30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Menakar Kinerja Ekonomi Pemerintah

PEMERINTAH dan DPR menyepakati berbagai indikator capaian ekonomi
2019 yang dituangkan dalam UU No 12 Tahun 2018 tentang APBN 2019. Melalui APBN
2019, ditetapkan beberapa target yang harus dicapai pemerintah. Angka
pertumbuhan ekonomi dipatok 5,3 persen. Target itu lebih tinggi jika
dibandingkan dengan angka pertumbuhan pada 2017 (5,07 persen) dan 2018 (5,17
persen).

Alih-alih melampaui pertumbuhan
ekonomi 2018, pada triwulan III 2019, pertumbuhan ekonomi 5,02 persen
(year-on-year) malah melambat. Jika melihat capaian yang ada, dari sisi
pertumbuhan ekonomi, tampaknya, mustahil pemerintah mencapai target APBN 2019.
Saya memperkirakan capaian pertumbuhan ekonomi 2019 maksimal pada kisaran 5,08
persen.

Pertumbuhan ekonomi terbesar pada
2019 adalah sektor transportasi, pergudangan, informasi, dan telekomunikasi
yang mencapai 7–8 persen. Untuk mengejar target pertumbuhan, pemerintah harus
memperbaiki sektor, antara lain, pertambangan dan penggalian yang pada triwulan
II 2019 sempat minus 0,71 persen meski pada triwulan III 2019 telah membaik ke
posisi 1,94 persen.

Dari sisi regional (provinsi),
perlu atensi khusus terhadap daerah yang pertumbuhan ekonominya menurun.
Beberapa wilayah seperti Maluku, Papua, dan Papua Barat harus menjadi fokus pemerintah
mengingat PDRB di kawasan itu pada 2019 minus; triwulan I (-9,63 persen),
triwulan II (-13,12 persen), dan triwulan III (-7,43 persen).

Kita agak lega karena pemerintah
dan Bank Indonesia (BI) berhasil mengendalikan inflasi. Target APBN 2019 pertumbuhan
inflasi tahunan 3,5 persen, angka itu dipatok lebih rendah jika dibandingkan
dengan capaian inflasi 2017 sebanyak 3,6 persen, tetapi lebih tinggi jika
dibandingkan dengan realisasi inflasi 2018 yang mencapai 3,13 persen.

Hingga triwulan III 2019, angka
inflasi mendekati target APBN, pada posisi 3,4 persen. Saya sepakat dengan
gubernur BI yang menyebutkan bahwa target inflasi akan terkendali sesuai dengan
angka yang dipatok APBN di bawah 3,5 persen, dengan catatan pemerintah fokus
pada pengendalian suplai makanan dan sektor jasa-rekreasi menjelang liburan.

Prestasi pengendalian inflasi
juga disertai keberhasilan otoritas moneter dan pemerintah mengendalikan nilai
tukar rupiah terhadap valuta asing (valas), terutama dolar AS (USD). APBN 2019
mematok nilai tukar rupiah terhadap USD pada kisaran Rp 14.248. Angka itu lebih
tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata nilai tukar pada 2017 sebesar Rp
13.384 dan lebih rendah jika dilihat pada rata-rata nilai tukar rupiah
sepanjang 2018 yang mencapai Rp 14.248. Hingga triwulan III 2019, nilai tukar
rupiah sedikit di atas angka yang dipatok APBN, mencapai Rp 14.250.

Baca Juga :  Di Tengah Kesibukan, Bacawagub Ujang Iskandar Penuhi Undangan Warga

Pengendalian nilai tukar rupiah
itu relatif berhasil karena berbagai bauran kebijakan pemerintah dan BI. Salah
satunya, kebijakan pengendalian impor, terutama impor migas melalui program B20
dan terjaganya ekspor nonmigas. Saya juga menyarankan agar BI terus
meningkatkan program bilateral currency swap agreement (BCSA) terhadap mitra
dagang strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap USD.

Untuk target lifting migas,
pemerintah dan DPR dalam APBN 2019 sepakat mematok lifting minyak 775 ribu
barel per hari dan lifting gas 1.250 ribu barel setara minyak per hari. Hingga
September 2019, SKK Migas melaporkan lifting minyak 745 ribu barel per hari (BOPD)
dan lifting gas 1,05 juta BOPD. Sebanyak 84 persen total lifting hulu migas
merupakan kontribusi dari 10 KKKS utama.

Capaian tersebut hanya 89 persen
dari target lifting migas 2019. Tidak tercapainya lifting gas, antara lain,
disebabkan rendahnya harga gas yang membuat SKK Migas banyak menunda penjualan.
Juga, bencana kebakaran hutan yang menunda produksi gas di Blok Rokan, Riau.
Saya memperkirakan lifting migas maksimal 95 persen.

Mitigasi Risiko

Melihat kondisi objektif, atas
capaian angka-angka makro 2019, ada baiknya kita memitigasi berbagai risiko
kemungkinan melesetnya penerimaan sektor perpajakan, rendahnya daya ungkit
belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, serta dampaknya terhadap
pencapaian berbagai target program-program penurunan kemiskinan, ketimpangan
sosial, lapangan kerja, nilai tukar petani dan nelayan, serta peningkatan
indeks pembangunan manusia (IPM).

APBN 2019 mematok penerimaan Rp
2.165,1 triliun dari perpajakan Rp 1.786,4 triliun (82,5 persen), PNBP Rp 378,3
triliun (17,5 persen), dan hibah Rp 0,4 triliun. Jika dilihat dari sisi tren
penerimaan perpajakan tiap tahun, dalam 2014–2018, penerimaan perpajakan tumbuh
rata-rata 6,9 persen. Namun, jika dilihat dari target APBN, setiap tahunnya
cenderung mengalami shortfall dengan tax ratio naik turun 10–13 persen.

Penyebab rendahnya penerimaan
pajak tahun ini, antara lain, pertama, percepatan restitusi yang diberikan
pemerintah. Kedua, perlambatan ekonomi dunia –akibat perang dagang AS-Tiongkok–
membuat aktivitas ekspor dan impor dalam negeri ikut turun. Hal itu terlihat
dari PPh dan PPN impor. Target pertumbuhan kedua pajak itu adalah 23 persen,
tetapi realisasinya hanya 7 persen.

Baca Juga :  Kawasan CFD Bunbes Dinormalisasi, Ini Detailnya

Menjelang akhir tahun, tidak
banyak effort yang bisa dikerjakan pemerintah untuk menutup shortfall. Upaya
taktis jangka pendek yang bisa dikerjakan adalah kontrol terhadap pengenaan
PPN. Sementara itu, dari sisi pemerintah, memastikan kepatuhan pajak terhadap
belanja pemerintah pusat, daerah, dan desa. Saya memprediksi, dengan berbagai
effort maksimal, penerimaan perpajakan maksimal akan mencapai 85 persen.

Capaian Program Kerakyatan

Meski capaian penerimaan
perpajakan dalam bayang-bayang yang mengkhawatirkan, perlu kiranya kita melihat
capaian berbagai program kerakyatan pemerintah. Sebab, program-program
kerakyatan adalah outcome yang riil untuk mengukur prestasi pemerintah,
terutama soal pengangguran, kemiskinan, ketimpangan sosial, dan indeks
pembangunan manusia (IPM).

Angka kemiskinan menunjukkan tren
penurunan. Berdasar data BPS, hingga semester I 2019, tingkat kemiskinan
mencapai 9,4 persen atau 25,14 juta penduduk. Angka itu lebih baik jika
dibandingkan dengan semester II 2018 yang mencapai 9,66 persen dan semester I
2018 yang mencapai 9,82 persen.

Demikian pula tingkat
pengangguran. Pada Agustus 2019, tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurun
menjadi 5,28 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu 5,34 persen. Ada lima
penganggur 100 orang angkatan kerja di Indonesia.

Berbagai program pemerintah juga
mampu menurunkan tingkat ketimpangan sosial (gini ratio) meski angka
penurunannya cukup landai. Pada semester I 2019, angka gini ratio nasional
mencapai 0,382. Angka tersebut membaik jika dibandingkan dengan semester II
2018 yang mencapai 0,384 dan semester I 2018 yang mencapai 0,389.

Demikian pula kinerja pembangunan
SDM. Prestasi pemerintah cukup baik. Data BPS menunjukkan peningkatan angka
IPM. Pada 2016 IPM mencapai 70,18, pada 2017 (70,81), dan 2018 (71,39).

Meski capaian kinerja program
peningkatan kesejahteraan membaik, patut kiranya kita tidak berpuas diri. Ada
banyak tantangan ke depan, khususnya postur angkatan kerja kita yang rerata
didominasi usia produktif, tetapi tingkat pendidikan didominasi lulusan SD dan
SMP.

Sementara itu, tren pertumbuhan
ekonomi ke depan justru pada sektor-sektor padat modal dan skillful. Artinya,
angkatan kerja kita sangat bergantung pada berbagai kebijakan terobosan yang
dibuat pemerintah. Karena itu, ke depan hal ini secara serius perlu dipikirkan
pemerintah agar angkatan kerja kita secara nyata bisa diserap dunia kerja tanpa
semata-mata menggantungkan insentif kebijakan dari pemerintah. (*)

(Penulis adalah Ketua Badan
Anggaran DPR, Fraksi PDI Perjuangan)

PEMERINTAH dan DPR menyepakati berbagai indikator capaian ekonomi
2019 yang dituangkan dalam UU No 12 Tahun 2018 tentang APBN 2019. Melalui APBN
2019, ditetapkan beberapa target yang harus dicapai pemerintah. Angka
pertumbuhan ekonomi dipatok 5,3 persen. Target itu lebih tinggi jika
dibandingkan dengan angka pertumbuhan pada 2017 (5,07 persen) dan 2018 (5,17
persen).

