29.3 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Memberantas Kekerasan Guru dalam Pendidikan

SEORANG guru SMPN 49 Surabaya dilaporkan melakukan pemukulan kepada salah satu siswa di depan kelas saat PTM 100 persen pada Sabtu (29/1). Sehari sebelumnya, seorang guru SDN 05 Buton, Sulawesi Tenggara, diberitakan menghukum belasan siswanya dengan makan sampah (28/1).

Bukan kali pertama ini guru diberitakan melakukan tindak kekerasan dan memberikan hukuman yang tidak manusiawi kepada siswanya. Pada 2018, RM, guru SD negeri di Sumatera Utara, menghukum siswanya menjilati WC karena tidak mengerjakan tugas. Pada 2019, seorang siswa SMP berusia 14 tahun dari Kota Manado, Sulawesi Utara, diberitakan meninggal dunia karena kelelahan setelah dihukum lari keliling lapangan oleh gurunya.

Indonesia sudah tergolong tertinggal dalam memberantas kekerasan guru dalam pendidikan. Lebih dari dua dekade lalu, Komite Hak Anak PBB telah melarang penggunaan hukuman fisik dan bentuk hukuman lain yang tidak manusiawi atau merendahkan anak. Sekolah sebagai institusi pendidikan seyogianya menjadi lingkungan yang aman bagi anak untuk belajar dan mengembangkan potensi.

Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU 23/2022 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa anak dalam lingkungan satuan pendidikan wajib terlindung dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya. Sangat disayangkan, kekerasan di lingkungan pendidikan acap kali dilakukan guru sebagai figur sentral pendidikan.

Tindakan guru menghukum siswa sering kali disebabkan siswa membuat kegaduhan padahal sudah diperingatkan, tidak mengerjakan tugas, terlambat datang ke sekolah, atau masalah kedisiplinan lainnya. Tindakan menghukum siswa seolah-olah dibenarkan dengan alasan mendidik dan membuat jera. Padahal, hukuman fisik tidak hanya mengancam kesehatan dan keselamatan anak. Tetapi juga dapat menurunkan nilai akademik siswa dan membuat siswa trauma, bahkan putus sekolah.

Hukuman fisik sering kali tampak efektif karena menghentikan perilaku yang tidak diinginkan dalam sekejap. Namun, penggunaan hukuman dalam jangka panjang bersifat kontraproduktif. Semakin ketat aturan, sanksi, dan hukuman, tak jarang semakin banyak persoalan perilaku muncul. Respons guru berupa pemberian hukuman menunjukkan masih kurang tepatnya pemahaman guru tentang perilaku dan pendisiplinan siswa.

Baca Juga :  Perampok Pajak

 

Mengidentifikasi Akar Masalah

 

Perilaku adalah sesuatu yang manusiawi. Semua orang pasti menampilkan perilaku. Disadari atau tidak, kita mengajarkan dan memperkuat perilaku setiap hari. Misalnya, seorang anak menangis, lalu diberi permen. Ketika hal itu terjadi berkali-kali, anak akan belajar bahwa dia bisa mendapatkan permen dengan cara menangis. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kita melakukan perilaku tertentu untuk memperoleh atau menghindari sesuatu, sesuai situasi yang dihadapi.

 

Ketika guru menemukan siswa berperilaku negatif atau tidak sesuai harapan, alih-alih menghukum, guru perlu mencermati mengapa siswa berperilaku demikian. Apa yang ingin diperoleh atau dihindari siswa dalam situasi itu? Sebagai contoh, seorang siswa yang suka menjahili temannya bisa jadi ”menikmati” perhatian dari seluruh isi kelas ketika guru berhenti mengajar untuk menegurnya.

Seorang siswa yang dicap ”nakal” mungkin suka duduk di ruang kepala sekolah karena dia tidak paham pelajaran di kelas. Saat guru menghukum, perilaku negatif bisa jadi terhenti. Namun, tidak ada solusi bagi akar masalahnya.

Respons guru terhadap perilaku siswa secara langsung maupun tidak langsung bisa memengaruhi kemunculan perilaku siswa di masa yang akan datang. Siswa yang merasa diperhatikan guru karena rajin melakukan sesuatu akan cenderung mengulang perilaku itu di dalam kelas. Sehingga guru perlu mengidentifikasi, perilaku siswa yang mana yang perlu diperkuat dengan memberikan pujian yang spesifik. ”Bu guru senang kamu menyimak pelajaran dengan baik”, misalnya. Dengan demikian, perhatian guru kepada siswa dialihkan dari perilaku negatif ke perilaku yang diharapkan di kelas.

Ketika siswa tampak berperilaku negatif untuk menghindari tugas atau pelajaran tertentu, bisa jadi dia butuh bantuan. Guru dapat memanfaatkan asesmen formatif untuk menggali informasi tentang kemampuan siswa. Terlebih-lebih, setelah sekian lama belajar di rumah, siswa mungkin membutuhkan bantuan untuk mengejar pelajaran yang belum dia pahami.

Baca Juga :  Guru di Pedalaman Pulang Pisau Menang Lomba YISF

Mendorong Perilaku Positif

 

Bagaimana bila guru sudah berusaha, tetapi siswa masih berperilaku negatif? Di sini peran guru adalah menunjukkan kepada anak apa alternatif perilaku yang bisa dia lakukan. Daripada menjahili teman, dia bisa bertanya kepada guru bila kurang paham. Tentunya suasana belajar di kelas juga perlu dibangun supaya siswa tidak merasa malu dan dipermalukan ketika bertanya.

Bukan hanya itu, kolaborasi sekolah dan orang tua juga penting untuk mengembangkan perilaku positif siswa. Sikap dan perilaku guru adalah contoh yang akan dicermati oleh anak. Begitu juga sikap dan perilaku orang tua. Guru perlu menjadi teladan bagi perilaku anak di sekolah dan orang tua menjadi teladan di rumah.

Mengajarkan dan mendorong perilaku positif diharapkan menjadi kunci untuk mencegah perilaku yang negatif dan menghindarkan dari penggunaan hukuman. Sama halnya dengan belajar membaca, menulis, atau matematika, anak juga bisa belajar bagaimana perilaku yang baik.

Dalam situasi pandemi yang serba-tidak pasti, beban guru tentunya juga tidak sedikit. Tugas untuk membangun perilaku positif siswa bukanlah hanya tugas guru. Selain kerja sama dengan orang tua, peran semua komponen sekolah juga diperlukan dalam membangun iklim sekolah yang positif dan kedekatan dengan siswa. Ketika anak merasa ”dekat” dengan sekolah, dia juga akan terdorong untuk menampilkan perilaku terbaik.

Peran masyarakat pun tak kalah penting. Kita perlu memberikan contoh sehari-hari tentang bagaimana menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Institusi seperti perguruan tinggi juga dapat bekerja sama dengan sekolah untuk melatih kepala sekolah, guru, dan komponen sekolah lainnya mengenai strategi membangun perilaku positif siswa, yang lebih efektif daripada hukuman. Melalui kerja sama berbagai pihak, upaya memberantas kekerasan dalam pendidikan akan lebih efektif. (*)

 

*) PRAMESTI PRADNA PARAMITA, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya bidang keahlian psikologi pendidikan

SEORANG guru SMPN 49 Surabaya dilaporkan melakukan pemukulan kepada salah satu siswa di depan kelas saat PTM 100 persen pada Sabtu (29/1). Sehari sebelumnya, seorang guru SDN 05 Buton, Sulawesi Tenggara, diberitakan menghukum belasan siswanya dengan makan sampah (28/1).

Bukan kali pertama ini guru diberitakan melakukan tindak kekerasan dan memberikan hukuman yang tidak manusiawi kepada siswanya. Pada 2018, RM, guru SD negeri di Sumatera Utara, menghukum siswanya menjilati WC karena tidak mengerjakan tugas. Pada 2019, seorang siswa SMP berusia 14 tahun dari Kota Manado, Sulawesi Utara, diberitakan meninggal dunia karena kelelahan setelah dihukum lari keliling lapangan oleh gurunya.

Indonesia sudah tergolong tertinggal dalam memberantas kekerasan guru dalam pendidikan. Lebih dari dua dekade lalu, Komite Hak Anak PBB telah melarang penggunaan hukuman fisik dan bentuk hukuman lain yang tidak manusiawi atau merendahkan anak. Sekolah sebagai institusi pendidikan seyogianya menjadi lingkungan yang aman bagi anak untuk belajar dan mengembangkan potensi.

Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU 23/2022 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa anak dalam lingkungan satuan pendidikan wajib terlindung dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya. Sangat disayangkan, kekerasan di lingkungan pendidikan acap kali dilakukan guru sebagai figur sentral pendidikan.

Tindakan guru menghukum siswa sering kali disebabkan siswa membuat kegaduhan padahal sudah diperingatkan, tidak mengerjakan tugas, terlambat datang ke sekolah, atau masalah kedisiplinan lainnya. Tindakan menghukum siswa seolah-olah dibenarkan dengan alasan mendidik dan membuat jera. Padahal, hukuman fisik tidak hanya mengancam kesehatan dan keselamatan anak. Tetapi juga dapat menurunkan nilai akademik siswa dan membuat siswa trauma, bahkan putus sekolah.

Hukuman fisik sering kali tampak efektif karena menghentikan perilaku yang tidak diinginkan dalam sekejap. Namun, penggunaan hukuman dalam jangka panjang bersifat kontraproduktif. Semakin ketat aturan, sanksi, dan hukuman, tak jarang semakin banyak persoalan perilaku muncul. Respons guru berupa pemberian hukuman menunjukkan masih kurang tepatnya pemahaman guru tentang perilaku dan pendisiplinan siswa.

Baca Juga :  Perampok Pajak

 

Mengidentifikasi Akar Masalah

 

Perilaku adalah sesuatu yang manusiawi. Semua orang pasti menampilkan perilaku. Disadari atau tidak, kita mengajarkan dan memperkuat perilaku setiap hari. Misalnya, seorang anak menangis, lalu diberi permen. Ketika hal itu terjadi berkali-kali, anak akan belajar bahwa dia bisa mendapatkan permen dengan cara menangis. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kita melakukan perilaku tertentu untuk memperoleh atau menghindari sesuatu, sesuai situasi yang dihadapi.

 

Ketika guru menemukan siswa berperilaku negatif atau tidak sesuai harapan, alih-alih menghukum, guru perlu mencermati mengapa siswa berperilaku demikian. Apa yang ingin diperoleh atau dihindari siswa dalam situasi itu? Sebagai contoh, seorang siswa yang suka menjahili temannya bisa jadi ”menikmati” perhatian dari seluruh isi kelas ketika guru berhenti mengajar untuk menegurnya.

Seorang siswa yang dicap ”nakal” mungkin suka duduk di ruang kepala sekolah karena dia tidak paham pelajaran di kelas. Saat guru menghukum, perilaku negatif bisa jadi terhenti. Namun, tidak ada solusi bagi akar masalahnya.

Respons guru terhadap perilaku siswa secara langsung maupun tidak langsung bisa memengaruhi kemunculan perilaku siswa di masa yang akan datang. Siswa yang merasa diperhatikan guru karena rajin melakukan sesuatu akan cenderung mengulang perilaku itu di dalam kelas. Sehingga guru perlu mengidentifikasi, perilaku siswa yang mana yang perlu diperkuat dengan memberikan pujian yang spesifik. ”Bu guru senang kamu menyimak pelajaran dengan baik”, misalnya. Dengan demikian, perhatian guru kepada siswa dialihkan dari perilaku negatif ke perilaku yang diharapkan di kelas.

Ketika siswa tampak berperilaku negatif untuk menghindari tugas atau pelajaran tertentu, bisa jadi dia butuh bantuan. Guru dapat memanfaatkan asesmen formatif untuk menggali informasi tentang kemampuan siswa. Terlebih-lebih, setelah sekian lama belajar di rumah, siswa mungkin membutuhkan bantuan untuk mengejar pelajaran yang belum dia pahami.

Baca Juga :  Guru di Pedalaman Pulang Pisau Menang Lomba YISF

Mendorong Perilaku Positif

 

Bagaimana bila guru sudah berusaha, tetapi siswa masih berperilaku negatif? Di sini peran guru adalah menunjukkan kepada anak apa alternatif perilaku yang bisa dia lakukan. Daripada menjahili teman, dia bisa bertanya kepada guru bila kurang paham. Tentunya suasana belajar di kelas juga perlu dibangun supaya siswa tidak merasa malu dan dipermalukan ketika bertanya.

Bukan hanya itu, kolaborasi sekolah dan orang tua juga penting untuk mengembangkan perilaku positif siswa. Sikap dan perilaku guru adalah contoh yang akan dicermati oleh anak. Begitu juga sikap dan perilaku orang tua. Guru perlu menjadi teladan bagi perilaku anak di sekolah dan orang tua menjadi teladan di rumah.

Mengajarkan dan mendorong perilaku positif diharapkan menjadi kunci untuk mencegah perilaku yang negatif dan menghindarkan dari penggunaan hukuman. Sama halnya dengan belajar membaca, menulis, atau matematika, anak juga bisa belajar bagaimana perilaku yang baik.

Dalam situasi pandemi yang serba-tidak pasti, beban guru tentunya juga tidak sedikit. Tugas untuk membangun perilaku positif siswa bukanlah hanya tugas guru. Selain kerja sama dengan orang tua, peran semua komponen sekolah juga diperlukan dalam membangun iklim sekolah yang positif dan kedekatan dengan siswa. Ketika anak merasa ”dekat” dengan sekolah, dia juga akan terdorong untuk menampilkan perilaku terbaik.

Peran masyarakat pun tak kalah penting. Kita perlu memberikan contoh sehari-hari tentang bagaimana menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Institusi seperti perguruan tinggi juga dapat bekerja sama dengan sekolah untuk melatih kepala sekolah, guru, dan komponen sekolah lainnya mengenai strategi membangun perilaku positif siswa, yang lebih efektif daripada hukuman. Melalui kerja sama berbagai pihak, upaya memberantas kekerasan dalam pendidikan akan lebih efektif. (*)

 

*) PRAMESTI PRADNA PARAMITA, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya bidang keahlian psikologi pendidikan

Terpopuler

Artikel Terbaru