Inilah pertanyaan yang sama yang saya ajukan kepada 10 orang
yang berbeda di negara yang berlainan:
Mengapa tidak ada virus corona di Indonesia? Percayakah Anda?
โTidak mungkin tidak ada di Indonesia. Virus ini sudah
menyerang seluruh negara di Asia,โ jawab seorang teman di Singapura. Ia
bukan Robert Lai. Tapi pendapatnya sama dengan Robert.
Tidak satu pun dari 10 orang itu yang percaya kalau virus corona
belum masuk Indonesia.
Inilah zaman persepsi โyang fakta kalah dengan persepsi. Dan
itulah nasib Indonesia โdipersepsikan seperti itu.
Bahkan ada yang memandang lebih rendah lagi: mungkin peralatan
di Indonesia belum memadai untuk bisa mendeteksi virus corona.
Saya hanya tertawa mendengar jawaban yang seperti itu. Apa boleh
buat. Reputasi kita memang belum tinggi. Padahal dalam banyak hal kita bisa
lebih baik.
Misalnya dalam hal penyakit-penyakit tropik. Pasti dokter
Indonesia lebih ahli. Tapi ada saja orang kaya Indonesia yang tetap emosional.
Yang mengagungkan dokter Singapura secara membabi buta.
Orang kaya itu terkena demam berdarah. Tinggalnya di Jakarta. Ia
segera dibawa ke Singapura karena hanya percaya dokter Singapura.
Saya terlambat tahu itu. Saya tidak sempat menasihatinya.
Akhirnya ia meninggal dunia di Singapura.
Masih begitu mudanya โuntuk ukuran saya. Ia belum lagi 55
tahun.
Padahal dokter di Indonesia pasti lebih ahli dan berpengalaman
menangani demam berdarah. Atau penyakit lain yang sebangsa itu.
Tapi tetap saja dokter kita dipersepsikan kalah.
Teman saya di Beijing menjawab dengan lebih diplomatik. Khas
jawaban orang dari sana.
โSaya juga terheran-heran mengapa virus corona tidak
menyerang Indonesia,โ katanya. โKalau benar begitu tentu orang Indonesia
sangat berbahagia,โ tambahnya.
Saya tidak perlu jawaban basa-basi begitu. Saya pun mengejarnya
dengan pertanyaan yang lebih tegas: apakah Anda percaya? Akhirnya ia menjawab
terus terang: โSayang sekali saya tidak percaya.โ
Ada lagi yang berpendapat bahwa virus corona sudah masuk
Indonesia. Hanya saja tidak terdeteksi karena gejalanya hanya mirip flu.
Dan yang terkena โfluโ itu ternyata sembuh. Tanpa diketahui
mungkin saja itu corona.
Memang banyak rumor yang tidak ilmiah ikut beredar. Misalnya
soal suhu udara Indonesia yang panas.
Tapi suhu di Singapura kan juga tidak ada bedanya dengan di
Indonesia. Bahkan Australia kini lagi musim panas โtoh terkena juga.
Soal rumor tidak makan babi terbantah lebih telak lagi: kan
masyarakat Tionghoa Indonesia juga makan babi. Kok juga tidak terkena.
Di Tiongkok sendiri terbukti kian jauh dari Wuhan kian sedikit
yang terserang corona. Di Provinsi terjauh, Xinjiang, hanya 71 yang terkena, 11
orang di antaranya sudah sembuh. Hanya satu orang meninggal.
Di Provinsi Ningxia, yang muslimnya juga besar, hanya 70 yang
terkena โitu pun yang 33 orang sudah sembuh. Tidak satu pun meninggal.
Demikian juga di Provinsi Qinghai โdi antara Ningxia dan
Xinjiangโ hanya 18 orang terkena tapi yang 13 orang sudah sembuh. Tinggal lima
orang yang masih dirawat. Tidak satu pun yang meninggal.
Di provinsi terjauh lainnya, Tibet โyang mayoritas Buddhaโ
hanya satu orang yang terkena corona. Itu pun sudah sembuh.
Yang mengejutkan memang tetap saja Kota Wuhan. Tiga hari yang
lalu tiba-tiba saja angka penderita barunya melonjak drastis. Dari biasanya
sudah turun ke kisaran 1000, menjadi 14.800.
Hari berikutnya memang turun lagi tapi masih tinggi: 4.800.
Baru kemarin sudah turun lagi menjadi 1.800 orang.
Lonjakan sampai 14.000 lebih itu ternyata bukan karena wabahnya
menggila lagi. Mulai hari itu dokter dan perawat dikerahkan terjun ke
masyarakat. Dokter dan perawat dari propinsi lain dikerahkan ke Wuhan.
Maka angka penderita barunya tidak lagi hanya yang datang ke
klinik. Itu sudah termasuk hasil operasi jemput bola ke tengah masyarakat.
Saya pun tenang. Melonjaknya angka penderita baru akibat gerakan baru jemput
bola itu.
Wuhan memang lagi โdigempurโ habis-habisan. Agar wilayah sumber
wabah ini cepat teratasi.
Adakah Indonesia mirip Tibet? Yang penderitanya hanya satu โitu
pun kemudian sembuh? (Dahlan Iskan)