31.4 C
Jakarta
Monday, December 23, 2024

Panggung Ratapan Alam Rumpang

PLANET Sebuah
Lament adalah karya terbaru Garin Nugroho sebagai sutradara panggung yang
dipentaskan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki pada akhir pekan ini.
Pementasan di Jakarta tersebut menjadi pembuka dari serangkaian
pertunjukan Planet Sebuah Lament ke beberapa negara mulai bulan
depan. Dalam karya ini, Garin banyak mengambil bentuk-bentuk perpaduan budaya
dari kawasan timur Indonesia.

’’Februari nanti karya ini
akan dipentaskan di Melbourne,’’ terang Garin. Rencananya, Planet Sebuah
Lament akan hadir sebagai pembuka ASIA TOPA (Asia-Pacific Triennial of
Performing Arts) pada pertengahan bulan depan di Melbourne, Australia. Dalam
karya ini, Garin didukung oleh tim kerja dari berbagai negara yang disiapkan
oleh Arts Centre Melbourne untuk Asia TOPA 2020.

Setelah Australia, karya yang
memadukan unsur-unsur film, tari, musik hingga teater ini akan dipanggungkan di
Dusseldorf, Jerman dan Amsterdam, Belanda. Lament yang dalam Bahasa
Indonesia berarti ratapan kepedihan secara langsung menempatkan kerusakan bumi
dan alam oleh tingkah manusia sebagai nadi utama pertunjukan. Persoalan
lingkungan hidup yang rumpang menjadi tema besar karya ini. Pada tiap
pergantian babak, paduan suara dan musik yang pilu menjadi bagian penting untuk
menyambungkan narasi cerita.

Baca Juga :  Ketika Aliando Syarief Bicara Soal Gaya Rambutnya yang Seperti Dono

Naskah pertunjukan ini ditulis
oleh sutradara teater dan opera asal Melbourne, Michael Kantor. Pada bagian
koreografi, ada nama-nama seniman tari seperti Joy Alpuerto Ritter, Otniel
Tasman, dan Boogie Papeda yang ikut bergabung. Mereka banyak menggabungkan
elemen koreografi tubuh yang berasal dari tradisi Nusa Tenggara Timur (NTT)
hingga Papua.

Sebagai penari, Planet
Sebuah Lament didukung oleh seniman dari beberapa daerah berbeda di
Indonesia. Ada Douglas D’Krumpers, Pricillia E.M Rumbiak, Bekham Dwaa (Papua),
Rianto (Solo), dan Galabby (Jakarta). Musik pertunjukan ini dikerjakan oleh
Septina Layan, Taufik Adam, dan Nursalim Yadi Anugerah, sementara komposisi
paduan suara digawangi oleh Mazmur Chorale Choir dari Kupang.

Planet Sebuah
Lament bukanlah pertunjukan yang mengandalkan percakapan verbal. Namun
begitu, bukan berarti karya ini tidak menyodorkan cerita yang tak teraba oleh
penontonnya. Secara ringkas, karya ini mengisahkan situasi kalut usai terjangan
tsunami dan hanya ada sebutir telur sebagai simbol keberlanjutan hidup, sumber
pangan, dan energi yang tersisa bagi manusia.

Baca Juga :  Diusir Nagita Slavina, Raffi Ahmad 3 Bulan Enggak Pulang, Serius!

Di saat sama, segala sampah
tak terurai seperti plastik hasil ciptaan manusia telah berubah menjadi monster
pemburu sebutir telur tersebut. Alam yang telah rumpang dan ratapan kepedihan
di sekitarnya dalam Planet Sebuah Lament pada akhirnya menjadi
peristiwa panggung yang mengetuk kesadaran penontonnya agar bersikap bijak
terhadap bumi dan seisinya. (jpc)

PLANET Sebuah
Lament adalah karya terbaru Garin Nugroho sebagai sutradara panggung yang
dipentaskan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki pada akhir pekan ini.
Pementasan di Jakarta tersebut menjadi pembuka dari serangkaian
pertunjukan Planet Sebuah Lament ke beberapa negara mulai bulan
depan. Dalam karya ini, Garin banyak mengambil bentuk-bentuk perpaduan budaya
dari kawasan timur Indonesia.

’’Februari nanti karya ini
akan dipentaskan di Melbourne,’’ terang Garin. Rencananya, Planet Sebuah
Lament akan hadir sebagai pembuka ASIA TOPA (Asia-Pacific Triennial of
Performing Arts) pada pertengahan bulan depan di Melbourne, Australia. Dalam
karya ini, Garin didukung oleh tim kerja dari berbagai negara yang disiapkan
oleh Arts Centre Melbourne untuk Asia TOPA 2020.

Setelah Australia, karya yang
memadukan unsur-unsur film, tari, musik hingga teater ini akan dipanggungkan di
Dusseldorf, Jerman dan Amsterdam, Belanda. Lament yang dalam Bahasa
Indonesia berarti ratapan kepedihan secara langsung menempatkan kerusakan bumi
dan alam oleh tingkah manusia sebagai nadi utama pertunjukan. Persoalan
lingkungan hidup yang rumpang menjadi tema besar karya ini. Pada tiap
pergantian babak, paduan suara dan musik yang pilu menjadi bagian penting untuk
menyambungkan narasi cerita.

Baca Juga :  Ketika Aliando Syarief Bicara Soal Gaya Rambutnya yang Seperti Dono

Naskah pertunjukan ini ditulis
oleh sutradara teater dan opera asal Melbourne, Michael Kantor. Pada bagian
koreografi, ada nama-nama seniman tari seperti Joy Alpuerto Ritter, Otniel
Tasman, dan Boogie Papeda yang ikut bergabung. Mereka banyak menggabungkan
elemen koreografi tubuh yang berasal dari tradisi Nusa Tenggara Timur (NTT)
hingga Papua.

Sebagai penari, Planet
Sebuah Lament didukung oleh seniman dari beberapa daerah berbeda di
Indonesia. Ada Douglas D’Krumpers, Pricillia E.M Rumbiak, Bekham Dwaa (Papua),
Rianto (Solo), dan Galabby (Jakarta). Musik pertunjukan ini dikerjakan oleh
Septina Layan, Taufik Adam, dan Nursalim Yadi Anugerah, sementara komposisi
paduan suara digawangi oleh Mazmur Chorale Choir dari Kupang.

Planet Sebuah
Lament bukanlah pertunjukan yang mengandalkan percakapan verbal. Namun
begitu, bukan berarti karya ini tidak menyodorkan cerita yang tak teraba oleh
penontonnya. Secara ringkas, karya ini mengisahkan situasi kalut usai terjangan
tsunami dan hanya ada sebutir telur sebagai simbol keberlanjutan hidup, sumber
pangan, dan energi yang tersisa bagi manusia.

Baca Juga :  Diusir Nagita Slavina, Raffi Ahmad 3 Bulan Enggak Pulang, Serius!

Di saat sama, segala sampah
tak terurai seperti plastik hasil ciptaan manusia telah berubah menjadi monster
pemburu sebutir telur tersebut. Alam yang telah rumpang dan ratapan kepedihan
di sekitarnya dalam Planet Sebuah Lament pada akhirnya menjadi
peristiwa panggung yang mengetuk kesadaran penontonnya agar bersikap bijak
terhadap bumi dan seisinya. (jpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru