25.6 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Peluang dan Tantangan Hak Angket Pemilu

BEBERAPA pihak yang tidak puas terhadap pelaksanaan pemilihan umum, termasuk pasangan calon presiden dan anggota legislatif, menyatakan akan mengajukan hak angket di DPR. Pengajuan tersebut dilakukan untuk merespons dugaan kecurangan pada Pemilu 2024.

Gagasan pengajuan hak angket ini merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan pemilu sebagaimana yang diamanatkan Pasal 22E, yaitu pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun atau bisa pula bagian dari strategi bargaining politik kekuasaan.

Hak angket (right of enquete) dalam tradisi keilmuan secara konsep merupakan bentuk investigasi parlemen (parliamentary investigation) terhadap pemerintah. Tujuannya sebagai instrumen kontrol yang dimiliki parlemen.

Pada negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, hak angket ditujukan untuk menyatakan mosi tidak percaya (motion of no confidence). Dan berimplikasi pada tuntutan untuk melakukan pemilihan umum yang baru demi menjatuhkan kepala pemerintahan.

Berbeda halnya dengan Indonesia yang menggunakan sistem presidensial. Hak angket (right of inquiry) tidak bermuara pada mosi tidak percaya, tetapi menjadi pintu masuk pelaksanaan impeachment sebagai bentuk pertanggungjawaban jabatan presiden dan atau wakil presiden.

UUD NRI 1945 sebagai dasar kehidupan bernegara secara jelas juga memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengajukan hak angket. Hal itu disebutkan dalam Pasal 20A ayat (2): ”Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”.

Saat ini pengaturan tentang hak angket dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta perubahannya. Pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 menjelaskan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk menyelidiki pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Baca Juga :  Saring Berbagai Informasi yang Masuk Secara Bijsaksana

Pada penjelasan UU tersebut disebutkan pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh presiden, wakil presiden, menteri negara, panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian.

Berdasar ketentuan tersebut, apakah pelaksanaan pemilu serentak nasional yang dalam tahap rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat menjadi objek hak angket DPR? Tentu iya. Pelaksanaan pemilu merupakan pelaksanaan undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum serta berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sebab, pemilu tahun ini diadakan untuk memilih presiden dan wakil presiden, 20.462 anggota DPR/DPRD, 152 anggota DPD, serta menentukan arah kebijakan bangsa Indonesia setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Secara kajian hukum, pelaksanaan pemilu dapat menjadi objek hak angket DPR. Kemudian, berkaitan dengan alasan diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tentu baru dapat dibuktikan bila inisiator hak angket memiliki bukti secara nyata yang dapat dibenarkan secara hukum. Dan, pada lazimnya dengan minimal dua jenis alat bukti.

 

Tantangan Hak Angket

Mendorong terlaksananya hak angket pada DPR bukanlah sesuatu yang mudah. Sebab, undang-undang telah mengatur persyaratan dan tahapan secara terperinci. Syarat pengajuan hak angket diatur di Pasal 199 ayat (1) UU 17/2014. Disebutkan bahwa hak angket harus diusulkan sedikitnya 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.

Kemudian, pengusulan hak angket harus menyertakan dokumen yang memuat materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikan. Tahap selanjutnya untuk dapat lolos menjadi hak angket harus memenuhi persyaratan kuorum rapat dan kuorum persetujuan.

Baca Juga :  Pilpres, Capres, dan Feodalisme

Hak angket akan lolos bila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari ½ jumlah anggota DPR. Dan, keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari ½ jumlah anggota DPR yang hadir. Jadi, forum persetujuan DPR menjadi tantangan tersendiri untuk dapat lolosnya sebuah hak angket.

Bila nanti memutuskan menerima usul hak angket, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket. Anggotanya terdiri atas semua unsur fraksi DPR. Panitia angket ditetapkan dengan keputusan DPR dan diumumkan dalam berita negara. Panitia angket secara hukum diberi kewenangan yang besar dalam menyelidiki dugaan tindakan pemerintah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Mereka bisa meminta keterangan dari pemerintah, saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya. Bahkan, dalam melaksanakan tugasnya tersebut, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai keterangan.

Mereka pun wajib memenuhi panggilan panitia angket. Dan, bila tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan aparat polisi.

Hak angket berkaitan isu kecurangan pemilu merupakan hak angket DPR sebagai wujud atau pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Dan, ini sudah sesuai dengan prinsip check and balance demi terwujudnya kekuasaan yang berimbang. DPR seyogianya menggunakan hak angket secara objektif untuk menemukan bukti pelaksanaan pemilu telah sesuai atau tidak dengan perundang-undangan. (*)

*) Mohammad Syaiful Aris, Dosen Hukum Pemilu Universitas Airlangga, Surabaya

BEBERAPA pihak yang tidak puas terhadap pelaksanaan pemilihan umum, termasuk pasangan calon presiden dan anggota legislatif, menyatakan akan mengajukan hak angket di DPR. Pengajuan tersebut dilakukan untuk merespons dugaan kecurangan pada Pemilu 2024.