Alih-alih melampaui pertumbuhan
ekonomi 2018, pada triwulan III 2019, pertumbuhan ekonomi 5,02 persen
(year-on-year) malah melambat. Jika melihat capaian yang ada, dari sisi
pertumbuhan ekonomi, tampaknya, mustahil pemerintah mencapai target APBN 2019.
Saya memperkirakan capaian pertumbuhan ekonomi 2019 maksimal pada kisaran 5,08
persen.

Pertumbuhan ekonomi terbesar pada
2019 adalah sektor transportasi, pergudangan, informasi, dan telekomunikasi
yang mencapai 7–8 persen. Untuk mengejar target pertumbuhan, pemerintah harus
memperbaiki sektor, antara lain, pertambangan dan penggalian yang pada triwulan
II 2019 sempat minus 0,71 persen meski pada triwulan III 2019 telah membaik ke
posisi 1,94 persen.

Dari sisi regional (provinsi),
perlu atensi khusus terhadap daerah yang pertumbuhan ekonominya menurun.
Beberapa wilayah seperti Maluku, Papua, dan Papua Barat harus menjadi fokus pemerintah
mengingat PDRB di kawasan itu pada 2019 minus; triwulan I (-9,63 persen),
triwulan II (-13,12 persen), dan triwulan III (-7,43 persen).

Kita agak lega karena pemerintah
dan Bank Indonesia (BI) berhasil mengendalikan inflasi. Target APBN 2019 pertumbuhan
inflasi tahunan 3,5 persen, angka itu dipatok lebih rendah jika dibandingkan
dengan capaian inflasi 2017 sebanyak 3,6 persen, tetapi lebih tinggi jika
dibandingkan dengan realisasi inflasi 2018 yang mencapai 3,13 persen.

Hingga triwulan III 2019, angka
inflasi mendekati target APBN, pada posisi 3,4 persen. Saya sepakat dengan
gubernur BI yang menyebutkan bahwa target inflasi akan terkendali sesuai dengan
angka yang dipatok APBN di bawah 3,5 persen, dengan catatan pemerintah fokus
pada pengendalian suplai makanan dan sektor jasa-rekreasi menjelang liburan.

Prestasi pengendalian inflasi
juga disertai keberhasilan otoritas moneter dan pemerintah mengendalikan nilai
tukar rupiah terhadap valuta asing (valas), terutama dolar AS (USD). APBN 2019
mematok nilai tukar rupiah terhadap USD pada kisaran Rp 14.248. Angka itu lebih
tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata nilai tukar pada 2017 sebesar Rp
13.384 dan lebih rendah jika dilihat pada rata-rata nilai tukar rupiah
sepanjang 2018 yang mencapai Rp 14.248. Hingga triwulan III 2019, nilai tukar
rupiah sedikit di atas angka yang dipatok APBN, mencapai Rp 14.250.

Baca Juga :  Di Tengah Kesibukan, Bacawagub Ujang Iskandar Penuhi Undangan Warga

Pengendalian nilai tukar rupiah
itu relatif berhasil karena berbagai bauran kebijakan pemerintah dan BI. Salah
satunya, kebijakan pengendalian impor, terutama impor migas melalui program B20
dan terjaganya ekspor nonmigas. Saya juga menyarankan agar BI terus
meningkatkan program bilateral currency swap agreement (BCSA) terhadap mitra
dagang strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap USD.

Untuk target lifting migas,
pemerintah dan DPR dalam APBN 2019 sepakat mematok lifting minyak 775 ribu
barel per hari dan lifting gas 1.250 ribu barel setara minyak per hari. Hingga
September 2019, SKK Migas melaporkan lifting minyak 745 ribu barel per hari (BOPD)
dan lifting gas 1,05 juta BOPD. Sebanyak 84 persen total lifting hulu migas
merupakan kontribusi dari 10 KKKS utama.

Capaian tersebut hanya 89 persen
dari target lifting migas 2019. Tidak tercapainya lifting gas, antara lain,
disebabkan rendahnya harga gas yang membuat SKK Migas banyak menunda penjualan.
Juga, bencana kebakaran hutan yang menunda produksi gas di Blok Rokan, Riau.
Saya memperkirakan lifting migas maksimal 95 persen.

Mitigasi Risiko

Melihat kondisi objektif, atas
capaian angka-angka makro 2019, ada baiknya kita memitigasi berbagai risiko
kemungkinan melesetnya penerimaan sektor perpajakan, rendahnya daya ungkit
belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, serta dampaknya terhadap
pencapaian berbagai target program-program penurunan kemiskinan, ketimpangan
sosial, lapangan kerja, nilai tukar petani dan nelayan, serta peningkatan
indeks pembangunan manusia (IPM).

APBN 2019 mematok penerimaan Rp
2.165,1 triliun dari perpajakan Rp 1.786,4 triliun (82,5 persen), PNBP Rp 378,3
triliun (17,5 persen), dan hibah Rp 0,4 triliun. Jika dilihat dari sisi tren
penerimaan perpajakan tiap tahun, dalam 2014–2018, penerimaan perpajakan tumbuh
rata-rata 6,9 persen. Namun, jika dilihat dari target APBN, setiap tahunnya
cenderung mengalami shortfall dengan tax ratio naik turun 10–13 persen.

Penyebab rendahnya penerimaan
pajak tahun ini, antara lain, pertama, percepatan restitusi yang diberikan
pemerintah. Kedua, perlambatan ekonomi dunia –akibat perang dagang AS-Tiongkok–
membuat aktivitas ekspor dan impor dalam negeri ikut turun. Hal itu terlihat
dari PPh dan PPN impor. Target pertumbuhan kedua pajak itu adalah 23 persen,
tetapi realisasinya hanya 7 persen.

Baca Juga :  Kawasan CFD Bunbes Dinormalisasi, Ini Detailnya

Menjelang akhir tahun, tidak
banyak effort yang bisa dikerjakan pemerintah untuk menutup shortfall. Upaya
taktis jangka pendek yang bisa dikerjakan adalah kontrol terhadap pengenaan
PPN. Sementara itu, dari sisi pemerintah, memastikan kepatuhan pajak terhadap
belanja pemerintah pusat, daerah, dan desa. Saya memprediksi, dengan berbagai
effort maksimal, penerimaan perpajakan maksimal akan mencapai 85 persen.

Capaian Program Kerakyatan

Meski capaian penerimaan
perpajakan dalam bayang-bayang yang mengkhawatirkan, perlu kiranya kita melihat
capaian berbagai program kerakyatan pemerintah. Sebab, program-program
kerakyatan adalah outcome yang riil untuk mengukur prestasi pemerintah,
terutama soal pengangguran, kemiskinan, ketimpangan sosial, dan indeks
pembangunan manusia (IPM).

Angka kemiskinan menunjukkan tren
penurunan. Berdasar data BPS, hingga semester I 2019, tingkat kemiskinan
mencapai 9,4 persen atau 25,14 juta penduduk. Angka itu lebih baik jika
dibandingkan dengan semester II 2018 yang mencapai 9,66 persen dan semester I
2018 yang mencapai 9,82 persen.

Demikian pula tingkat
pengangguran. Pada Agustus 2019, tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurun
menjadi 5,28 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu 5,34 persen. Ada lima
penganggur 100 orang angkatan kerja di Indonesia.

Berbagai program pemerintah juga
mampu menurunkan tingkat ketimpangan sosial (gini ratio) meski angka
penurunannya cukup landai. Pada semester I 2019, angka gini ratio nasional
mencapai 0,382. Angka tersebut membaik jika dibandingkan dengan semester II
2018 yang mencapai 0,384 dan semester I 2018 yang mencapai 0,389.

Demikian pula kinerja pembangunan
SDM. Prestasi pemerintah cukup baik. Data BPS menunjukkan peningkatan angka
IPM. Pada 2016 IPM mencapai 70,18, pada 2017 (70,81), dan 2018 (71,39).

Meski capaian kinerja program
peningkatan kesejahteraan membaik, patut kiranya kita tidak berpuas diri. Ada
banyak tantangan ke depan, khususnya postur angkatan kerja kita yang rerata
didominasi usia produktif, tetapi tingkat pendidikan didominasi lulusan SD dan
SMP.

Sementara itu, tren pertumbuhan
ekonomi ke depan justru pada sektor-sektor padat modal dan skillful. Artinya,
angkatan kerja kita sangat bergantung pada berbagai kebijakan terobosan yang
dibuat pemerintah. Karena itu, ke depan hal ini secara serius perlu dipikirkan
pemerintah agar angkatan kerja kita secara nyata bisa diserap dunia kerja tanpa
semata-mata menggantungkan insentif kebijakan dari pemerintah. (*)

(Penulis adalah Ketua Badan
Anggaran DPR, Fraksi PDI Perjuangan)

Terpopuler

Artikel Terbaru