SAMPIT,KALTENGPOS.CO- Ketua Fraksi Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) M Abadi sangat
menyayangkan sertifikat tanah program Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona)
yang merupakan legalisasi aset tanah atau proses administrasi pertanahan,
justru tidak sesuai dengan peruntukannya.
“Prona di area transmigrasi Desa Kandan pada
tahun 2015 lalu itu kini sudah di digarap jadi perkebunan kelapa sawit dan
bahkan sudah ada sebagian sertifikat prona telah dijual belikan. Hal ini sangat
kami sayangkan, apalagi mengurusnya mulai dari adjudikasi, pandaftaran tanah,
hingga penerbitan sertifikat tanah tetapi justru tidak sesuai dengan
peruntukannya,” ujarnya saat dibincangi di ruang kerjanya, kemarin (2/9).
Abadi menegaskan bahwa Menteri Agraria dan Tata Ruang
atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) RI meminta kepada seluruh
penerima sertifikat hak milik (SHM) dari semua bidang agar tidak diperjualbelikan.
Hal ini merupakan salah satu langkah dalam program percepatan reformasi agraria,
yang tak lain bagian utama dari visi dan misi Pemerintah Pusat.
“Pihak kementerian sudah mengintruksikan agar
sertifikat prona tidak dijualbelikan. Bahkan sudah diatur sesuai Peraturan Pemerintah
Nomor 3 tahun 2014,â€ungkapnya.
Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Kotim ini juga
mengatakan tanah yang terjadi di Desa Kandan bahwa sebagian besar pemilik
sertifikat prona justru belum pernah melihat bentuk sertifikat tersebut. Bahkan
secara tiba-tiba sebagian masyarakat mengetahui bahwa mereka memiliki
sertifikat prona yang telah digarap oleh perkebunan kelapa sawit milik
perusahan.
“Saya rasa hal seperti ini tidak benar dan dugaan
saya ada pihak-pihak yang bermain atas proses seperti ini jadi saya minta
kepada kementerian agraria dan penegak hukum untuk bisa mengusut tuntas
permasalahan ini agar mengetahui siapa pelaku mafia tanah tersebut,”
tegasnya.
Dirinya juga mendorong agar aparat penegak hukum bisa
melakukan pemeriksaan dalam proses peralihan jual beli tersebut. Karena ada
dugaan proses jual beli tanah di lahan transmigrasi itu diduga dilakukan di
bawah tekanan. Hal ini menurutnya bisa saja terjadi, dan mereka melakukan jual beli karena pemilik
merasa tidak ada kepastian hukum dan manfaat terhadap tanahnya yang telah
digarap oleh perkebunan kelapa sawit dimaksud.
“Dengan perjanjian jula beli yang dibuat di bawah
tekanan dan dalam keadaan terpaksa ini adalah merupakan misbruik van
omstandigheiden yang dapat dibatalkan karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur
Pasal 1320 KUH Perdata,” tutupnya.