Gagasan pengajuan hak angket ini merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan pemilu sebagaimana yang diamanatkan Pasal 22E, yaitu pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun atau bisa pula bagian dari strategi bargaining politik kekuasaan.

Hak angket (right of enquete) dalam tradisi keilmuan secara konsep merupakan bentuk investigasi parlemen (parliamentary investigation) terhadap pemerintah. Tujuannya sebagai instrumen kontrol yang dimiliki parlemen.

Pada negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, hak angket ditujukan untuk menyatakan mosi tidak percaya (motion of no confidence). Dan berimplikasi pada tuntutan untuk melakukan pemilihan umum yang baru demi menjatuhkan kepala pemerintahan.

Berbeda halnya dengan Indonesia yang menggunakan sistem presidensial. Hak angket (right of inquiry) tidak bermuara pada mosi tidak percaya, tetapi menjadi pintu masuk pelaksanaan impeachment sebagai bentuk pertanggungjawaban jabatan presiden dan atau wakil presiden.

UUD NRI 1945 sebagai dasar kehidupan bernegara secara jelas juga memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengajukan hak angket. Hal itu disebutkan dalam Pasal 20A ayat (2): ”Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”.

Saat ini pengaturan tentang hak angket dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta perubahannya. Pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 menjelaskan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk menyelidiki pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Baca Juga :  Saring Berbagai Informasi yang Masuk Secara Bijsaksana

Pada penjelasan UU tersebut disebutkan pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh presiden, wakil presiden, menteri negara, panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian.

Berdasar ketentuan tersebut, apakah pelaksanaan pemilu serentak nasional yang dalam tahap rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat menjadi objek hak angket DPR? Tentu iya. Pelaksanaan pemilu merupakan pelaksanaan undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum serta berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sebab, pemilu tahun ini diadakan untuk memilih presiden dan wakil presiden, 20.462 anggota DPR/DPRD, 152 anggota DPD, serta menentukan arah kebijakan bangsa Indonesia setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Secara kajian hukum, pelaksanaan pemilu dapat menjadi objek hak angket DPR. Kemudian, berkaitan dengan alasan diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tentu baru dapat dibuktikan bila inisiator hak angket memiliki bukti secara nyata yang dapat dibenarkan secara hukum. Dan, pada lazimnya dengan minimal dua jenis alat bukti.

 

Tantangan Hak Angket

Mendorong terlaksananya hak angket pada DPR bukanlah sesuatu yang mudah. Sebab, undang-undang telah mengatur persyaratan dan tahapan secara terperinci. Syarat pengajuan hak angket diatur di Pasal 199 ayat (1) UU 17/2014. Disebutkan bahwa hak angket harus diusulkan sedikitnya 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.

Kemudian, pengusulan hak angket harus menyertakan dokumen yang memuat materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikan. Tahap selanjutnya untuk dapat lolos menjadi hak angket harus memenuhi persyaratan kuorum rapat dan kuorum persetujuan.

Baca Juga :  Pilpres, Capres, dan Feodalisme

Hak angket akan lolos bila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari ½ jumlah anggota DPR. Dan, keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari ½ jumlah anggota DPR yang hadir. Jadi, forum persetujuan DPR menjadi tantangan tersendiri untuk dapat lolosnya sebuah hak angket.

Bila nanti memutuskan menerima usul hak angket, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket. Anggotanya terdiri atas semua unsur fraksi DPR. Panitia angket ditetapkan dengan keputusan DPR dan diumumkan dalam berita negara. Panitia angket secara hukum diberi kewenangan yang besar dalam menyelidiki dugaan tindakan pemerintah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Mereka bisa meminta keterangan dari pemerintah, saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya. Bahkan, dalam melaksanakan tugasnya tersebut, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai keterangan.

Mereka pun wajib memenuhi panggilan panitia angket. Dan, bila tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan aparat polisi.

Hak angket berkaitan isu kecurangan pemilu merupakan hak angket DPR sebagai wujud atau pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Dan, ini sudah sesuai dengan prinsip check and balance demi terwujudnya kekuasaan yang berimbang. DPR seyogianya menggunakan hak angket secara objektif untuk menemukan bukti pelaksanaan pemilu telah sesuai atau tidak dengan perundang-undangan. (*)

*) Mohammad Syaiful Aris, Dosen Hukum Pemilu Universitas Airlangga, Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru