seperti pertama, tindakan makar makar dan pemufakatan jahat
dengan terdakwa Jacob Fabian Skrzypski, warga negara Polandia dan Simon Carlos
Magal, yang diduga berencana menyuplai amunisi dan senjata bagi KKSB Yambi
Pimpinan Lekagak Telenggen.
Kedua, adanya petisi yang
disebarkan oleh DFAIT (Departement of Foreign Affairs Immigration and Trade) of
Federal Republic of West Papua) ditandatangani melalui internet dan
direncanakan akan diserahkan kepada Richard Di Natale, senator Australia yang
intinya meminta kepada Senat Australia untuk mengajukan masalah Papua (Hak
Menentukan Nasib Sendiri) dalam sidang Umum PBB pada September 2019 dan
mendesak pemerintah Australia untuk mendukung resolusi yang disiapkan oleh
United Liberation Movement untuk Papua Barat untuk mendaftarkan Papua Barat
dengan Komite Dekolonisasi PBB.
Selain itu, sayap-sayap politik
kelompok separatis di Papua juga sering menyebarkan “hoax†seperti misalnya
mereka menyebutkan pada 13 s.d 16 Agustus 2019 di Tuvalu, Fiji, telah
disepakati untuk meminta PBB mendesak Pemerintah RI agar mengizinkan Komisi HAM
PBB mengunjungi Papua guna melihat dan mendengar langsung situasi di Papua.
Pimpinan PIF juga menegaskan akan mendorong untuk dibukanya ruang perundingan
konstruktif antara Indonesia dan Papua di bawah pengawasan PBB.
Sementara bagi para pemimpin
negara-negara di kepulauan pasifik diwajibkan untuk mengangkat isu kejahatan
kemanusiaan yang telah berlangsung lama di Papua. Fenomena penyebaran “hoaxâ€
seperti ini jelas tidak akan bermanfaat di era internet seperti sekarang ini,
karena generasi muda Papua dan masyarakat internasional dapat melakukan
crosscheck kebenarannya melalui jalur rekam jejak digital.
(Penulis adalah pendukung integrasi
Papua dalam Indonesia. Pemerhati politik)