27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Kritikus Mode: Jangan Bangga Pakai Batik Printing!

Kritikus mode Sonny
Muchlison menegaskan bahwa jangan pernah bangga memakai busana batik selama itu
masih cetakan atau printing. Seni mencetak baju dengan motif batik tentunya
tidak sama dengan mencanting dan memanaskan malam atau lilin pada kain.

Sonny menuturkan bahwa
di Hari Batik Nasional yang jatuh setiap 2 Oktober, banyak orang yang berlagak
mengapresiasi batik namun yang digunakan hanya batik printing. Tak cuma itu,
Sonny pun menyesali seragam anak-anak SD yang bermotif batik tapi hanya
printing.

“Selama seragam SD
tiap hari Jumat katanya wajib pakai batik, tapi kok printing. Lalu SMP, SMA,
sampai kerja pun harus pakai baju batik tapi kok printing. Bagaimana bisa
merasakan susahnya para perajin batik bisa membatik dengan proses yang lama?”
tukas Sonny, Rabu (2/10).

Sonny melanjutkan,
jika alasannya lantaran harga kain batik cukup mahal dibandingkan dengan
printing, alasan itu sudah tidak relevan lagi. Sebab generasi muda justru rela
membeli baju-baju mahal dari brand asing.

Baca Juga :  Via Vallen: Takut Salah Ngomong

“Harga itu sudah bukan
alasan. Banyak kok batik sederhana Rp 100 ribu sudah dapat. Batik asli lho ya.
Tulis atau cap. Rp 300 ribuan apalagi, sudah bagus,” tegasnya.

Sonny menilai printing
mirip motif batik merupakan penetrasi yang dilakukan oleh pasar tekstil
Tiongkok yang melihat peluang bisnis di Indonesia. Tiongkok melihat pasar
Indonesia terdiri dari 250 juta penduduk yang bisa menjadi peluang bisnis.

“Printing itu
dilakukan Tiongkok pada kita. Tiongkok hanya penuhi pasar terhadap kita.
Tiongkok bikin untuk 100 juta penduduk juga laku kok,” papar Sonny.

 

Sejak Zaman Belanda

 

Pembuatan batik
berawal pada masa zaman penjajahan kolonial Belanda. Dalam literatur Eropa,
teknik batik pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London,
1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Dia pernah menjadi gubernur Inggris
di Jawa saat militer Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte menduduki
Belanda.

Baca Juga :  Hore, Toko Kue Ashanty Buka Kembali

“Pada saat batik kita
dikenal di seluruh dunia, kita harus berterima kasih pada Raffles. Dia melihat
ada yang unik saat di masa penjajahan kolonial. Kalau kita ke British Museum di
London, itu ada koleksi Raffles bermotif batik Parang Rusak. Di saat itulah Belanda
kecolongan, kok ada motif seindah itu. Lalu dikembangkan oleh arkeolog dan
hingga batik menyebar sampai saat ini,” jelas Sonny.

Dia menyesalkan jika
pada Hari Batik Nasional, masyarakat masih bangga memposting penampilannya
dengan busana printing bermotif batik. “Bagaimana kita bicara bangga dengan
printing, karena itu bukan batik. Printing hanya memanfaatkan motif batik,”
jelas Sonny.(jpg)

 

Kritikus mode Sonny
Muchlison menegaskan bahwa jangan pernah bangga memakai busana batik selama itu
masih cetakan atau printing. Seni mencetak baju dengan motif batik tentunya
tidak sama dengan mencanting dan memanaskan malam atau lilin pada kain.

Sonny menuturkan bahwa
di Hari Batik Nasional yang jatuh setiap 2 Oktober, banyak orang yang berlagak
mengapresiasi batik namun yang digunakan hanya batik printing. Tak cuma itu,
Sonny pun menyesali seragam anak-anak SD yang bermotif batik tapi hanya
printing.

“Selama seragam SD
tiap hari Jumat katanya wajib pakai batik, tapi kok printing. Lalu SMP, SMA,
sampai kerja pun harus pakai baju batik tapi kok printing. Bagaimana bisa
merasakan susahnya para perajin batik bisa membatik dengan proses yang lama?”
tukas Sonny, Rabu (2/10).

Sonny melanjutkan,
jika alasannya lantaran harga kain batik cukup mahal dibandingkan dengan
printing, alasan itu sudah tidak relevan lagi. Sebab generasi muda justru rela
membeli baju-baju mahal dari brand asing.

Baca Juga :  Via Vallen: Takut Salah Ngomong

“Harga itu sudah bukan
alasan. Banyak kok batik sederhana Rp 100 ribu sudah dapat. Batik asli lho ya.
Tulis atau cap. Rp 300 ribuan apalagi, sudah bagus,” tegasnya.

Sonny menilai printing
mirip motif batik merupakan penetrasi yang dilakukan oleh pasar tekstil
Tiongkok yang melihat peluang bisnis di Indonesia. Tiongkok melihat pasar
Indonesia terdiri dari 250 juta penduduk yang bisa menjadi peluang bisnis.

“Printing itu
dilakukan Tiongkok pada kita. Tiongkok hanya penuhi pasar terhadap kita.
Tiongkok bikin untuk 100 juta penduduk juga laku kok,” papar Sonny.

 

Sejak Zaman Belanda

 

Pembuatan batik
berawal pada masa zaman penjajahan kolonial Belanda. Dalam literatur Eropa,
teknik batik pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London,
1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Dia pernah menjadi gubernur Inggris
di Jawa saat militer Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte menduduki
Belanda.

Baca Juga :  Hore, Toko Kue Ashanty Buka Kembali

“Pada saat batik kita
dikenal di seluruh dunia, kita harus berterima kasih pada Raffles. Dia melihat
ada yang unik saat di masa penjajahan kolonial. Kalau kita ke British Museum di
London, itu ada koleksi Raffles bermotif batik Parang Rusak. Di saat itulah Belanda
kecolongan, kok ada motif seindah itu. Lalu dikembangkan oleh arkeolog dan
hingga batik menyebar sampai saat ini,” jelas Sonny.

Dia menyesalkan jika
pada Hari Batik Nasional, masyarakat masih bangga memposting penampilannya
dengan busana printing bermotif batik. “Bagaimana kita bicara bangga dengan
printing, karena itu bukan batik. Printing hanya memanfaatkan motif batik,”
jelas Sonny.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru