Sudah tiga tahun
saya tidak menghadiri pesta perkawinan besar. Sudah lupa pula kapan terakhir
mengenakan dress code tuksedo dan black tie.
“Kali ini
jangan sampai tidak hadir,” pesan tuan rumah kepada saya. Ia tahu saya
sudah kurang stress sekarang.
Ia memang mantu
pekan lalu. Tepatnya mantu untuk perkawinan cucunya.
Waktu ia mantu
anaknya dulu saya tidak bisa hadir. Demikian juga ketika mantu yang kedua.
Ia adalah Mu’min
Ali Gunawan. Konglomerat papan atas Indonesia. Pemilik Bank Panin dan Panin Group.
Tapi di dalam
undangan tertulis dress code: tuxedo – black tie.
Saya sudah lupa di
mana jas tuksedo saya. Dasi kupu-kupunya pun pasti sudah entah di mana.
Apalagi cummer bund-nya –itu bebat hitam di perut, penutup ikat
pinggang.
Jangan-jangan saya
juga sudah lupa cara mengenakannya.
Tapi ini kan
Indonesia. Yang orangnya kadang tidak disiplin dalam berpakaian. Beberapa kali
–dulu– saya memaksakan diri pakai tuksedo –lantaran dress code-nya
menyebutkan begitu. Tapi tetap saja banyak yang datang mengenakan jas biasa.
Bahkan ada yang hanya mengenakan kemeja!
Belum pernah saya
menghadiri pesta dengan dress code tuksedo yang 100 persen
tuksedo –kecuali saat di Eropa atau Amerika.
Kesadaran ber-dress
code memang tantangan bagi penyelenggara pesta apa pun di Indonesia.
Bahkan kesadaran
bermode juga masih berat –terutama orang seperti saya.
Rendahnya kesadaran
mode itu terbawa ke DI’ Way. Coba ingat-ingat: pernahkah DI’s Way menulis
tentang mode.
TIDAK PERNAH!
Selalu saja
Hongkong terus. Tiongkok terus. Inggris terus. Amerika terus. Pakistan India
terus.
Dan juga Betepe
terus.
Tentu itu karena
saya tidak mengerti mode.
Tapi pesta
perkawinan di Hotel Mulia pekan lalu itu membuat saya harus sadar: mode itu penting.
Memang masih ada
beberapa orang yang tidak taat dress code. Tapi termasuk pesta
dengan dress code yang berhasil.
DI’s Way harus
menghargai keberhasilan itu. Termasuk berhasil membuat saya heboh menyiapkan
tuksedo.
Begitu masuk ballroom Hotel
Mulia saya langsung terpana: terasa pesta tuksedonya.
Tapi saya lebih
terpana lagi sesaat kemudian. Ketika melihat tuan rumah muncul. Yakni dalam
prosesi kedatangan pengantin.
Bayangkan, di
tengah lautan tuksedo hitam itu muncul Mu’min Ali Gunawan dengan tuksedo yang
BEDA! –lihatlah warna tuksedonya di foto di bawah ini.
Benar-benar beda.
Tapi saya tidak tahu apakah itu hebat –dari kacamata mode.
Keesokan harinya
saya dapat kiriman foto dari Pak Mu’min sendiri. Yang lagi masuk ballroom bersama
partnernya –salah satu anggota keluarga itu. Foto yang hebat kan?
Lihatlah foto itu:
tidak kelihatan bahwa Pak Mu’min Gunawan sudah berumur 80 tahun. Apalagi masih
tegak berdiri tiga jam di sebelah pengantin. Untuk menerima ucapan selamat dari
entah berapa ribu orang malam itu.
Saya sebenarnya
ingin minta Ivan Gunawan. Untuk me-review penampilan mode Pak
Mu’min malam itu. Saya kagum dengan keahlian mode Ivan. Ia contoh ahli mode
yang sekaligus punya kemampuan komunikasi yang hebat.
Tapi saya tidak
berani menghubunginya. Saya waswas apakah Ivan punya waktu untuk menulis. Saya
lihat Ivan begitu sibuk di layar televisi. Dari pagi sampai pagi.
Maka saya hubungi
yang mudah dihubungi: Ivo Ananda, seorang pengasuh rubrik mode. Yang penampilan
sehari-harinyi pun modis. Saya juga suka gaya tulisan modenya di media.
Saya bisa memaksa
dia untuk menulis review –dengan ancaman harus mau. Kalau
tidak, saya tidak akan bersedia lagi jadi mertuanya.
Ivo belum pernah
bertemu Pak Mu’min. Ketika saya kirimkan foto itu dia bertanya: foto siapa itu.
Saya sengaja tidak
memberi tahu bahwa Pak Mu’min adalah bos besar. Juga tidak menceritakan asalnya
yang Jember. Agar Ivo bisa menulis tanpa beban.
Maka inilah ulasan Ivo:
***
Hey heey siapa
dia?! Dilihat dari penampilan, they look so brave, bright, and really
want to be the center of attention.
Bener-bener sah
kalau mereka ini the king and queen of the day.
Lulus!
Semua pasti menoleh
untuk melihat, baik sekedar menggagumi atau nyinyir dikitlah buat yang cemburu.
He he he…
Di sini, di
Indonesia tercinta kita, yang punya acara mah bebas. Walaupun telah
menentukan dress code black tie untuk
undangan.
Tapi jelas si
empunya acara maunya tampil beda. Pokoknya harus paling wah, paling jreng,
dan paling nyeleneh (bisa jadi!).
Untuk apa
coba?
Untuk memastikan
punya siapa malam itu. Kamu yang diundang, saya yang mengundang, jadi semua
harus fokus ke saya, begitu kira-kira.
Si jantan. Begitu
berani memilih dinner jacket biru dan dasi kupu-kupu merah,
yang bener-bener gonjreng!
Wow siapa yang
nggak terkesima?! Keluar dari pakem tradisional black tie yang
biasanya black, midnight blue or white
dinner suit.
Kalau
mengingat black tie dress code sebagai semi-formal attire,
ini nggak menyalahi aturan. Apalagi sentuhan gaya modern membebaskan
pemakai untuk bereksperimen.
Secara
keseluruhan, outfit si jantan is okelah. He wants to
having fun, and yes he did it.
Kombinasi
dengan trousers berwarna biru gelap bisa diterima mata. Pocket
square pink bikin komplit cerianya penampilan.
Pun aksesori cincin
bermata gede makin menegaskan tampilan birunya malam itu.
Hanya, untuk status
yang punya acara, penampilan ini ada yang kurang.
Having fun-nya going too far.
Tapi tetep orang noleh sih, thanks to warna gonjrengnya.
Juga berkat yang
digandeng.
Si partner
itu. Looking fabulous in this pretty sequined gown. She
really know how to treat her body. One shoulder, aksen bow belt,
kemudian peplum yang bersambung dengan asymmetrical
skirt dengan warna nude. Rada mirip lipatan tissue sih
tapi wow, this sexy in pretty way!
Taburan crystal
dan sequins bring this gown to the next level. Si partner layak
jadi pusat perhatian!
Tatanan rambut si
partner juga pas! Kalau memang ingin menonjolkan model one shoulder sebagai
daya tarik penampilan, rambut tidak boleh mengganggu. Updo hairstyle is
the best choice.
Tapi tetep, masih
aja ada yang salah. Why oh why finishing-nya harus sepatu hitam dan
tertutup? terkesan berat.
Alangkah
sempurnanya kalau si partner memilih sepatu cantik yang terbuka seperti classic
ankle strap. Tentu warna nude jadi pilihan terbaik, senada
dengan gown, menjadi satu kesatuan.
Well. As a couple,
these two are so matching. Jadi penasaran, siapa sih mereka? Silahkan cari tau sendiri ya…
***
Setelah Ivo
mengirim tulisan itu barulah saya beritahu dia. Tapi dia sudah tidak boleh
memperbaiki tulisannya.
Tinggal saya yang
harus baik-baik mempertimbangkan: apakah masih layak menjadi menantu saya! (Dahlan
Iskan)