26.7 C
Jakarta
Monday, November 25, 2024

Tubuh, Batas, dan Ibu-Ibu Belu

EKO Supriyanto menampillan karya terbarunya di Teater Salihara. Karya berjudul Ibu-Ibu Belu: Bodies of Borders ini bertolak dari hasil riset Eko selama hampir dua tahun usai Festival Likurai yang melibatkan enam ribu penari sebagai aktivasi pariwisata Kabupaten Belu, di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2017 lalu. Karya ini berpijak dari tari Likurai yang lazim ditarikan sebagai tarian selamat datang dalam kultur NTT.

Ibu-Ibu Belu: Bodies of Borders menghadirkan enam orang perempuan dari Belu dan Timor Timur. Sehari-hari mereka bukan penari profesional, namun sudah pasti bisa menarikan Likurai. “Semua perempuan di Belu pasti bisa menari Likurai,” kata Eko. Tarian khas Belu ini menyebar ke antero NTT hingga Timor Timur yang kini Timor Leste. Di tiap daerah, Likurai kini tidak persis. Namun, fungsinya tetap sama, tarian untuk menyambut tamu agung.

Baca Juga :  Indonesia Kembali Kedatangan 1,1 Juta Dosis Vaksin Produksi Sinopharm

Karya ini menyajikan bentuk koreografi tubuh batas. Antara tubuh penari dan bukan, antara gerak keseharian dan koreografi, dan tubuh yang terbatas oleh geopolitik. Melibatkan ibu-ibu yang bukan penari untuk menarikan koreografi di atas panggung pertunjukan tentu berisiko. Bentuk koreografis berisi unsur Likurai dan kosagerak sehari-hari seperti menenun kain gubahan Eko tidak lantas memudahkan mereka menuntaskan koreografi berdurasi 60 menit ini. Disiplin latihan menjadi kunci.

Bertolak dari Likurai tidak serta merta menjadikan Ibu-Ibu Belu: Bodies of Border sebagai panggung tari Likurai. Eko mengambil siasat dekonstruksi kosagerak Likurai yang lantas berkelindan dengan persoalan-persoalan di luar urusan menyambut tamu. Ada ihwal kerinduan yang terputus oleh perbatasan geopolitik, hingga duka oleh keterpisahan. Ibu-Ibu Belu: Borders of Bodies tidak banyak menggunakan musik. Nyanyian lagu-lagu khas NTT, ritme tetabuhan Tihar hingga pukulan telapak tangan pada tubuh para penari mendominasi unsur bunyi dalam karya ini.

Baca Juga :  Ternyata Biaya Haji Selama Ini Disubsidi Hampir Separo

Karya ini menghadirkan Evie Anik Novita Nalle, Adriyani Sindi Manisa Hale, Yunita Dahu, Angela Levenia Leki, Feliciana Soares, dan Marlince Ratu Dabo di atas panggung. Mereka bukan penari profesional. Namun, di arena pertunjukan, mereka tak sekadar menarikan koreografi gubahan Eko. Lebih dari itu, mereka tengah membagikan cerita batas-batas di sekitarnya. Bukan cuma lewat hentakan kaki dan gerak tangan, namun juga melalui tatap mata, suara parau, balutan tenun dan bunyi Tihar.

Dalam karya ini Eko didukung oleh Jan Maertens pada desain pencahayaan, Dimawan Krisnowoadji sebagai Komposer, Reene Sariwulan menjadi Dramaturg, dan desain tata busana oleh Vivi Ng. Usai pementasan di Teater Salihara, Ibu-Ibu Belu: Bodies of Borders akan dipanggungkan di Australia, Jepang, Jerman, dan Belanda. (jpc)

EKO Supriyanto menampillan karya terbarunya di Teater Salihara. Karya berjudul Ibu-Ibu Belu: Bodies of Borders ini bertolak dari hasil riset Eko selama hampir dua tahun usai Festival Likurai yang melibatkan enam ribu penari sebagai aktivasi pariwisata Kabupaten Belu, di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2017 lalu. Karya ini berpijak dari tari Likurai yang lazim ditarikan sebagai tarian selamat datang dalam kultur NTT.

Ibu-Ibu Belu: Bodies of Borders menghadirkan enam orang perempuan dari Belu dan Timor Timur. Sehari-hari mereka bukan penari profesional, namun sudah pasti bisa menarikan Likurai. “Semua perempuan di Belu pasti bisa menari Likurai,” kata Eko. Tarian khas Belu ini menyebar ke antero NTT hingga Timor Timur yang kini Timor Leste. Di tiap daerah, Likurai kini tidak persis. Namun, fungsinya tetap sama, tarian untuk menyambut tamu agung.

Baca Juga :  Indonesia Kembali Kedatangan 1,1 Juta Dosis Vaksin Produksi Sinopharm

Karya ini menyajikan bentuk koreografi tubuh batas. Antara tubuh penari dan bukan, antara gerak keseharian dan koreografi, dan tubuh yang terbatas oleh geopolitik. Melibatkan ibu-ibu yang bukan penari untuk menarikan koreografi di atas panggung pertunjukan tentu berisiko. Bentuk koreografis berisi unsur Likurai dan kosagerak sehari-hari seperti menenun kain gubahan Eko tidak lantas memudahkan mereka menuntaskan koreografi berdurasi 60 menit ini. Disiplin latihan menjadi kunci.

Bertolak dari Likurai tidak serta merta menjadikan Ibu-Ibu Belu: Bodies of Border sebagai panggung tari Likurai. Eko mengambil siasat dekonstruksi kosagerak Likurai yang lantas berkelindan dengan persoalan-persoalan di luar urusan menyambut tamu. Ada ihwal kerinduan yang terputus oleh perbatasan geopolitik, hingga duka oleh keterpisahan. Ibu-Ibu Belu: Borders of Bodies tidak banyak menggunakan musik. Nyanyian lagu-lagu khas NTT, ritme tetabuhan Tihar hingga pukulan telapak tangan pada tubuh para penari mendominasi unsur bunyi dalam karya ini.

Baca Juga :  Ternyata Biaya Haji Selama Ini Disubsidi Hampir Separo

Karya ini menghadirkan Evie Anik Novita Nalle, Adriyani Sindi Manisa Hale, Yunita Dahu, Angela Levenia Leki, Feliciana Soares, dan Marlince Ratu Dabo di atas panggung. Mereka bukan penari profesional. Namun, di arena pertunjukan, mereka tak sekadar menarikan koreografi gubahan Eko. Lebih dari itu, mereka tengah membagikan cerita batas-batas di sekitarnya. Bukan cuma lewat hentakan kaki dan gerak tangan, namun juga melalui tatap mata, suara parau, balutan tenun dan bunyi Tihar.

Dalam karya ini Eko didukung oleh Jan Maertens pada desain pencahayaan, Dimawan Krisnowoadji sebagai Komposer, Reene Sariwulan menjadi Dramaturg, dan desain tata busana oleh Vivi Ng. Usai pementasan di Teater Salihara, Ibu-Ibu Belu: Bodies of Borders akan dipanggungkan di Australia, Jepang, Jerman, dan Belanda. (jpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru