32 C
Jakarta
Wednesday, June 4, 2025

Hanoman Ngerock

Jalan menuju kuil Hanoman ini
ruwet sekali.

Ups, salah.

Semua jalan di kota suci Varanasi
ini ruwet sekali. Dan berdebu. Semua jenis kendaraan berebut aspal. Juga
bersaing dalam adu keras membunyikan klakson. Dan adu cepat –siapa yang
klakson duluan.

Inilah kota yang paling ruwet
lalu-lintasnya –di antara kota ruwet yang saya kunjungi.

Dan kotor.

Kekotoran di sekitar kuil ini
hanya kalah dari kekumuhan di sekitar Masjid Jami Old Delhi. Atau Kota Old
Delhi secara keseluruhan.

Meski saya tinggal di New Delhi
saya selalu datang ke Old Delhi –karena masjid bersejarahnya ada di situ.

Saya pernah ke Delhi untuk
belajar bagaimana mengatasi pencurian listrik.

Waktu itu tingkat pencurian
listrik di Indonesia 12 persen. Yang tertinggi di daerah ehm – -mencapai 16
persen. Terendah di Jateng –hanya 7 persen.

Saya tidak jadi belajar.
Pencurian listrik di Delhi – -ketika itu– ternyata 35 persen. Yang saya maksud
Delhi adalah gabungan antara New dan Old Delhi.

Waktu itu saya tidak membayangkan
suatu saat saya akan ke Varanasi. Bahkan nama kota ini pun belum pernah saya
dengar. Saya bisa membayangkan tingkat pencurian listriknya. Terlihat dari
ruwetnya kabel di mana-mana –bercampur aduk dengan segala macam kabel
telekomunikasi.

Tapi saya ke Varanasi tidak untuk
kabel. Saya mau ke Kuil Hanoman. Yang di antara Kuil Hanoman seluruh India yang
di Varanasi inilah yang dianggap paling tinggi.

Saya tahu itu saat di Amritsar.
Sepulang dari tempat lahirnya aliran Islam Ahmadiyah. Atau sepulang dari
perbatasan Pakistan –yang ada pertunjukan adu lucu antar tentara perbatasan
itu (Baca juga: Nasionalisme
Atraktif
)

Hari itu matahari sudah
tenggelam. Menjelang masuk hotel saya mendengar alunan suara musik keras. Musik
India. Diselingi lagu-lagu dari orang banyak. Bayangan saya seperti lagi ada
konser selawat Habib Syech.

Baca Juga :  Bangkitkan Semangat Perekonomian Masyarakat

“Apa itu?” tanya saya
pada yang mengantarkan saya. Ia seorang India Katolik –sejak kakek-neneknya
dulu. Tapi kalau lagi ada acara-acara resmi ia mengenakan topi orang Sikh
–sebagai orang asli Punjab.

“Itu perayaan Hari Raya
Hanoman,” jawabnya.

“Kita ke sana.
Kedengarannya  tidak jauh,” kata saya.

“Anda tidak akan
mengerti,” katanya.

“Anda capek?”

“Tidak. Tapi saya tidak mau
ke sana”.

“Anda drop saja saya di
sana. Tidak usah ditunggu. Nanti saya pulang sendiri ke hotel. Pakai
Bajaj”.

Saya diantar sampai di sebuah
perempatan. Ternyata agak jauh. Berarti pengeras suaranya yang sangat kuat.

“Mobil hanya bisa sampai di
sini. Jalan ditutup,” katanya sambil meminggirkan mobil.

Ini jalan kembar. Masing-masing
dua lajur. Di tengah kota. Tapi lajur kirinya ditutup. Justru untuk acara yang
ingin saya datangi itu.

Banyak tentara dan polisi di
situ. Juga banyak yang antre masuk ke dalam tenda besar. Dekorasinya meriah.
Kuning merah hijau. Lampu  penerangannya banyak. Demikian juga lampu
hiasnya. Termasuk lampu diskonya.

Saya berdiri termangu di depan
tenda. Sambil mengamati apa yang terjadi di dalam tenda. Tidak jelas. Saya
longokkan wajah. Tidak jelas juga.

“Silakan masuk,” ujar
seorang petugas muda yang mendatangi saya.

“Boleh?”

“Silakan. Dengan senang
hati”.

Saya pun diminta mencopot sepatu.
Untuk dititipkan di ruang sebelah. Yang saya maksud ruang adalah jalan raya
yang dipagari tali rafia.

Semua sepatu di parkir di situ.
Di atas hamparan plastik. Di lajur jalan yang ditutup itu.

Petugas lain mencarikan saya
penutup kepala. Yakni kain segitiga berwarna merah. Yang ada tulisan Hindi-nya.

Tenda kuning ini besar sekali.
Penuh dengan umat yang bersila di atas hamparan karet. Lebih 1000 orang. Semua
berpenutup kepala warna merah.

Baca Juga :  Agenda Ini yang akan Diikuti SIWO Kalteng di Rakernaslub

Di panggung musiknya seru sekali.
Gendang India-nya sangat dinamis. Yang menyanyi semangat sekali. Semua syairnya
berisi selawat pada Hanoman.

Yang dipuja ada di backdrop panggung:
foto lukisan Hanoman besar. Bersama dewa-dewa lainnya.

Sesekali mereka yang duduk
bersila ikut menyanyi. Juga bertepuk-tepuk tangan. Sesekali musik India-nya ngerock.
Ada yang berjoget di panggung. Dan di depan panggung.

Meriah. Gembira. Jadi satu.

Baru di India kali ini saya
menyadari: pemujaan terhadap Hanoman luar biasa.

Hanoman adalah dewa kekuatan.
Juga dewa pengabdian. Di samping dewa kesetiaan.

Saya menyukai Hanoman sejak kecil
–meski lebih suka lagi pada Dursasana.

Tidak hanya dalam lakon
Rama-Sita. Di semua lakon Hanoman adalah kesatria hebat, cerdik, sakti, setia
pada kebenaran, dan tidak ingkar janji. Jenaka pun bisa.

Hampir di semua Bajaj ada gambar
Hanoman di kaca depan. Hanya di New Delhi kaca mobil dilarang dihiasi dewa-dewa
–dari agama apa pun.

Pemujaan pada Hanoman itu
berlangsung selama dua jam. Pulangnya setiap orang diberi tas kresek kain
kuning. Saya menahan diri untuk segera tahu isinya.

Saya mengucapkan terima kasih
pada panitia. Lalu berfoto dengan polisi dan tentara yang menjaga acara itu.

Saya pun berjalan ke perempatan
–mencari Bajaj di pinggir jalan.

Ups, teman saya ternyata masih
menunggu di situ –dua jam!

“Waktu ke Varanasi nanti saya
akan ke Kuil Hanoman,” ujar saya.

“Tidak ke Gangga?”

“Itu yang pertama”.

Sampai di hotel saya buka tas
kain kuning itu. Isinya: buku-buku doa Hanoman, plakat akrilik bergambar
Hanoman dan gulungan kalender tahun 2020 bergambar Hanoman.

Saya pun buka-buka buku doa itu.
Membayangkan lagunya dan musiknya dan gendangnya –tapi tidak bisa membacanya:
huruf Hindi semuanya.(Dahlan Iskan)

Jalan menuju kuil Hanoman ini
ruwet sekali.

Ups, salah.

Semua jalan di kota suci Varanasi
ini ruwet sekali. Dan berdebu. Semua jenis kendaraan berebut aspal. Juga
bersaing dalam adu keras membunyikan klakson. Dan adu cepat –siapa yang
klakson duluan.

Inilah kota yang paling ruwet
lalu-lintasnya –di antara kota ruwet yang saya kunjungi.

Dan kotor.

Kekotoran di sekitar kuil ini
hanya kalah dari kekumuhan di sekitar Masjid Jami Old Delhi. Atau Kota Old
Delhi secara keseluruhan.

Meski saya tinggal di New Delhi
saya selalu datang ke Old Delhi –karena masjid bersejarahnya ada di situ.

Saya pernah ke Delhi untuk
belajar bagaimana mengatasi pencurian listrik.

Waktu itu tingkat pencurian
listrik di Indonesia 12 persen. Yang tertinggi di daerah ehm – -mencapai 16
persen. Terendah di Jateng –hanya 7 persen.

Saya tidak jadi belajar.
Pencurian listrik di Delhi – -ketika itu– ternyata 35 persen. Yang saya maksud
Delhi adalah gabungan antara New dan Old Delhi.

Waktu itu saya tidak membayangkan
suatu saat saya akan ke Varanasi. Bahkan nama kota ini pun belum pernah saya
dengar. Saya bisa membayangkan tingkat pencurian listriknya. Terlihat dari
ruwetnya kabel di mana-mana –bercampur aduk dengan segala macam kabel
telekomunikasi.

Tapi saya ke Varanasi tidak untuk
kabel. Saya mau ke Kuil Hanoman. Yang di antara Kuil Hanoman seluruh India yang
di Varanasi inilah yang dianggap paling tinggi.

Saya tahu itu saat di Amritsar.
Sepulang dari tempat lahirnya aliran Islam Ahmadiyah. Atau sepulang dari
perbatasan Pakistan –yang ada pertunjukan adu lucu antar tentara perbatasan
itu (Baca juga: Nasionalisme
Atraktif
)

Hari itu matahari sudah
tenggelam. Menjelang masuk hotel saya mendengar alunan suara musik keras. Musik
India. Diselingi lagu-lagu dari orang banyak. Bayangan saya seperti lagi ada
konser selawat Habib Syech.

Baca Juga :  Bangkitkan Semangat Perekonomian Masyarakat

“Apa itu?” tanya saya
pada yang mengantarkan saya. Ia seorang India Katolik –sejak kakek-neneknya
dulu. Tapi kalau lagi ada acara-acara resmi ia mengenakan topi orang Sikh
–sebagai orang asli Punjab.

“Itu perayaan Hari Raya
Hanoman,” jawabnya.

“Kita ke sana.
Kedengarannya  tidak jauh,” kata saya.

“Anda tidak akan
mengerti,” katanya.

“Anda capek?”

“Tidak. Tapi saya tidak mau
ke sana”.

“Anda drop saja saya di
sana. Tidak usah ditunggu. Nanti saya pulang sendiri ke hotel. Pakai
Bajaj”.

Saya diantar sampai di sebuah
perempatan. Ternyata agak jauh. Berarti pengeras suaranya yang sangat kuat.

“Mobil hanya bisa sampai di
sini. Jalan ditutup,” katanya sambil meminggirkan mobil.

Ini jalan kembar. Masing-masing
dua lajur. Di tengah kota. Tapi lajur kirinya ditutup. Justru untuk acara yang
ingin saya datangi itu.

Banyak tentara dan polisi di
situ. Juga banyak yang antre masuk ke dalam tenda besar. Dekorasinya meriah.
Kuning merah hijau. Lampu  penerangannya banyak. Demikian juga lampu
hiasnya. Termasuk lampu diskonya.

Saya berdiri termangu di depan
tenda. Sambil mengamati apa yang terjadi di dalam tenda. Tidak jelas. Saya
longokkan wajah. Tidak jelas juga.

“Silakan masuk,” ujar
seorang petugas muda yang mendatangi saya.

“Boleh?”

“Silakan. Dengan senang
hati”.

Saya pun diminta mencopot sepatu.
Untuk dititipkan di ruang sebelah. Yang saya maksud ruang adalah jalan raya
yang dipagari tali rafia.

Semua sepatu di parkir di situ.
Di atas hamparan plastik. Di lajur jalan yang ditutup itu.

Petugas lain mencarikan saya
penutup kepala. Yakni kain segitiga berwarna merah. Yang ada tulisan Hindi-nya.

Tenda kuning ini besar sekali.
Penuh dengan umat yang bersila di atas hamparan karet. Lebih 1000 orang. Semua
berpenutup kepala warna merah.

Baca Juga :  Agenda Ini yang akan Diikuti SIWO Kalteng di Rakernaslub

Di panggung musiknya seru sekali.
Gendang India-nya sangat dinamis. Yang menyanyi semangat sekali. Semua syairnya
berisi selawat pada Hanoman.

Yang dipuja ada di backdrop panggung:
foto lukisan Hanoman besar. Bersama dewa-dewa lainnya.

Sesekali mereka yang duduk
bersila ikut menyanyi. Juga bertepuk-tepuk tangan. Sesekali musik India-nya ngerock.
Ada yang berjoget di panggung. Dan di depan panggung.

Meriah. Gembira. Jadi satu.

Baru di India kali ini saya
menyadari: pemujaan terhadap Hanoman luar biasa.

Hanoman adalah dewa kekuatan.
Juga dewa pengabdian. Di samping dewa kesetiaan.

Saya menyukai Hanoman sejak kecil
–meski lebih suka lagi pada Dursasana.

Tidak hanya dalam lakon
Rama-Sita. Di semua lakon Hanoman adalah kesatria hebat, cerdik, sakti, setia
pada kebenaran, dan tidak ingkar janji. Jenaka pun bisa.

Hampir di semua Bajaj ada gambar
Hanoman di kaca depan. Hanya di New Delhi kaca mobil dilarang dihiasi dewa-dewa
–dari agama apa pun.

Pemujaan pada Hanoman itu
berlangsung selama dua jam. Pulangnya setiap orang diberi tas kresek kain
kuning. Saya menahan diri untuk segera tahu isinya.

Saya mengucapkan terima kasih
pada panitia. Lalu berfoto dengan polisi dan tentara yang menjaga acara itu.

Saya pun berjalan ke perempatan
–mencari Bajaj di pinggir jalan.

Ups, teman saya ternyata masih
menunggu di situ –dua jam!

“Waktu ke Varanasi nanti saya
akan ke Kuil Hanoman,” ujar saya.

“Tidak ke Gangga?”

“Itu yang pertama”.

Sampai di hotel saya buka tas
kain kuning itu. Isinya: buku-buku doa Hanoman, plakat akrilik bergambar
Hanoman dan gulungan kalender tahun 2020 bergambar Hanoman.

Saya pun buka-buka buku doa itu.
Membayangkan lagunya dan musiknya dan gendangnya –tapi tidak bisa membacanya:
huruf Hindi semuanya.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru