27.4 C
Jakarta
Saturday, September 13, 2025

Fakta Kerusuhan Nepal: Berawal dari Pemerintah Blokir 26 Platform Media Sosial

PROKALTENG.CONepal masih dilanda ketegangan pada Kamis, 11 September 2025, setelah gelombang protes besar-besaran memaksa Perdana Menteri mengundurkan diri. Pasukan militer kini berpatroli di ibu kota Kathmandu, sementara warga bersama kelompok sipil sibuk membersihkan puing-puing bangunan yang hancur akibat aksi pembakaran.

Kerusuhan ini menjadi yang paling luas sejak Nepal bertransformasi menjadi republik demokratis pada 2008. Aksi yang didominasi remaja dan kaum muda tersebut tak hanya menjatuhkan pemerintahan, tetapi juga melahirkan tuntutan agar mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal, Sushila Karki, ditunjuk sebagai pemimpin pemerintahan sementara. Meski begitu, arah politik Nepal selanjutnya masih belum jelas.

Gelombang Protes Berdarah

Aksi demonstrasi pertama pecah pada Senin di Kathmandu, lalu meluas ke berbagai wilayah. Para pengunjuk rasa menuding polisi melepaskan tembakan ke arah massa muda yang hendak menuju kompleks parlemen.

Kementerian Kesehatan Nepal pada Kamis mencatat sedikitnya 34 pengunjuk rasa tewas akibat tembakan aparat. Tiga anggota polisi juga dilaporkan meninggal, sementara lebih dari 1.600 orang mengalami luka-luka.

Meskipun pemerintah mencabut larangan media sosial sehari setelah bentrokan, kerusuhan tetap meluas. Massa marah menyerbu barikade, menjarah toko, hingga membakar kantor-kantor pemerintahan, termasuk Mahkamah Agung, rumah politisi, bandara, hotel, dan pusat pemerintahan Singha Durbar.

Baca Juga :  Ciptakan Wig Buatan Tangan Terpanjang di Dunia, Perempuan Asal Nigeria Pecahkan Rekor

Situasi semakin panas hingga pada Selasa malam, Perdana Menteri bersama empat menterinya menyatakan mundur. Tak lama berselang, Panglima Angkatan Darat Jenderal Ashok Raj Sigdel muncul lewat rekaman video, menyerukan ketenangan, sekaligus mengumumkan bahwa militer mengambil alih kendali negara.

Akar Kemarahan Generasi Z Nepal

Sumber utama kerusuhan berawal dari kebijakan pemerintah yang melarang 26 platform media sosial populer, termasuk WhatsApp, Facebook, dan Instagram. Kebijakan itu memutus komunikasi sekitar dua juta pekerja migran Nepal dengan keluarga mereka di tanah air, sekaligus memicu kekhawatiran publik atas pembatasan kebebasan berbicara.

Namun, kemarahan generasi muda Nepal tak hanya dipicu larangan tersebut. Mereka menuntut solusi atas pengangguran, korupsi, dan ketidaksetaraan yang sudah lama menekan masyarakat.

Tagar #nepokids sempat menjadi tren, menyoroti gaya hidup mewah anak-anak elite politik di tengah realitas pahit mayoritas pemuda yang kesulitan mencari nafkah. Data pemerintah menunjukkan lebih dari 741.000 warga Nepal meninggalkan negaranya pada 2024 untuk bekerja di luar negeri, sebagian besar di sektor konstruksi dan pertanian. Kiriman uang para pekerja migran itu bahkan menyumbang lebih dari 26 persen perekonomian Nepal.

Baca Juga :  Ada Jemaah Haji Kalteng Tertangkap karena Gunakan Visa Ilegal, Kemenag Ingatkan Masyarakat Hal Ini

Militer dan Masa Depan Politik Nepal

Kini semua perhatian tertuju pada militer. Panglima Jenderal Sigdel telah dua kali bertemu dengan perwakilan kelompok demonstran, yang mengusulkan Sushila Karki sebagai pemimpin pemerintahan sementara.

Dalam wawancara dengan media India, Karki menyatakan kesediaannya menerima mandat tersebut. “Para pemuda dan pemudi itu, mereka meminta saya, mereka meminta saya,” ujarnya.

Meski demikian, belum ada pernyataan resmi dari militer mengenai langkah berikutnya. Sesuai sistem politik Nepal, pembentukan pemerintahan sementara harus mendapat persetujuan Presiden Ram Chandra Poudel. Namun, hingga kini sang presiden belum menampakkan diri sejak pecahnya kerusuhan pada Senin lalu.

Di tengah ketidakpastian itu, mahasiswa yang tergabung dalam Partai Kongres Nepal tetap turun ke jalan menentang jam malam dan meneriakkan slogan anti-militer. Mereka menuntut presiden tampil di hadapan publik.

“Ungkapkan presiden kami ke publik. Kami tidak akan menerima kudeta militer,” teriak para mahasiswa.

Sementara itu, militer telah memerintahkan warga menyerahkan senjata dan amunisi yang diambil selama kerusuhan, serta memperingatkan akan menindak keras siapa pun yang menolak.

Nepal kini berada di persimpangan: apakah akan melahirkan pemerintahan sipil baru atau justru terjebak dalam bayang-bayang kekuasaan militer. (fin)

 

PROKALTENG.CONepal masih dilanda ketegangan pada Kamis, 11 September 2025, setelah gelombang protes besar-besaran memaksa Perdana Menteri mengundurkan diri. Pasukan militer kini berpatroli di ibu kota Kathmandu, sementara warga bersama kelompok sipil sibuk membersihkan puing-puing bangunan yang hancur akibat aksi pembakaran.

Kerusuhan ini menjadi yang paling luas sejak Nepal bertransformasi menjadi republik demokratis pada 2008. Aksi yang didominasi remaja dan kaum muda tersebut tak hanya menjatuhkan pemerintahan, tetapi juga melahirkan tuntutan agar mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal, Sushila Karki, ditunjuk sebagai pemimpin pemerintahan sementara. Meski begitu, arah politik Nepal selanjutnya masih belum jelas.

Gelombang Protes Berdarah

Aksi demonstrasi pertama pecah pada Senin di Kathmandu, lalu meluas ke berbagai wilayah. Para pengunjuk rasa menuding polisi melepaskan tembakan ke arah massa muda yang hendak menuju kompleks parlemen.

Kementerian Kesehatan Nepal pada Kamis mencatat sedikitnya 34 pengunjuk rasa tewas akibat tembakan aparat. Tiga anggota polisi juga dilaporkan meninggal, sementara lebih dari 1.600 orang mengalami luka-luka.

Meskipun pemerintah mencabut larangan media sosial sehari setelah bentrokan, kerusuhan tetap meluas. Massa marah menyerbu barikade, menjarah toko, hingga membakar kantor-kantor pemerintahan, termasuk Mahkamah Agung, rumah politisi, bandara, hotel, dan pusat pemerintahan Singha Durbar.

Baca Juga :  Ciptakan Wig Buatan Tangan Terpanjang di Dunia, Perempuan Asal Nigeria Pecahkan Rekor

Situasi semakin panas hingga pada Selasa malam, Perdana Menteri bersama empat menterinya menyatakan mundur. Tak lama berselang, Panglima Angkatan Darat Jenderal Ashok Raj Sigdel muncul lewat rekaman video, menyerukan ketenangan, sekaligus mengumumkan bahwa militer mengambil alih kendali negara.

Akar Kemarahan Generasi Z Nepal

Sumber utama kerusuhan berawal dari kebijakan pemerintah yang melarang 26 platform media sosial populer, termasuk WhatsApp, Facebook, dan Instagram. Kebijakan itu memutus komunikasi sekitar dua juta pekerja migran Nepal dengan keluarga mereka di tanah air, sekaligus memicu kekhawatiran publik atas pembatasan kebebasan berbicara.

Namun, kemarahan generasi muda Nepal tak hanya dipicu larangan tersebut. Mereka menuntut solusi atas pengangguran, korupsi, dan ketidaksetaraan yang sudah lama menekan masyarakat.

Tagar #nepokids sempat menjadi tren, menyoroti gaya hidup mewah anak-anak elite politik di tengah realitas pahit mayoritas pemuda yang kesulitan mencari nafkah. Data pemerintah menunjukkan lebih dari 741.000 warga Nepal meninggalkan negaranya pada 2024 untuk bekerja di luar negeri, sebagian besar di sektor konstruksi dan pertanian. Kiriman uang para pekerja migran itu bahkan menyumbang lebih dari 26 persen perekonomian Nepal.

Baca Juga :  Ada Jemaah Haji Kalteng Tertangkap karena Gunakan Visa Ilegal, Kemenag Ingatkan Masyarakat Hal Ini

Militer dan Masa Depan Politik Nepal

Kini semua perhatian tertuju pada militer. Panglima Jenderal Sigdel telah dua kali bertemu dengan perwakilan kelompok demonstran, yang mengusulkan Sushila Karki sebagai pemimpin pemerintahan sementara.

Dalam wawancara dengan media India, Karki menyatakan kesediaannya menerima mandat tersebut. “Para pemuda dan pemudi itu, mereka meminta saya, mereka meminta saya,” ujarnya.

Meski demikian, belum ada pernyataan resmi dari militer mengenai langkah berikutnya. Sesuai sistem politik Nepal, pembentukan pemerintahan sementara harus mendapat persetujuan Presiden Ram Chandra Poudel. Namun, hingga kini sang presiden belum menampakkan diri sejak pecahnya kerusuhan pada Senin lalu.

Di tengah ketidakpastian itu, mahasiswa yang tergabung dalam Partai Kongres Nepal tetap turun ke jalan menentang jam malam dan meneriakkan slogan anti-militer. Mereka menuntut presiden tampil di hadapan publik.

“Ungkapkan presiden kami ke publik. Kami tidak akan menerima kudeta militer,” teriak para mahasiswa.

Sementara itu, militer telah memerintahkan warga menyerahkan senjata dan amunisi yang diambil selama kerusuhan, serta memperingatkan akan menindak keras siapa pun yang menolak.

Nepal kini berada di persimpangan: apakah akan melahirkan pemerintahan sipil baru atau justru terjebak dalam bayang-bayang kekuasaan militer. (fin)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru