Site icon Prokalteng

Hari Ini, Mengenang Wafatnya Bung Karno, Hari-hari Terakhir yang Bikin

hari-ini-mengenang-wafatnya-bung-karno-hari-hari-terakhir-yang-bikin

HARI ini, 21 Juni 1970 — limapuluh tahun lalu — adalah hari
berkabung nasional bagi rakyat Indonesia. Presiden pertama RI Sukarno
mengembuskan nafas terakhir.

Bung Karno dalam kondisi keehatan
terus menurun sejak Agustus 1965. Ia bahkan sempat dinyatakan mengidap gangguan
ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria pada 1961 dan 1964.

Prof Dr K Fellinger dari Fakultas
Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Bung Karno diangkat.
Namun, pembaca naskah proklamasi itu menolaknya dan lebih memilih pengobatan
tradisional.

Bung Karno bertahan selama lima
tahun sebelum akhirnya meninggal pada Minggu, 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta.

Hari-hari Menjelang Wafat

Tak lama setelah Sidang Istimewa
MPRS dipimpin AH Nasution, Subchan ZE, dkk pada 1967, akhirnya MPRS menunjuk
Soeharto sebagai Presiden RI. Bung Karno menerima surat untuk segera
meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam.

“Bung Karno dengan wajah
sedih membaca surat pengusiran itu. Ia sama sekali tidak diberi waktu untuk
menginventarisir barang-barang pribadinya,” kenang Guruh Soekarnoputra,
putra sulung Bung Karno.

Wajah-wajah tentara yang
diperintahkan Suharto untuk mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi.
“Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang”.

Bung Karno pergi ke ruang makan
dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. “Mana
kakak-kakakmu?” kata Bung Karno.

Guruh menoleh ke arah Bapaknya
dan berkata , “Mereka pergi ke rumah Ibu” rumah Ibu yang dimaksud
adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.

Bung Karno berkata lagi “Mas
Guruh, Bapak sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan
barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya
negara,”.

Kata Bung Karno lalu ia pergi ke
ruang depan dan mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa
ajudannya sudah tidak kelihatan, ia maklum, ajudan itu sudah ditangkapi karena
diduga terlibat Gestapu.

“Aku sudah tidak boleh
tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan
itu, souvenir, dan macam-macam barang itu milik negara”.

Semua ajudan menangis Bung Karno
mau pergi, “Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak
melawan” salah satu ajudan hampir berteriak memprotes tindakan diam Bung
Karno.

“Kalian tahu apa. Kalau saya
melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan
Belanda kita jelas hidungnya beda dengan hidung kita, perang dengan bangsa
sendiri tidak..lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus
perang saudara”.

Beberapa orang dari dapur
berlarian saat tahu Bung Karno mau pergi, mereka bilang “Pak kami tidak
ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi belum makan.
Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya”

Bung Karno tertawa “Ah,
sudahlah sayur lodeh basi tiga hari itu malah enak, kalian masak sayur lodeh
saja. Aku ini perlunya apa….”

Di hari kedua saat Bung Karno
sedang membenahi baju-bajunya datang seorang perwira suruhan Orde Baru.
“Pak, bapak segera meninggalkan tempat ini”

Beberapa tentara sudah memasuki
beberapa ruangan. Dalam pikiran Bung Karno yang ia takuti adalah bendera
pusaka. Ia ke dalam ruang membungkus bendera pusaka dengan kertas koran lalu ia
masukkan bendera itu ke dalam baju yang dikenakannya di dalam kaos oblong, Bung
Karno tahu bendera pusaka tidak akan dirawat oleh rezim ini dengan benar.

Bung Karno lalu menoleh pada
ajudannya Saelan. “Aku pergi dulu” kata Bung Karno hanya dengan
mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang hitam.

“Bapak tidak berpakaian
dulu” Bung Karno mengibaskan tangannya, ia terburu buru. Dan ke luar dari
Istana dengan naik mobil VW kodok, ia minta diantarkan ke rumah Ibu Fatmawati
di Sriwijaya, Kebayoran.

Di rumah Fatmawati, isteri yang
diceraikannya itu, Bung Karno hanya duduk seharian di pojokan halaman. Matanya
kosong. Ia sudah meminta agar Bendera Pusaka itu dirawat hati-hati. Bung Karno
kerjanya hanya mengguntingi daun-daun yang tumbuh di halaman.

Kadang-kadang ia memegang
dadanya, Ia sakit ginjal para,h namun obat-obatan yang biasanya diberikan tidak
kunjung diberikan. Hanya beberapa minggu Bung Karno di Sriwijaya, tiba-tiba
datang satu truk tentara ke rumah Sriwijaya.

