33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Pakai Baju Hazmat, Tembus Episentrum, ”Bonusnya” Diajak Foto-Foto

Mereka
bernegosiasi, mendistribusikan bantuan, dan mengurus pemulangan WNI dari
berbagai negara di tengah kuntara dan ketatnya penerbangan. Ada yang menelepon
satu per satu ribuan mahasiswa untuk memastikan kondisi.

 

ZALZILATUL
HIKMIA-SYAHRUL YUNIZAR, Jakarta, Jawa Pos

 

BELUM genap
dua bulan Eko Hartono menempati pos barunya, tugas berat sudah menunggu. Dia
harus mengurus lebih dari 45 ribu jamaah umrah yang terdampak kebijakan
penutupan penerbangan oleh pemerintah Arab Saudi.

Padahal,
konsul jenderal Republik Indonesia di Jeddah, Arab Saudi, itu juga mesti
memastikan perlindungan terhadap warga negara Indonesia (WNI) dari ancaman
Covid-19.

”Saya ingat
betul, 27 Februari 2020 tiba-tiba diumumkan kebijakan (penutupan penerbangan,
Red) tersebut,” ujar dia saat dihubungi Jawa Pos kemarin (27/6).

Dia bersama
dengan tim KJRI Jeddah langsung bergerak cepat. Mendata semua jamaah umrah
untuk kemudian dicarikan penerbangan pulang ke Indonesia. Sebab, masih ada
beberapa penerbangan yang dibolehkan keluar.

Tim
mendatangi penginapan para jamaah. Berkoordinasi dengan muasasah untuk
memastikan mereka mendapat pelayanan yang sesuai setiap hari.

Sayang, ada
saja jamaah umrah yang tak menghiraukan. Menganggap santai imbauan. Meminta
agar KJRI dapat memfasilitasi dan dibantu untuk bisa masuk.

”Kadang suka
gemes dengan yang begini ya,” tutur Eko, kemudian tertawa.

Pandemi
Covid-19 memang membuat para diplomat Indonesia di penjuru dunia bekerja keras.
Siang-malam.  Meski mungkin, sebagaimana
umumnya kerja diplomasi, kiprah mereka tak ”kasatmata” di depan publik.  

Di wilayah
kerjanya di Arab Saudi, Eko tak cuma harus mengurus para jamaah umrah yang
sempat tertahan. Tapi, juga para pekerja Indonesia yang harus mengalami PHK
(pemutusan hubungan kerja). Atau yang gajinya tak cair penuh. Dan, semua ingin
pulang di saat penerbangan keluar dari Arab Saudi begitu sulitnya.

Merujuk data
KJRI Jeddah, setidaknya sudah lebih dari 3 ribu WNI yang dipulangkan sejak 9
April sampai 13 Juni 2020. Eko menjelaskan, pihaknya berupaya menjalin kerja
sama dengan Saudi Arabian Airlines untuk memulangkan mereka.

Prosesnya
pun tak mulus. Ada proses negosiasi yang terus dilakukan dalam hal biaya tiket.
Aturan social distancing membuat keterisian pesawat dibatasi maksimal 60
persen. Hal tersebut tentu membuat harga tiket melambung. Satu tiket dihargai
SAR 4.000 atau sekitar Rp 14 juta.

 

KJRI pun
mencari cara agar harga bisa ditekan. 
”Kami menjalin komunikasi dengan Kemenlu Saudi. Kami jelaskan ini
repatriasi, apakah memungkinkan untuk seluruh seat diisi,” papar pria asal
Klaten itu.

Diplomasi
mereka berhasil. Harga tiket pun bisa ditekan hingga SAR 2.800.  Perjuangan tak berhenti di situ. KJRI harus
mengumpulkan WNI yang ingin pulang dan memastikan pesawat terisi penuh.
Termasuk soal urusan pembayaran.

Itu tentu
sangat menguras tenaga. Sebab, ada saja WNI yang ternyata tak memiliki exit
permit. Yang kemudian harus didampingi untuk pembuatannya.

Bukan hanya
bantuan pemulangan, KJRI Jeddah juga turut menyalurkan bantuan langsung tunai
dan bantuan sembako untuk para WNI di sana. Tantangan terbesar ialah lebih dari
separo WNI di wilayahnya undocumented.

Karena itu,
sulit mendapatkan data mereka. Sementara itu, bantuan harus menyasar semua
kalangan yang membutuhkan, termasuk mereka. ”Yang resmi 163 ribu, undocumented
3 kali lipatnya,” ujar dia.

Belum lagi,
wilayah Makkah dan Madinah yang sudah di-lockdown. Itu membuat bantuan susah
untuk disalurkan. Sebab, pergerakan para WNI itu pun terbatas hanya di distrik
yang ditinggali. Lebih dari itu, mereka bakal didenda sampai Rp 40 juta.

Sebagai
solusi, KJRI pun menjalin kerja sama dengan sejumlah toko kelontong di kawasan
tersebut. Toko akan menyalurkan dalam bentuk uang atau WNI diizinkan berbelanja
kebutuhan pokok senilai bantuan yang diberikan. ”Bantuan kami berikan SAR 150
sampai SAR 250. Dengan harapan bisa digunakan selama satu bulan,” papar Eko.

Baca Juga :  Kreativitas Peserta Pawai di Sampit, Gunakan Busana Berbahan Koran Bek

 

Seperti para
kolega mereka di Jeddah, para diplomat di KBRI Seoul, Korea Selatan, juga harus
bekerja sama kerasnya. Kedekatan wilayah dan lalu lintas pekerja antara
Tiongkok –negara tempat virus korona pemicu Covid-19 berasal– dan Korea Selatan
membuat mereka sudah waspada sejak jauh-jauh hari. Tim kecil pun dibentuk untuk
penanganan Covid-19.

”Saat itu
kami sudah mulai melakukan sosialisasi ke titik-titik WNI setiap minggu. Misal
ke restoran Indonesia, gereja, hingga pengajian di masjid,” ungkap Sekretaris
Pertama Urusan Protokol dan Konsuler KBRI Seoul Purno Widodo.

Benar saja,
tak lama Daegu menjadi salah satu episentrum Covid-19 dengan persebaran yang
cukup mengerikan pada Februari 2020. Dalam satu hari, penambahan kasus mencapai
ratusan setelah adanya pasien yang menjadi super spreader dan menularkan ke
banyak orang.

KBRI Seoul
langsung merespons cepat. Tim diperbesar. Semua diplomat kebagian tugas dalam
hal perlindungan terhadap Covid-19. Tidak hanya memastikan mereka aman dengan
terus mengingatkan soal protokol kesehatan, tapi juga bagaimana amunisi dan
persediaan masker tersedia.

Apung
–begitu Purno Widdo biasa disapa– yang dirasa dekat dengan para mahasiswa
langsung kebagian mengurus mereka. Setidaknya ada sekitar 1.500 mahasiswa di
sana. ”Saya langsung kontak satu per satu, tiap hari. Hehehe, lumayan ya,”
katanya.

Dia harus
memastikan seluruhnya dalam kondisi baik dan meyakinkan mereka bahwa KBRI akan
membantu dengan maksimal. Untuk mempermudah tugas, dia pun membuat grup
WhatsApp yang terdiri atas wilayah masing-masing hingga universitas. Jumlahnya
puluhan. 

 

Dia juga
membentuk kepala penanggung jawab yang nantinya paling banyak berkoordinasi
dengannya terkait kondisi dan kebutuhan mahasiswa di wilayah masing-masing.
”Dan kalau sudah urusan perlindungan ini kan pasti 24 jam ya. Karena menyangkut
nyawa, jadi tak ada kompromi,” tutur pria asli Lampung itu.

Dia mengakui
sempat panik ketika masker langka. Padahal, kebutuhan terus membeludak. Saking
bingungnya, dia nekat membeli dari pasar gelap.

Yang miris
lagi, ketika dia kesulitan untuk menyalurkan bantuan ke Daegu. Karena Daegu
telah menjadi episentrum, warga dari luar tentu dilarang masuk.

KBRI Seoul
telah membuka posko di perbatasan untuk mengantisipasi segala kondisi yang
tidak diinginkan. ”Lucunya, saya pernah masuk dan wajib pakai hazmat lengkap.
Ini wajib ya. Eh sama mereka malah diajak foto-foto,” ungkapnya, lalu terbahak.

Kerja keras
mereka selama tiga bulan terbayar. Tak ada WNI di sana yang terpapar Covid-19.
Semuanya dalam kondisi sehat hingga saat ini. ”Gak libur selama tiga bulan
rasanya ya udah. Mereka semua sehat,” tutur pria yang hobi memasak itu.

Hayyu Imanda
juga sempat merasakan bantuan yang luar biasa dari perwakilan pemerintah
Indonesia di Cape Town, Afrika Selatan (Afsel). Inda –sapaan akrabnya– ingat
betul bagaimana para diplomat di KJRI Cape Town membuka tangan selebar-lebarnya
untuk dirinya selama enam minggu di sana. 

”Saya
beruntung sekali,” ujar perempuan 26 tahun itu.

 

Inda menjadi
salah seorang WNI yang terdampak kebijakan kuntara (lockdown) di Afsel pada
akhir Maret lalu. Kejadian itu bermula ketika dia bersama teman-teman satu kampusnya
dari Universitas Oxford, Inggris, datang ke sana pada pertengahan Maret untuk
urusan kampus.

Siapa
sangka, ketika tiba di sana, seluruh temannya tidak diizinkan masuk. Hanya dia
yang lolos.

”Padahal,
waktu berangkat semua aman. Tidak ada masalah dari Inggris ataupun Afsel,”
papar mahasiswi S-3 tersebut.

Karena tak
memungkinkan menjadwal ulang kepulangan, Inda pun memutuskan tetap di Cape Town
dan menunggu jadwal penerbangan yang masih 10 hari lagi. Sayang, kondisi
berjalan tak sesuai dengan rencana.

Baca Juga :  Tradisi Tahunan Menjadi Momentum Mendoakan Kebaikan

Mendekati
jadwal kepulangan, maskapai yang digunakannya tiba-tiba membatalkan
penerbangan. ”Saat itu juga, saya beli tiket pesawat lain, Emirates. Saya
putuskan ke Jakarta saja karena gak perlu kembali ke Inggris untuk
menyelesaikan studi saya,” paparnya.

Nahasnya, di
hari kepulangan dengan Emirates, keberangkatan Inda pun dibatalkan setelah
harus menunggu enam jam karena delay. Inda bahkan saat itu sudah di bandara dan
check out Airbnb serta mengembalikan mobil yang disewanya.

Dia mencoba
menghubungi pihak Emirates, tetapi hasilnya nihil. ”Katanya tidak bisa ke
Jakarta. Saya minta ganti terbang ke Inggris pun tidak bisa katanya. Saya
dibiarkan sendiri tanpa tanggung jawab sama sekali,” keluh Inda.

 

Sontak Inda
langsung panik. Merasa sendirian dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Terlebih, tidak ada hotel yang mau menerimanya karena ada riwayat perjalanan
dari Inggris.

Setelah
menenangkan diri, dia berusaha menghubungi salah seorang staf KJRI yang
sebelumnya telah rutin berkomunikasi dengannya sejak berada di Cape Town.
Ketika tiba, Inda memang sempat melapor ke hotline KJRI Cape Town.

Dari situ,
kondisi dia setiap hari dipastikan oleh staf KJRI. 

”Nggak
pernah saya sepanik itu seumur hidup,” kenang peneliti Cyber Security Oxford
tersebut.

Malam itu
Inda dipersilakan untuk menginap di guest house konsulat. Dia bertekad, esok
harinya bakal ke bandara untuk kembali berburu tiket pulang.

Namun,
betapa kagetnya dia saat tiba-tiba diumumkan bahwa Afsel akan memberlakukan
lockdown nasional dalam dua hari. Alhasil, bandara  langsung dibanjiri ratusan manusia yang juga
ingin pulang ke negara asalnya. Akibatnya, harga tiket pun melambung tinggi.

Inda pun
pasrah. Karena tak bisa keluar dari Afsel di minggu itu, dia pun memilih
memesan tiket ke London pada minggu selanjutnya. ”Waktu itu gak tahu lockdown
seperti apa, mikirnya penerbangan masih bisa. Satu hari sebelum mulai lockdown,
baru diberi tahu kalau seluruh pintu masuk bakal ditutup,” ungkapnya.

Inda
langsung lemas. Artinya, kepulangannya minggu depan tidak bakal terjadi. Karena
lockdown diberlakukan selama lima minggu. Itu pun setelahnya, penerbangan tak
langsung dibuka. Tapi, diturunkan level-by-level. Bahkan, sampai saat ini
penerbangan internasional belum dibuka.

 

Selama enam
minggu tersebut, Inda diminta tinggal di wisma Indonesia yang menjadi kediaman
Konjen KJRI Cape Town Mohamad Siradj Parwito bersama keluarga. Di sana Inda
diperlakukan seperti keluarga.

”Nah, ini
yang saya rasa benar-benar Indonesia sekali. Diplomat luar negeri menjadikan
ini sebagai personal, tidak hanya tugas bagi mereka,” katanya.

Untuk
membuat Inda nyaman, Konjen Siradj mengatakan tak perlu sungkan karena hal
tersebut adalah haknya. Sebab, wisma Indonesia itu milik negara, bukan milik
Konjen pribadi. ”Jadi, itu hak saya,” sambung dia menirukan ucapan Konjen
Siradj.

Bahkan, yang
membuatnya meneteskan air mata, ketika sampai berhasil pulang, dia mendapat
pesan sangat menyentuh. Istri Siradj berterima kasih karena Inda sudah menjadi
bagian dari keluarga besar KJRI Cape Town selama enam minggu.

”Padahal,
saya yang minta tolong. Saya sangat merasakan kebaikan dan kehangatan dari
mereka,” paparnya.

Inda memang
berhasil pulang pada 6 Mei 2020 dari Johannesburg, Afsel. Lokasinya kurang
lebih 18 jam perjalanan dari Cape Town.

Inda
akhirnya terbang ke Indonesia bersama 26 WNI lainnya. Dalam kerja sama itu,
disepakati pula bahwa pesawat bisa memulangkan warga negara Afsel di Indonesia
setelah tiba.

”Ini pasti
hasil koordinasi luar biasa antara pemerintah Indonesia dan otoritas Afsel dan
South African Airways,” katanya. 

Mereka
bernegosiasi, mendistribusikan bantuan, dan mengurus pemulangan WNI dari
berbagai negara di tengah kuntara dan ketatnya penerbangan. Ada yang menelepon
satu per satu ribuan mahasiswa untuk memastikan kondisi.

 

ZALZILATUL
HIKMIA-SYAHRUL YUNIZAR, Jakarta, Jawa Pos

 

BELUM genap
dua bulan Eko Hartono menempati pos barunya, tugas berat sudah menunggu. Dia
harus mengurus lebih dari 45 ribu jamaah umrah yang terdampak kebijakan
penutupan penerbangan oleh pemerintah Arab Saudi.

Padahal,
konsul jenderal Republik Indonesia di Jeddah, Arab Saudi, itu juga mesti
memastikan perlindungan terhadap warga negara Indonesia (WNI) dari ancaman
Covid-19.

”Saya ingat
betul, 27 Februari 2020 tiba-tiba diumumkan kebijakan (penutupan penerbangan,
Red) tersebut,” ujar dia saat dihubungi Jawa Pos kemarin (27/6).

Dia bersama
dengan tim KJRI Jeddah langsung bergerak cepat. Mendata semua jamaah umrah
untuk kemudian dicarikan penerbangan pulang ke Indonesia. Sebab, masih ada
beberapa penerbangan yang dibolehkan keluar.

Tim
mendatangi penginapan para jamaah. Berkoordinasi dengan muasasah untuk
memastikan mereka mendapat pelayanan yang sesuai setiap hari.

Sayang, ada
saja jamaah umrah yang tak menghiraukan. Menganggap santai imbauan. Meminta
agar KJRI dapat memfasilitasi dan dibantu untuk bisa masuk.

”Kadang suka
gemes dengan yang begini ya,” tutur Eko, kemudian tertawa.

Pandemi
Covid-19 memang membuat para diplomat Indonesia di penjuru dunia bekerja keras.
Siang-malam.  Meski mungkin, sebagaimana
umumnya kerja diplomasi, kiprah mereka tak ”kasatmata” di depan publik.  

Di wilayah
kerjanya di Arab Saudi, Eko tak cuma harus mengurus para jamaah umrah yang
sempat tertahan. Tapi, juga para pekerja Indonesia yang harus mengalami PHK
(pemutusan hubungan kerja). Atau yang gajinya tak cair penuh. Dan, semua ingin
pulang di saat penerbangan keluar dari Arab Saudi begitu sulitnya.

Merujuk data
KJRI Jeddah, setidaknya sudah lebih dari 3 ribu WNI yang dipulangkan sejak 9
April sampai 13 Juni 2020. Eko menjelaskan, pihaknya berupaya menjalin kerja
sama dengan Saudi Arabian Airlines untuk memulangkan mereka.

Prosesnya
pun tak mulus. Ada proses negosiasi yang terus dilakukan dalam hal biaya tiket.
Aturan social distancing membuat keterisian pesawat dibatasi maksimal 60
persen. Hal tersebut tentu membuat harga tiket melambung. Satu tiket dihargai
SAR 4.000 atau sekitar Rp 14 juta.

 

KJRI pun
mencari cara agar harga bisa ditekan. 
”Kami menjalin komunikasi dengan Kemenlu Saudi. Kami jelaskan ini
repatriasi, apakah memungkinkan untuk seluruh seat diisi,” papar pria asal
Klaten itu.

Diplomasi
mereka berhasil. Harga tiket pun bisa ditekan hingga SAR 2.800.  Perjuangan tak berhenti di situ. KJRI harus
mengumpulkan WNI yang ingin pulang dan memastikan pesawat terisi penuh.
Termasuk soal urusan pembayaran.

Itu tentu
sangat menguras tenaga. Sebab, ada saja WNI yang ternyata tak memiliki exit
permit. Yang kemudian harus didampingi untuk pembuatannya.

Bukan hanya
bantuan pemulangan, KJRI Jeddah juga turut menyalurkan bantuan langsung tunai
dan bantuan sembako untuk para WNI di sana. Tantangan terbesar ialah lebih dari
separo WNI di wilayahnya undocumented.

Karena itu,
sulit mendapatkan data mereka. Sementara itu, bantuan harus menyasar semua
kalangan yang membutuhkan, termasuk mereka. ”Yang resmi 163 ribu, undocumented
3 kali lipatnya,” ujar dia.

Belum lagi,
wilayah Makkah dan Madinah yang sudah di-lockdown. Itu membuat bantuan susah
untuk disalurkan. Sebab, pergerakan para WNI itu pun terbatas hanya di distrik
yang ditinggali. Lebih dari itu, mereka bakal didenda sampai Rp 40 juta.

Sebagai
solusi, KJRI pun menjalin kerja sama dengan sejumlah toko kelontong di kawasan
tersebut. Toko akan menyalurkan dalam bentuk uang atau WNI diizinkan berbelanja
kebutuhan pokok senilai bantuan yang diberikan. ”Bantuan kami berikan SAR 150
sampai SAR 250. Dengan harapan bisa digunakan selama satu bulan,” papar Eko.

Baca Juga :  Kreativitas Peserta Pawai di Sampit, Gunakan Busana Berbahan Koran Bek

 

Seperti para
kolega mereka di Jeddah, para diplomat di KBRI Seoul, Korea Selatan, juga harus
bekerja sama kerasnya. Kedekatan wilayah dan lalu lintas pekerja antara
Tiongkok –negara tempat virus korona pemicu Covid-19 berasal– dan Korea Selatan
membuat mereka sudah waspada sejak jauh-jauh hari. Tim kecil pun dibentuk untuk
penanganan Covid-19.

”Saat itu
kami sudah mulai melakukan sosialisasi ke titik-titik WNI setiap minggu. Misal
ke restoran Indonesia, gereja, hingga pengajian di masjid,” ungkap Sekretaris
Pertama Urusan Protokol dan Konsuler KBRI Seoul Purno Widodo.

Benar saja,
tak lama Daegu menjadi salah satu episentrum Covid-19 dengan persebaran yang
cukup mengerikan pada Februari 2020. Dalam satu hari, penambahan kasus mencapai
ratusan setelah adanya pasien yang menjadi super spreader dan menularkan ke
banyak orang.

KBRI Seoul
langsung merespons cepat. Tim diperbesar. Semua diplomat kebagian tugas dalam
hal perlindungan terhadap Covid-19. Tidak hanya memastikan mereka aman dengan
terus mengingatkan soal protokol kesehatan, tapi juga bagaimana amunisi dan
persediaan masker tersedia.

Apung
–begitu Purno Widdo biasa disapa– yang dirasa dekat dengan para mahasiswa
langsung kebagian mengurus mereka. Setidaknya ada sekitar 1.500 mahasiswa di
sana. ”Saya langsung kontak satu per satu, tiap hari. Hehehe, lumayan ya,”
katanya.

Dia harus
memastikan seluruhnya dalam kondisi baik dan meyakinkan mereka bahwa KBRI akan
membantu dengan maksimal. Untuk mempermudah tugas, dia pun membuat grup
WhatsApp yang terdiri atas wilayah masing-masing hingga universitas. Jumlahnya
puluhan. 

 

Dia juga
membentuk kepala penanggung jawab yang nantinya paling banyak berkoordinasi
dengannya terkait kondisi dan kebutuhan mahasiswa di wilayah masing-masing.
”Dan kalau sudah urusan perlindungan ini kan pasti 24 jam ya. Karena menyangkut
nyawa, jadi tak ada kompromi,” tutur pria asli Lampung itu.

Dia mengakui
sempat panik ketika masker langka. Padahal, kebutuhan terus membeludak. Saking
bingungnya, dia nekat membeli dari pasar gelap.

Yang miris
lagi, ketika dia kesulitan untuk menyalurkan bantuan ke Daegu. Karena Daegu
telah menjadi episentrum, warga dari luar tentu dilarang masuk.

KBRI Seoul
telah membuka posko di perbatasan untuk mengantisipasi segala kondisi yang
tidak diinginkan. ”Lucunya, saya pernah masuk dan wajib pakai hazmat lengkap.
Ini wajib ya. Eh sama mereka malah diajak foto-foto,” ungkapnya, lalu terbahak.

Kerja keras
mereka selama tiga bulan terbayar. Tak ada WNI di sana yang terpapar Covid-19.
Semuanya dalam kondisi sehat hingga saat ini. ”Gak libur selama tiga bulan
rasanya ya udah. Mereka semua sehat,” tutur pria yang hobi memasak itu.

Hayyu Imanda
juga sempat merasakan bantuan yang luar biasa dari perwakilan pemerintah
Indonesia di Cape Town, Afrika Selatan (Afsel). Inda –sapaan akrabnya– ingat
betul bagaimana para diplomat di KJRI Cape Town membuka tangan selebar-lebarnya
untuk dirinya selama enam minggu di sana. 

”Saya
beruntung sekali,” ujar perempuan 26 tahun itu.

 

Inda menjadi
salah seorang WNI yang terdampak kebijakan kuntara (lockdown) di Afsel pada
akhir Maret lalu. Kejadian itu bermula ketika dia bersama teman-teman satu kampusnya
dari Universitas Oxford, Inggris, datang ke sana pada pertengahan Maret untuk
urusan kampus.

Siapa
sangka, ketika tiba di sana, seluruh temannya tidak diizinkan masuk. Hanya dia
yang lolos.

”Padahal,
waktu berangkat semua aman. Tidak ada masalah dari Inggris ataupun Afsel,”
papar mahasiswi S-3 tersebut.

Karena tak
memungkinkan menjadwal ulang kepulangan, Inda pun memutuskan tetap di Cape Town
dan menunggu jadwal penerbangan yang masih 10 hari lagi. Sayang, kondisi
berjalan tak sesuai dengan rencana.

Baca Juga :  Tradisi Tahunan Menjadi Momentum Mendoakan Kebaikan

Mendekati
jadwal kepulangan, maskapai yang digunakannya tiba-tiba membatalkan
penerbangan. ”Saat itu juga, saya beli tiket pesawat lain, Emirates. Saya
putuskan ke Jakarta saja karena gak perlu kembali ke Inggris untuk
menyelesaikan studi saya,” paparnya.

Nahasnya, di
hari kepulangan dengan Emirates, keberangkatan Inda pun dibatalkan setelah
harus menunggu enam jam karena delay. Inda bahkan saat itu sudah di bandara dan
check out Airbnb serta mengembalikan mobil yang disewanya.

Dia mencoba
menghubungi pihak Emirates, tetapi hasilnya nihil. ”Katanya tidak bisa ke
Jakarta. Saya minta ganti terbang ke Inggris pun tidak bisa katanya. Saya
dibiarkan sendiri tanpa tanggung jawab sama sekali,” keluh Inda.

 

Sontak Inda
langsung panik. Merasa sendirian dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Terlebih, tidak ada hotel yang mau menerimanya karena ada riwayat perjalanan
dari Inggris.

Setelah
menenangkan diri, dia berusaha menghubungi salah seorang staf KJRI yang
sebelumnya telah rutin berkomunikasi dengannya sejak berada di Cape Town.
Ketika tiba, Inda memang sempat melapor ke hotline KJRI Cape Town.

Dari situ,
kondisi dia setiap hari dipastikan oleh staf KJRI. 

”Nggak
pernah saya sepanik itu seumur hidup,” kenang peneliti Cyber Security Oxford
tersebut.

Malam itu
Inda dipersilakan untuk menginap di guest house konsulat. Dia bertekad, esok
harinya bakal ke bandara untuk kembali berburu tiket pulang.

Namun,
betapa kagetnya dia saat tiba-tiba diumumkan bahwa Afsel akan memberlakukan
lockdown nasional dalam dua hari. Alhasil, bandara  langsung dibanjiri ratusan manusia yang juga
ingin pulang ke negara asalnya. Akibatnya, harga tiket pun melambung tinggi.

Inda pun
pasrah. Karena tak bisa keluar dari Afsel di minggu itu, dia pun memilih
memesan tiket ke London pada minggu selanjutnya. ”Waktu itu gak tahu lockdown
seperti apa, mikirnya penerbangan masih bisa. Satu hari sebelum mulai lockdown,
baru diberi tahu kalau seluruh pintu masuk bakal ditutup,” ungkapnya.

Inda
langsung lemas. Artinya, kepulangannya minggu depan tidak bakal terjadi. Karena
lockdown diberlakukan selama lima minggu. Itu pun setelahnya, penerbangan tak
langsung dibuka. Tapi, diturunkan level-by-level. Bahkan, sampai saat ini
penerbangan internasional belum dibuka.

 

Selama enam
minggu tersebut, Inda diminta tinggal di wisma Indonesia yang menjadi kediaman
Konjen KJRI Cape Town Mohamad Siradj Parwito bersama keluarga. Di sana Inda
diperlakukan seperti keluarga.

”Nah, ini
yang saya rasa benar-benar Indonesia sekali. Diplomat luar negeri menjadikan
ini sebagai personal, tidak hanya tugas bagi mereka,” katanya.

Untuk
membuat Inda nyaman, Konjen Siradj mengatakan tak perlu sungkan karena hal
tersebut adalah haknya. Sebab, wisma Indonesia itu milik negara, bukan milik
Konjen pribadi. ”Jadi, itu hak saya,” sambung dia menirukan ucapan Konjen
Siradj.

Bahkan, yang
membuatnya meneteskan air mata, ketika sampai berhasil pulang, dia mendapat
pesan sangat menyentuh. Istri Siradj berterima kasih karena Inda sudah menjadi
bagian dari keluarga besar KJRI Cape Town selama enam minggu.

”Padahal,
saya yang minta tolong. Saya sangat merasakan kebaikan dan kehangatan dari
mereka,” paparnya.

Inda memang
berhasil pulang pada 6 Mei 2020 dari Johannesburg, Afsel. Lokasinya kurang
lebih 18 jam perjalanan dari Cape Town.

Inda
akhirnya terbang ke Indonesia bersama 26 WNI lainnya. Dalam kerja sama itu,
disepakati pula bahwa pesawat bisa memulangkan warga negara Afsel di Indonesia
setelah tiba.

”Ini pasti
hasil koordinasi luar biasa antara pemerintah Indonesia dan otoritas Afsel dan
South African Airways,” katanya. 

Terpopuler

Artikel Terbaru