33.4 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Hasrat Kuasa, Demokrasi, dan Realitas Ciptaan

PEMILU setiap lima tahun, termasuk Pemilu 2024 pada 14 Februari mendatang, merupakan suatu siklus, yang di dalamnya –sebagaimana pengertian siklus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)– terdapat rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap dan teratur.

Pertama, siklus dukungan atau sebaliknya, dari warga terhadap pemerintahan hasil pemilu lima tahun sebelumnya. Pemilu, merujuk pada Ian Shapiro dalam The Moral Foundation of Politics (2003), merupakan jawaban terhadap pertanyaan: kapan suatu pemerintahan layak memperoleh dukungan dan kapan tidak?

Siklus yang kedua adalah promosi dan rotasi bagi kontestan dan kandidat baru yang ingin menduduki posisi puncak dalam kratos (pemerintahan), atau posisi tertentu, entah vertikal dan horizontal, di legislatif. Pemilu merupakan perwujudan kontrak sosial yang menyepakati demokrasi sebagai sistem untuk memilih presiden-wakil presiden dan wakil rakyat di legislatif.

Demokrasi adalah jalan. Jalan yang bisa digunakan dan dilalui oleh siapa pun untuk mencapai kratos dan legislatif. Sebagaimana pengertiannya secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani, pada demokrasi terdapat kata demos yang diartikan rakyat.

Dalam demokrasi terkandung filosofi, yaitu rakyat, warga, atau publik yang utama. Demokrasi mendekonstruksi ”legitimasi religius” bahwa kepemimpinan merupakan pengejawantahan ”Yang Ilahi” –yang diklaim oleh raja– yang tidak bisa disentuh dan digantikan oleh manusia kebanyakan.

Dalam ungkapan Franz Magnis Suseno (Kuasa dan Moral, 1986), ”Kekuasaan dihayati dan diterima sebagai sesuatu dari alam gaib.” Demokrasi ingin mengakhiri kepemimpinan yang bersumber dari ”legitimasi religius” ini, suatu tahapan kepemimpinan yang bisa disebut leadership 1.0.

Demokrasi juga ingin mengakhiri kepemimpinan yang diperoleh sebagai warisan dari seorang raja kepada pangeran atau putra mahkota yang biasa terjadi pada sistem dinasti. Kekuasaan dalam sistem dinasti, leadership 2.0, sebagaimana yang terjadi pada leadership 1.0, merupakan hak istimewa atau privilese kalangan tertentu saja yang berada di lingkaran raja. Sementara di sisi lain, demos (rakyat) tersubordinasi bahkan hingga ke level paling bawah.

Baca Juga :  Debat Capres dan Fenomena Posdemokrasi

Seiring dengan perkembangan pendidikan, keilmuan, dan intelektualitas warga, terjadi pergeseran ke leadership 3.0, yakni kepemimpinan yang mengandalkan pada status yang diperoleh berkat prestasi di bidang pendidikan (achieved status). Pergeseran sistem pemerintahan dari teokrasi dan monarki yang cenderung otoriter ke demokrasi tidak lepas dari kontribusi kalangan kaum terpelajar yang sering diposisikan juga sebagai kelas menengah (middle class).

Namun, perlu dipertegas pula, dalam demokrasi, mobilitas seseorang ke level kepemimpinan tertentu bukan semata-mata karena faktor tinggi-rendahnya pendidikan, tetapi juga sangat tergantung pada kemampuannya dalam memengaruhi dan menggerakkan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan.

Karena itu, kepemimpinan lalu bergeser ke leadership 4.0 yang menuntut kepada seseorang memiliki keunggulan multiaspek yang meliputi: physicality, intellectuality, emotionality, sociability, personability, dan tentu yang tidak kalah pentingnya adalah moral ability sebagaimana disinggung Hermawan Kartajaya dan Ardhi Ridwansyah dalam Wow Leadership (2014).

Hasrat Kuasa

Intinya, demokrasi memberikan peluang kepada warga untuk berpartisipasi secara terbuka, entah sebagai aktor utama yang ”memburu” kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif, atau sebatas mengambil posisi sebagai pendukung. Terlepas dari posisi yang diambil oleh warga, ”perburuan” ini digerakkan oleh hasrat manusia yang paling purba, yaitu hasrat untuk berkuasa.

Hasrat ini tidak hanya purba, bahkan Bertrand Russell, filsuf Inggris, dalam Power: A New Social Analysis (2004), menyebutnya sebagai ”episentrum’ yang menentukan gerak hubungan antarmanusia. Sebegitu sentralnya, Bertrand Russell bahkan menjadikan kekuasaan sebagai konsep dasar dalam analisis ilmu sosial.

Komitmen demokrasi untuk memberi akses kepada warga secara lebih terbuka terhadap kekuasaan pada gilirannya berbenturan dengan realitas kelangkaan atau terbatasnya ruang atau posisi kekuasaan.

Baca Juga :  Meneguhkan Politik Hukum Lingkungan

Sementara di pihak lain, bilangan pihak yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, justru berlipat-lipat. Kondisi seperti itu pada gilirannya terjadi anomali dari sisi keadaban demokrasi. Sebab, para pihak yang berkepentingan terhadap kekuasaan menempuh berbagai cara untuk mendapatkan dukungan secara instan.

Fenomena instan yang dalam politik elektoral menjadi pembuktian tesis sosiolog kontemporer George Ritzer tentang McDonaldisasi masyarakat (The McDonaldization of Society). Masyarakat, sebagaimana terjadi di restoran makanan cepat saji, ingin meraih hasil melalui proses yang serbainstan.

Dalam politik, kondisi seperti itu ditangkap oleh aktor politik sebagai peluang untuk mengondisikan ketertarikan pemilih, alih-alih mengedepankan nalar, justru menjejalinya dengan tampilan atau visualisasi yang memberi efek kesan yang mudah diingat, tentu pula efek elektoral, seperti melalui gimik joget, jargon slepet, sat-set, dan gemoy.

Realitas Ciptaan

Visualisasi bisa diupayakan dengan begitu mudahnya karena revolusi industri 4.0 telah menghadirkan ekosistem berupa berbagai platform media sosial. Di media sosial, aktor politik bisa dicitrakan dalam berbagai rupa, tentu yang memberikan efek citra sebagai figur baik kepada khalayak, kendati media sosial, termasuk media konvensional seperti billboard, menghadirkan realitas yang seakan-akan nyata (hiperealitas), padahal realitas itu hanya di media (panggung depan/front stage), bukan realitas yang sebenarnya (back stage).

Pemimpin otentik, kata Ibnu Atha’illah dalam al-Hikam, sebisa mungkin menghindar dari popularitas, apalagi ciptaan para pendengung (buzzer) atau pemengaruh (influencer) bayaran. Kita renungkan pernyataan Ibnu Atha’illah berikut ini, ”Kuburlah dirimu di tanah kerendahan, karena sesuatu yang tumbuh tanpa dikubur (ditanam) hasilnya kurang sempurna.”

”Tanah kerendahan” (ardhi al-khumul) yang dimaksud Ibnu Atha’illah adalah kita tidak perlu menempuh sebab-sebab popularitas, seperti menawarkan diri untuk sebuah jabatan. (*)

*) SYAMSUL ARIFIN , Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

PEMILU setiap lima tahun, termasuk Pemilu 2024 pada 14 Februari mendatang, merupakan suatu siklus, yang di dalamnya –sebagaimana pengertian siklus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)– terdapat rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap dan teratur.

Pertama, siklus dukungan atau sebaliknya, dari warga terhadap pemerintahan hasil pemilu lima tahun sebelumnya. Pemilu, merujuk pada Ian Shapiro dalam The Moral Foundation of Politics (2003), merupakan jawaban terhadap pertanyaan: kapan suatu pemerintahan layak memperoleh dukungan dan kapan tidak?

Siklus yang kedua adalah promosi dan rotasi bagi kontestan dan kandidat baru yang ingin menduduki posisi puncak dalam kratos (pemerintahan), atau posisi tertentu, entah vertikal dan horizontal, di legislatif. Pemilu merupakan perwujudan kontrak sosial yang menyepakati demokrasi sebagai sistem untuk memilih presiden-wakil presiden dan wakil rakyat di legislatif.

Demokrasi adalah jalan. Jalan yang bisa digunakan dan dilalui oleh siapa pun untuk mencapai kratos dan legislatif. Sebagaimana pengertiannya secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani, pada demokrasi terdapat kata demos yang diartikan rakyat.

Dalam demokrasi terkandung filosofi, yaitu rakyat, warga, atau publik yang utama. Demokrasi mendekonstruksi ”legitimasi religius” bahwa kepemimpinan merupakan pengejawantahan ”Yang Ilahi” –yang diklaim oleh raja– yang tidak bisa disentuh dan digantikan oleh manusia kebanyakan.

Dalam ungkapan Franz Magnis Suseno (Kuasa dan Moral, 1986), ”Kekuasaan dihayati dan diterima sebagai sesuatu dari alam gaib.” Demokrasi ingin mengakhiri kepemimpinan yang bersumber dari ”legitimasi religius” ini, suatu tahapan kepemimpinan yang bisa disebut leadership 1.0.

Demokrasi juga ingin mengakhiri kepemimpinan yang diperoleh sebagai warisan dari seorang raja kepada pangeran atau putra mahkota yang biasa terjadi pada sistem dinasti. Kekuasaan dalam sistem dinasti, leadership 2.0, sebagaimana yang terjadi pada leadership 1.0, merupakan hak istimewa atau privilese kalangan tertentu saja yang berada di lingkaran raja. Sementara di sisi lain, demos (rakyat) tersubordinasi bahkan hingga ke level paling bawah.

Baca Juga :  Debat Capres dan Fenomena Posdemokrasi

Seiring dengan perkembangan pendidikan, keilmuan, dan intelektualitas warga, terjadi pergeseran ke leadership 3.0, yakni kepemimpinan yang mengandalkan pada status yang diperoleh berkat prestasi di bidang pendidikan (achieved status). Pergeseran sistem pemerintahan dari teokrasi dan monarki yang cenderung otoriter ke demokrasi tidak lepas dari kontribusi kalangan kaum terpelajar yang sering diposisikan juga sebagai kelas menengah (middle class).

Namun, perlu dipertegas pula, dalam demokrasi, mobilitas seseorang ke level kepemimpinan tertentu bukan semata-mata karena faktor tinggi-rendahnya pendidikan, tetapi juga sangat tergantung pada kemampuannya dalam memengaruhi dan menggerakkan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan.

Karena itu, kepemimpinan lalu bergeser ke leadership 4.0 yang menuntut kepada seseorang memiliki keunggulan multiaspek yang meliputi: physicality, intellectuality, emotionality, sociability, personability, dan tentu yang tidak kalah pentingnya adalah moral ability sebagaimana disinggung Hermawan Kartajaya dan Ardhi Ridwansyah dalam Wow Leadership (2014).

Hasrat Kuasa

Intinya, demokrasi memberikan peluang kepada warga untuk berpartisipasi secara terbuka, entah sebagai aktor utama yang ”memburu” kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif, atau sebatas mengambil posisi sebagai pendukung. Terlepas dari posisi yang diambil oleh warga, ”perburuan” ini digerakkan oleh hasrat manusia yang paling purba, yaitu hasrat untuk berkuasa.

Hasrat ini tidak hanya purba, bahkan Bertrand Russell, filsuf Inggris, dalam Power: A New Social Analysis (2004), menyebutnya sebagai ”episentrum’ yang menentukan gerak hubungan antarmanusia. Sebegitu sentralnya, Bertrand Russell bahkan menjadikan kekuasaan sebagai konsep dasar dalam analisis ilmu sosial.

Komitmen demokrasi untuk memberi akses kepada warga secara lebih terbuka terhadap kekuasaan pada gilirannya berbenturan dengan realitas kelangkaan atau terbatasnya ruang atau posisi kekuasaan.

Baca Juga :  Meneguhkan Politik Hukum Lingkungan

Sementara di pihak lain, bilangan pihak yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, justru berlipat-lipat. Kondisi seperti itu pada gilirannya terjadi anomali dari sisi keadaban demokrasi. Sebab, para pihak yang berkepentingan terhadap kekuasaan menempuh berbagai cara untuk mendapatkan dukungan secara instan.

Fenomena instan yang dalam politik elektoral menjadi pembuktian tesis sosiolog kontemporer George Ritzer tentang McDonaldisasi masyarakat (The McDonaldization of Society). Masyarakat, sebagaimana terjadi di restoran makanan cepat saji, ingin meraih hasil melalui proses yang serbainstan.

Dalam politik, kondisi seperti itu ditangkap oleh aktor politik sebagai peluang untuk mengondisikan ketertarikan pemilih, alih-alih mengedepankan nalar, justru menjejalinya dengan tampilan atau visualisasi yang memberi efek kesan yang mudah diingat, tentu pula efek elektoral, seperti melalui gimik joget, jargon slepet, sat-set, dan gemoy.

Realitas Ciptaan

Visualisasi bisa diupayakan dengan begitu mudahnya karena revolusi industri 4.0 telah menghadirkan ekosistem berupa berbagai platform media sosial. Di media sosial, aktor politik bisa dicitrakan dalam berbagai rupa, tentu yang memberikan efek citra sebagai figur baik kepada khalayak, kendati media sosial, termasuk media konvensional seperti billboard, menghadirkan realitas yang seakan-akan nyata (hiperealitas), padahal realitas itu hanya di media (panggung depan/front stage), bukan realitas yang sebenarnya (back stage).

Pemimpin otentik, kata Ibnu Atha’illah dalam al-Hikam, sebisa mungkin menghindar dari popularitas, apalagi ciptaan para pendengung (buzzer) atau pemengaruh (influencer) bayaran. Kita renungkan pernyataan Ibnu Atha’illah berikut ini, ”Kuburlah dirimu di tanah kerendahan, karena sesuatu yang tumbuh tanpa dikubur (ditanam) hasilnya kurang sempurna.”

”Tanah kerendahan” (ardhi al-khumul) yang dimaksud Ibnu Atha’illah adalah kita tidak perlu menempuh sebab-sebab popularitas, seperti menawarkan diri untuk sebuah jabatan. (*)

*) SYAMSUL ARIFIN , Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

Terpopuler

Artikel Terbaru