PROKALTENG.CO-Kasus kekerasan anak mendominasi pada tahun ini. UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kalsel mencatat, sejak Januari hingga Juli sudah ada 34 kekerasan terhadap anak yang mereka tangani. Sedangkan, kekerasan perempuan hanya lima kasus.
Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kalsel Riko Ijami mengatakan, 34 kasus kekerasan terhadap anak yang mereka temukan bervariasi. Mulai dari kekerasan fisik, seksual hingga eksploitasi. "Dari kekerasan fisik juga sampai menimbulkan psikis (mental), dan penelantaran," ucapnya.
Lanjutnya, kasus yang menjadi perhatian saat ini ialah pelecehan seksual pada anak di bawah umur. Karena, hal tersebut mengakibatkan psikologis seorang anak menjadi terhambat hingga menyebabkan gangguan jiwa. "Ada beberapa yang terpaksa harus kami bawa ke RSJ Sambang Lihum untuk diberikan perawatan sampai dengan penyembuhan," ujarnya.
Namun, Riko membeberkan beberapa kasus kekerasan seksual pada anak juga ada yang berhasil tertangani dan sebagian lagi prosesnya masih berjalan. "Kami mengharapkan pelakunya bisa mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya dari aparat kepolisian," bebernya.
Karena menurutnya, secara hukum anak harus dilindungi dan mendapatkan hak pendampingan utuh. "Trauma yang dialami anak-anak juga harus disembuhkan," tegasnya.
Selain itu, kasus perebutan hak asuh anak juga menjadi penyumbang dalam penambahan kekerasan terhadap anak. Sehingga menurut Riko hal ini perlu mendapatkan perhatian serius dari setiap kalangannya.
Sementara itu, Koordinator Program Studi Psikologi FK Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Sukma Noor Akbar menilai, data mengenai kekerasan pada anak sebenarnya seperti fenomena gunung es. Karena menurutnya, kejadian sebenarnya lebih banyak daripada data yang dilaporkan.
"Informasi-informasi mengenai kemudahan dalam melaporkan kekerasan pada anak bisa jadi yang membuat data jumlah kekerasan semakin tinggi, sehingga perlu diapresiasi kinerja dinas terkait," nilainya.
Tingginya kekerasan yang dialami oleh anak sendiri kata dia, dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya, masih berlangsungnya pandemi Covid-19 yang berdampak pada psikologis di lingkungan keluarga. Serta, ekonomi yang mengalami penurunan dan banyaknya angka PHK.
"Selain itu, intensitas pertemuan yang tinggi di rumah antara anak dan orangtua yang mengalami permasalahan ekonomi bisa mengakibatkan emosi yang tinggi, sehingga pelampiasan dengan melakukan kekerasan ke anak," jelasnya.
Di samping itu, menurutnya peran orangtua yang buruk dalam mengelola pendidikan anak secara daring menggunakan HP, sehingga anak menjadi ketergantungan dengan HP juga bisa mengakibatkan kekerasan pada anak menjadi rentan.
"Keluarga menjadi faktor penting di sini. Orangtua perlu juga memahami psikologi perkembangan anak dan tidak memaksakan kehendak di luar fase-fase perkembangannya," ujarnya.
Dia menyampaikan, kekerasan tidak dianjurkan dalam mendidik anak. Karena hal ini bisa menyebabkan anak meniru perbuatan orangtua yang mendidik dengan cara kekerasan pula saat sudah berkeluarga. "Disamping itu, bisa menyebabkan traumatik bahkan depresi pada anak," ucapnya.
Oleh karena itu, Ketua Himpunan Psikologi Wilayah Kalsel ini meminta kepada masyarakat agar tergerak hatinya untuk melaporkan ke UPTD perlindungan anak dan perempuan atau polisi jika melihat kekerasan pada anak. "Sebab anak adalah masa depan kita, jangan sampai anak juga menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari," pungkasnya.