SENJA kala
koran yang mendengung sejak kira-kira sepuluh tahun lalu di Amerika,
gelombangnya bersambut di sini dan kian membesar gaungnya dalam lima tahun
terakhir. Bukan hanya pengamat media yang menyuarakan detik-detik datangnya
ajal media cetak. Para pelaku di industri koran pun ikut meyakini kematian
dirinya bakal segera tiba.
Bahkan, tak sedikit pemimpin koran yang yakin bahwa semua ini adalah â€wis
wayahe†alias sudah saatnya. Saatnya koran mati.
Koran yang menyuarakan optimisme dianggap sebagai sikap denial terhadap
sebuah keniscayaan yang tidak ikhlas menghadapi kematian. Pelaku di industri
media cetak kurang menunjukkan sikap tertantang untuk mempertahankan dunianya,
tapi malah sebaliknya: goyah iman. Pelaku media cetak, yang mestinya menjadi
garda depan penjaga nyawa industri surat kabar, pun ikut-ikutan menjadi peramal
kematian koran yang sangat meyakinkan.
Apa saja media yang gencar menyuarakan â€Senja Kala Kematian Surat
Kabar� Silakan buka arsip Mbah Google. Jawa Pos, maaf, terus
terang absen. Kami merasa kurang elok jika ikut-ikutan memperkuat wacana senja
temaram koran menuju azan Magrib langit gelap itu. Bukan soal kami alergi mati. Tapi,
ada dorongan kuat agar Jawa Pos harus hidup
terus, bahkan dalam keabnormalan zaman seperti sekarang sekalipun! Bukan
sekadar hidup untuk hidup, tapi untuk fungsi luhur media, yang harus dijaga
langgeng.
Koran mati
itu hal biasa. Belum ada medsos, belum ada Covid pun, deretan brand koran
banyak yang tinggal nama, kini. Yang ironis adalah kenapa banyak sekali orang
koran yang mudah setuju dengan kematian industrinya sendiri hanya gara-gara
zaman berubah.
Zaman akan
senantiasa berubah, media mestinya selalu ada di antaranya. Medium penyampai
informasi tidak akan pernah mutlak bentuknya. Semua platform punya kelebihan
dan kekurangannya. Sebaiknya tak usah berlebihan dalam mengagung-agungkan jenis
platform baru. Sekarang baru dirasa mendesak agar Facebook ikut bertanggung
jawab dalam membanjirnya ujaran kebencian di bumi ini, dan
perusahaan-perusahaan besar dunia sedang mengancam menghentikan kerja samanya.
Kalau di
zaman digital koran kehilangan daya tarik, apa saja hal-hal yang kemudian
menjadi tidak menarik dari diri koran sekarang? Apakah karena koran berbentuk
lembaran kertas dan tidak touch screen? Ataukah
karena isinya: sikapnya, perspektifnya, kualitas jurnalistiknya,
independensinya, etiknya?
Kalau karena
medsos koran ditinggalkan pembaca lalu mati, medsoslah kambing hitam keruntuhan
media cetak itu. Tapi, kalau koran gagal berkreasi dan melakukan inovasi, lalu
pembaca pergi, berarti internal koranlah penyebab senja kala itu.
Nah, kalau
karena jurnalismenya yang memburuk dan konten koran menjadi tidak menarik lalu
surat kabar sirna, penyebab yang ini kurang diakui para penanggung jawab surat
kabar, bahwa diri koran sendirilah pemicunya.
Hari ini,
ketika Jawa
Pos menapaki usianya yang ke-71 tahun, zaman sedang dalam
perangai yang jauh lebih sulit dibanding situasi sepuluh tahun lalu. Bedanya,
sulit yang dialami koran sekarang ini adalah kesulitan yang juga dialami banyak
industri. Bukan hanya perusahaan media cetak, tapi juga industri otomotif,
bisnis properti, mal, penerbangan, wisata, dan rumah makan, semua
pontang-panting menghadapi guncangan pandemi. Trompet senja kala kematian koran
campur baur dengan kegaduhan senja kala industri-industri lainnya.
Seperti apa
pontang-panting Jawa Pos? Agak tidak mudah menjelaskan
bagaimana menghadapi gelombang besar yang menggulung sejak lima tahun terakhir.
Tapi, kurang lebihnya, seperti yang para pelaku berbagai industri rasakan sekarang
ini.
Rasanya? Bagi Jawa
Pos, sudah biasa-biasa saja. Media harus terus memiliki kepercayaan
diri agar tetap mampu memberi perspektif independen dari lanskap yang lebih
tinggi. Rasa sulit sekarang ini harus sudah menjadi rasa normal biasa. Pers
harus bermata elang dengan perspektif sudut pandang komprehensif dari atas.
Koran tidak boleh hanya punya sudut pandang mata cacing, kelejotan dan
mengeluh.
Pemimpin, di
tengah pandemi, terlebih pemimpin media, seperti terus diingatkan oleh Ketua
Dewan Pers M. Nuh, tidak boleh mengidap rabun jauh. Jika pelaku surat kabar
kehilangan optimisme dan daya pandang jauhnya, Covid-19 akan dengan cepat
menyempurnakan kematian koran. Lalu dipulasara tanpa upacara. Keterpurukan
ekonomi karena wabah virus, yang kita tidak tahu bakal menjadi separah apa
nanti ke depan, memang mengancam banyak perusahaan koran gulung kertas.
Apa kunci
selamat koran dari pandemi?
Salah
satunya: hentikan perang harga yang tidak sehat. Masyarakat harus diajak untuk
sadar harga informasi. Antara yang gratis bercampur hoax dan yang
beretika-bertanggung jawab harus ada bedanya. Di mana bedanya? Di harga.
Ini bukan
nasihat, tapi ini sikap teguh Jawa Pos selama ini.
Penting untuk disadari semua pelaku surat kabar. Jawa Pos hingga hari
ini tak pernah tergiur untuk menjual dan mengecer korannya di bawah harga pokok
produksi.
Kalau koran
dijual dengan harga asal-asalan dengan pertimbangan: ah, kan bisa disubsidi
dengan pemasukan iklan.., inilah awal senja kala. Yang terlupakan dari
manajemen koran seperti ini adalah, kalau ekonomi suram dan aktivitas promosi
tiba-tiba berhenti karena sulitnya ekonomi, koran kehilangan tumpuan hidup
satu-satunya.
Terima kasih
kami yang setinggi-tingginya kepada seluruh pembaca Jawa Pos, yang paham betul
bahwa informasi yang baik harganya memang harus baik. Harga langganan Jawa
Pos memang tidak bisa di bawah 100 ribu rupiah sebulan. Mahal?
Tidak. Ini demokrasi pasar koran yang sehat.
Jawa Pos harus panjang umur. Dengan jurnalisme yang terus kami
perbaiki akurasinya, keberimbangan, independensi, dan etiknya. Masyarakat paham
betul bahwa mutu pers sangat penting untuk kukuhnya sendi-sendi kehidupan kita
semua, sendi Indonesia!
Terima kasih
kami untuk para pelanggan semua pembaca koran. Selalu ada yang baru! (*)