Suatu saat Bung Karno mengajak
ajudannya yang bernama Nitri yang orang Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat
duku Bung Karno bilang “Aku pengen duku.. Tri, Sing Ngelah Pis, aku tidak
punya uang”

Nitri yang uangnya juga sedikit
ngelihat dompetnya, ia cukup uang untuk beli duku. Lalu Nitri mendatangi tukang
duku dan berkata “Pak bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil”

Tukang duku itu berjalan dan
mendekat ke Bung Karno “Mau pilih mana Pak, manis-manis nih” kata
Tukang Duku dengan logat betawi.

Bung Karno berkata “Coba
kamu cari yang enak”

Tukang Duku-nya merasa sangat
akrab dengan suara itu dan dia berteriak “Lha itu kan suara
Bapak…Bapak…Bapak”

Tukang Duku berlari ke
teman-temannya pedagang “Ada Pak Karno…ada Pak Karno” serentak
banyak orang di pasar mengelilingi Bung Karno. Bung Karno tertawa, tapi dalam
hati ia takut orang ini akan jadi sasaran tentara, karena disangka mereka akan
mendukung Bung Karno. “Tri cepat jalan”…..

Mendengar Bung Karno sering ke
luar rumah, maka tentara dengan cepat memerintahkan Bung Karno diasingkan.

Di Bogor, dia diasingkan ke
Istana Batu Tulis dan dirawat oleh: Dokter Hewan …..

Lalu Rachmawati datang dan melihat
ayahnya, ia menangis keras-keras saat tahu wajah ayahnya bengkak-bengkak dan
sulit jalan, Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Malamnya ia
memohon pada bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga.

“Coba aku tulis surat permohonan
pada Presiden” kata Bung Karno dengan mengucurkan air mata. Dia menulis
surat dengan tangan bergetar, dan pagi-pagi sekali Rachma ke Cendana, rumah
Suharto.

Di Cendana ia ditemui Bu Tien
yang kaget karena ada Rachma di sana. Bu Tien memeluk Rachma dan di saat itu
Rachma bercerita tentang nasib bapaknya, hati Bu Tien rada tersentuh dan
menggenggam tangan Rachma lalu membawanya ke atas, ke ruang kerja Pak Harto.

“Lho Mbak Rachma ada
apa?” Kata Pak Harto dengan nada santun,

Rachma-pun menceritakan kondisi
ayahnya.

Pak Harto berpikir sejenak dan
dia menuliskan memo untuk diperintahkan kepada anak buahnya, agar lalu dia
dipindahkan ke Wisma Yaso, yang sama sekali tidak terawat. Kamar Bung Karno
sudah berantakan sekali, bau dan tidak diurus. Bung Karno tidak boleh ke luar
kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu.

Dokter yang diperintahkan untuk
merawat, Profesor Mahar Mardjono sampai mau menangis, saat tahu bahwa semua
obat-obatan yang biasa digunakan oleh Bung Karno, dibersihkan dari laci obat
atas dasar perintah Perwira Tinggi.

Mahar hanya bisa memberikan
vitamin dan Royal Jelly, yang sesungguhnya adalah madu. Jika sulit tidur, dia
diberi valium, Sukarno tidak diberikan obat, bila terjadi pembengkakan ginjal.

Rumor yang mengatakan Bung Karno
hidup sengsara, banyak beredar di masyarakat, Beberapa orang diketahui akan
nekat membebaskan Bung Karno, tapi penjagaan sangat ketat.

Pada awal tahun 1970, Bung Karno
datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Muka Bung
Karno sudah bengkak. Ketika banyak orang tahu Bung Karno datang ke rumah itu,
orang banyak berteriak “Hidup Bung Karno … Hidup Bung Karno … Hidup
Bung Karno !!!”

Bung Karno yang reflek, karena ia
tahu benar dengan suasana gegap gempita, tertawa dan melambaikan tangan, Tapi,
dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno, dan menggiringnya ke dalam.
Bung Karno paham, dia adalah tahanan politik.

Masuk ke bulan Februari, penyakit
Bung Karno parah sekali, Ia tidak kuat berdiri, Tidur saja, Tidak boleh ada
orang yang bisa masuk.

Ia sering berteriak kesakitan,
biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang
kacau. Ia berteriak “sakit … sakit ya Allah ..”

Tapi tentara terpaksa diam saja,
karena disuruh komandan, Sampai ada salah satu tentara yang sampai menangis,
mendengar teriakan Bung Karno di dalam kamar, sambil tangannya memegang
senjata.

Kepentingan politik tak mungkin
bisa membendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari
rasa kemanusiaan itu. Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada
Suharto, dan mengecam cara merawat Sukarno.

Exit mobile version