SEMUA pihak kembali bersiap menghadapi
kelanjutan gelaran pilkada serentak 2020. Sesuatu yang membuat kita semua
diliputi kekhawatiran dan rasa waswas di tengah berlangsungnya wabah Covid-19.
Namun, keputusan (politik dan hukum) telah diambil dan semua pihak harus
menanggung risiko. Tentu dengan mengoptimalkan protokol kesehatan yang
ditetapkan pemerintah sebagai upaya proteksi terhadap kemungkinan penularan
Covid-19.
Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi kemudian membuat perhelatan
tersebut bertambah jenis kerawanannya. Tidak hanya rawan dari hal lain selain
tahapan pemilu (nonelektoral) karena faktor wabah, tetapi juga secara teknis
dan politis. Ini bisa dilihat dari temuan indeks kerawanan pemilihan (IKP) yang
dipublikasikan pada Februari dan update IKP setelah wabah yang dirilis Juni
2020. Pada IKP yang dirilis di awal tahapan pilkada, dua isu yang cukup
menonjol dalam menyumbang kerawanan pilkada adalah netralitas aparatur sipil
negara (ASN) dan politik uang (money politics). Sementara pada update IKP, terekam
variabel nonelektoral, khususnya wabah Covid-19, sebagai pemicu kerawanan
pilkada serentak 2020 ini.
Kerawanan saat Wabah
Setidaknya ada enam indikator dalam IKP 2020 yang merekam praktik
politik uang. Keenamnya adalah (dimensi sosial politik) pemberian uang/jasa ke
pemilih untuk memilih calon tertentu saat masa kampanye (136 kabupaten/kota),
pemberian uang/barang/jasa ke pemilih untuk memilih calon pada masa tenang (109
kab/kota), pemberian uang/barang/jasa ke pemilih untuk memilih calon pada saat pemungutan
suara (46 kab/kota), (dimensi kontestasi) politik uang kepada pemilih untuk
memilih calon tertentu (91 kab/kota), mahar politik (37 kab/kota), dan politik
uang kepada tokoh untuk memilih calon tertentu (14 kab/kota).
Meski hanya menangkap gejala (indikasi) di permukaan, temuan IKP 2020
tersebut memperkuat temuan para ilmuwan politik seperti Hicken (2007), Sumarto
(2009), Aspinal dan Sukmajati (2014), Muhtadi (2018), serta Aspinal dan
Berenscot (2019) mengenai praktik politik uang. Kerentanan masyarakat terhadap
politik uang makin parah karena dampak Covid-19 yang menimbulkan krisis ekonomi
seperti pemutusan hubungan kerja, lesunya aktivitas usaha masyarakat, dan
terhentinya operasi banyak pabrik yang mengakibatkan pengangguran. Tekanan
ekonomi itu menjadi sangat potensial bagi terjadinya praktik politik uang,
meminjam istilah Muhtadi (2018) bahwa di situ ada supply dan demand. Atau
adanya pertukaran (vote buying) karena manfaat timbal balik antara pemilih dan
calon (Aspinal dan Berenscot, 2019).
Gejala itu misalnya tampak dalam beberapa laporan media dan juga terekam
dalam temuan Bawaslu mengenai politisasi bantuan sosial yang terjadi dalam
periode kedaruratan Covid-19 di sejumlah daerah. Pada saat yang sama, situasi
wabah ini potensial dijadikan oleh pasangan calon, khususnya para petahana
(incumbent), sarana untuk menekan lawan politik. Akibatnya, terjadi kondisi
atau situasi yang tidak setara. Misalnya, karena alasan pembatasan sosial
berskala besar (PSBB), masa transisi, atau new normal, terjadi pembatasan
kampanye kepada calon-calon yang berkompetisi, minimal yang bersifat tatap
muka.
Instrumen Hukum
Jika mencermati statistik putusan pengadilan terhadap praktik politik
uang dalam dua event pemilihan, yaitu pilkada 2018 dan Pemilu 2019, terjadi
peningkatan dari 22 kasus pada pilkada 2018 menjadi 82 kasus pada Pemilu 2019.
Tentu peningkatan statistik putusan pengadilan bagi praktik politik uang
menjadi hal yang positif. Dan pasti membuat harapan publik jadi tinggi terhadap
hal yang sama pada tahun ini.
Tetapi, perlu juga dipahami, antara rezim pemilu dan pilkada memiliki
konsep-konsep, norma, dan pengaturan yang berbeda sehingga dalam penerapannya
juga berbeda. Meski demikian, terdapat hal-hal yang misalnya dalam rezim
pilkada mengatur lebih tegas. Itu bisa dilihat dari unsur pelaku politik uang
yang dalam pasal 187A UU Pilkada menyebut setiap orang. Sedangkan dalam UU
7/2017, politik uang dibagi ke dalam sub tahapan, yaitu di masa kampanye
unsurnya pelaksana kampanye, di masa tenang adalah tim dan pelaksana kampanye,
dan di hari pemungutan suara adalah setiap orang.
Di samping upaya penindakan seperti terekam dalam putusan pengadilan,
Bawaslu melakukan pencegahan dan pengawasan secara simultan. Hal itu dilakukan
untuk memperbaiki dan mengomunikasikan aspek-aspek politik uang di hulu kepada
multistakeholders. Harapannya, praktik politik uang bisa dicegah sejak dini.
Upaya tersebut dilakukan bersama-sama dengan masyarakat sipil, perguruan
tinggi, tokoh agama, dan partai politik untuk membangun pilkada berintegritas.
Sejumlah inisiatif kerja sama dibangun dengan PPATK, misalnya untuk memonitor
transaksi ilegal serta melakukan pencegahan bersama KPK, Komnas HAM, KASN, KPI,
Dewan Pers, Kemenkominfo, dan lembaga-lembaga lainnya.
Bahkan, inisiatif yang dilakukan Bawaslu di daerah, yaitu masuk ke desa
dengan program kampung anti-politik uang, makin marak. Artinya, kesadaran
publik kian baik terkait upaya melawan politik uang sebagai kejahatan dalam
pemilu/pilkada. Hal lain yang meriah sebagai upaya pencegahan adalah dengan
gairah patrol pengawasan yang dilakukan jajaran pengawas di seluruh daerah
menjelang hari tenang. Meski belum menjawab keseluruhan masalah politik uang,
usaha bersama melawan praktik politik uang harus kita kuatkan. Pengawasan atas
potensi praktik politik uang dalam tahapan pilkada tentu menjadi objek yang
diawasi khusus. Sebab, kejahatan politik uang mempunyai daya ledak yang sangat
tinggi dan merusak kemurnian demokrasi.
Meski demikian, tantangan penanganan praktik politik uang juga banyak
dihadapi di lapangan seperti belum adanya perlindungan hukum terhadap saksi
pelapor. Kondisi itu menyebabkan masyarakat enggan untuk melaporkan
praktik-praktik politik uang. Atau melapor, tetapi tidak mau mengikuti proses
hukum karena kasus-kasus politik uang sering kali kait-mengait dengan isu
politik yang kompleks dan melibatkan elite-elite lokal. Hambatan lainnya adalah
proses pembuktian dan kendala waktu yang sangat terbatas.
Tentu situasi tersebut jadi tantangan bagi Bawaslu dalam melakukan upaya
optimal, baik dari sisi pencegahan, pengawasan, maupun penindakan. Apalagi,
saat pilkada di tengah pandemi, kerja-kerja penyelenggara pemilu berlipat.
Kesulitan ekonomi saat wabah seperti sekarang sangat berpotensi menambah titik
rawan politik uang karena banyak orang kehilangan pekerjaan dan sumber
penghasilan. Tentu pemetaan politik uang sebagai kerawanan dalam pilkada
menjadi pengingat dini kita untuk makin bergandeng tangan mencegah agar politik
uang bisa kita tekan jadi seminimal mungkin. Dan itu harus dengan kerja sama
yang baik oleh semua pihak: penyelenggara, peserta, dan pemilih. (*)
Penulis
Anggota Bawaslu RI