30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Persiapan Setahun Kalah oleh Persiapan Sehari

Oleh; ADINDA W AZMARANI

Wartawan Jawa Pos


MINGGU pagi yang indah. Cuaca benar-benar
cerah. Sungguh hari yang sempurna untuk menggelar acara pernikahan yang sudah
direncanakan sejak satu setengah tahun lalu.

Urut-urutan acara untuk hari Minggu lalu (5/4)
itu pun telah disusun matang. Dimulai dengan akad di pagi hari, dilanjut dengan
garden party pada sore menjelang malam. Semua persiapan sudah klir. Saya sudah
membayangkan menjadi princess sehari.

Tapi, semua angan-angan itu ambyar seketika.
Princess kehilangan kereta kuda dan gaunnya bahkan sebelum pukul 12 malam…

Kalau ada yang bilang manten perempuan bisa
kena bridezilla beberapa pekan sebelum hari pernikahan, saya tidak merasakan
itu. Rasanya lebih dari bridezilla karena benar-benar gila! H-2 pekan saya
dibuat ngenes karena pandemi Covid-19 di Indonesia ternyata makin menjadi-jadi.

Terlebih setelah Polri merilis larangan untuk
mengadakan resepsi selama pandemi. Saya galau. Rasa sedih akibat diselingkuhi
atau diputusin sepihak enggak ada apa-apanya dibanding ini. Serius.

Mau dibatalin kok rugi, tapi mau lanjut nanti
digerebek Pak Polisi. Rasanya kok gini banget. Sempat berpikir, ”Masak iya sih
saya disuruh Tuhan pikir-pikir lagi buat nikah?” Hehehe.

Setelah melewati tangis dan drama, akhirnya
kami memutuskan untuk menunda resepsi. Kemudian, menggantinya dengan akad saja
di masjid terdekat. Saya langsung menghubungi wedding organizer (WO).

Beruntung, semua vendor mau mengerti. Sementara
saya gercep menghubungi masjid perumahan terdekat. Tidak lupa makeup artist,
vendor dokumentasi, dekorasi, dan KUA (kantor urusan agama).

’’Bodo amat lah walau cuma akad aja. Yang
penting sah dan dokumentasinya bagus buat kenang-kenangan seumur hidup,’’ pikir
saya waktu itu. Semua beres dalam waktu sekitar H-1 pekan.

Baca Juga :  Jangan Sampai Orang Dayak Tersingkir dari Tanah Leluhurnya

Saat itu masjid mengizinkan maksimal 50 orang
yang boleh hadir asal pihak kami mau menyediakan masker, hand sanitizer, dan
menjaga jarak. Saya ingat betul sehari sebelum pernikahan.

Pagi itu saya mendapat kabar bahwa akad nikah
tidak boleh dilakukan di luar KUA. Saya dan calon suami shock. Saya langsung
minta nomor ponsel penghulu dari pihak KUA. Saya ngomel. Penghulu bilang dia
repot dan bingung. Kalau Pak Penghulu membaca tulisan ini, saya mau sekalian
minta maaf…

Saya tidak menyalahkan keputusan itu. Tapi,
saya kecewa dengan pemberitahuan yang sangat mendadak. Saya cek Surat Edaran
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor P-003/DJ.III/HK.00.7/04/2020
tentang Protokol Penanganan Covid-19 pada Area Publik dan Protokol Penanganan
Jenazah dirilis pada 2 April. Sedangkan saya baru diberi tahu kurang dari 24
jam sebelum akad berlangsung.

Singkat cerita, kami mau melangsungkan akad di
KUA. Tapi, kami tetap menyiapkan dekorasi di masjid karena sudah telanjur
lunas. Rencananya, setelah akad bisa langsung ke sana untuk mendengarkan
ceramah pernikahan, pengajian, dan tukar cincin saja.

Tapi, ternyata ”badai” belum selesai, Pemirsa.
Sabtu malam (4/4), sekitar pukul 20.00, saat saya lagi asyik siap-siap,
tiba-tiba ada chat dari takmir masjid. Intinya, menyampaikan bahwa mereka
khawatir dengan adanya keramaian di masjid. Sebab, masjid sudah ditutup untuk
kegiatan salat berjamaah sejak sekitar sepekan sebelumnya.

Saya yang kaget langsung datang ke masjid
bersama ayah saya. Naik motor berdua sambil gerimis. Sampai di sana vendor
dekor yang saya pesan sudah datang.

Baca Juga :  Astaga! Kalteng Tembus Rekor Baru, Kini Positif Covid-19 Bertambah 229

Mereka memang mau menata dekorasi H-1 malam
hari. Saya minta mereka menunggu sembari saya bernegosiasi dengan pengurus
masjid. Akhirnya diputuskan bahwa kegiatan di masjid batal. Vendor dekor juga
dibatalkan.

Ya, sudahlah. Saya berusaha legawa untuk kali
kesekian. Memang sudah takdirnya melakukan pernikahan sesederhana mungkin.
Malam itu semua urusan baru selesai dini hari, pukul 01.00.

Pukul 03.00 saya sudah harus bangun untuk
make-up. Pukul 08.00 tepat saya tiba di KUA. Sudah siap dengan kebaya putih
yang dipadukan dengan kain songket dan veil putih. Sedangkan calon suami siap
dengan jas hitam dan peci.

Rupanya di sana sudah ada calon pengantin yang
melangsungkan akad terlebih dulu. Kami menunggu sebentar sebelum akhirnya masuk
ke ruangan kantor yang cukup kecil.

Hanya sepuluh orang yang boleh masuk. Termasuk
penghulu, orang tua, dan fotografer. Semuanya wajib memakai masker dan sarung
tangan karet. Tidak sampai setengah jam kemudian saya resmi menjadi istri
orang.

Rasanya gimana? Pengin terharu, tapi kok enggak
bisa. Mungkin otak saya sudah sedikit error dan air mata sudah habis akibat
drama sebelumnya. Enggak apa-apa, yang penting ”Sah!”.

Cerita ini tidak dialami saya sendiri. Ada
banyak sekali teman saya yang juga melangsungkan pernikahan di bulan ini. Semuanya
juga punya keribetan masing-masing.

Nanti bisa jadi cerita ke anak-anak kami.
’’Nak, dulu mama papa mau nikah di tengah pandemi, ribet banget. Semoga nanti
giliran kamu Bumi sudah sembuh dan semua kembali normal.’’ 

Oleh; ADINDA W AZMARANI

Wartawan Jawa Pos


MINGGU pagi yang indah. Cuaca benar-benar
cerah. Sungguh hari yang sempurna untuk menggelar acara pernikahan yang sudah
direncanakan sejak satu setengah tahun lalu.

Urut-urutan acara untuk hari Minggu lalu (5/4)
itu pun telah disusun matang. Dimulai dengan akad di pagi hari, dilanjut dengan
garden party pada sore menjelang malam. Semua persiapan sudah klir. Saya sudah
membayangkan menjadi princess sehari.

Tapi, semua angan-angan itu ambyar seketika.
Princess kehilangan kereta kuda dan gaunnya bahkan sebelum pukul 12 malam…

Kalau ada yang bilang manten perempuan bisa
kena bridezilla beberapa pekan sebelum hari pernikahan, saya tidak merasakan
itu. Rasanya lebih dari bridezilla karena benar-benar gila! H-2 pekan saya
dibuat ngenes karena pandemi Covid-19 di Indonesia ternyata makin menjadi-jadi.

Terlebih setelah Polri merilis larangan untuk
mengadakan resepsi selama pandemi. Saya galau. Rasa sedih akibat diselingkuhi
atau diputusin sepihak enggak ada apa-apanya dibanding ini. Serius.

Mau dibatalin kok rugi, tapi mau lanjut nanti
digerebek Pak Polisi. Rasanya kok gini banget. Sempat berpikir, ”Masak iya sih
saya disuruh Tuhan pikir-pikir lagi buat nikah?” Hehehe.

Setelah melewati tangis dan drama, akhirnya
kami memutuskan untuk menunda resepsi. Kemudian, menggantinya dengan akad saja
di masjid terdekat. Saya langsung menghubungi wedding organizer (WO).

Beruntung, semua vendor mau mengerti. Sementara
saya gercep menghubungi masjid perumahan terdekat. Tidak lupa makeup artist,
vendor dokumentasi, dekorasi, dan KUA (kantor urusan agama).

’’Bodo amat lah walau cuma akad aja. Yang
penting sah dan dokumentasinya bagus buat kenang-kenangan seumur hidup,’’ pikir
saya waktu itu. Semua beres dalam waktu sekitar H-1 pekan.

Baca Juga :  Jangan Sampai Orang Dayak Tersingkir dari Tanah Leluhurnya

Saat itu masjid mengizinkan maksimal 50 orang
yang boleh hadir asal pihak kami mau menyediakan masker, hand sanitizer, dan
menjaga jarak. Saya ingat betul sehari sebelum pernikahan.

Pagi itu saya mendapat kabar bahwa akad nikah
tidak boleh dilakukan di luar KUA. Saya dan calon suami shock. Saya langsung
minta nomor ponsel penghulu dari pihak KUA. Saya ngomel. Penghulu bilang dia
repot dan bingung. Kalau Pak Penghulu membaca tulisan ini, saya mau sekalian
minta maaf…

Saya tidak menyalahkan keputusan itu. Tapi,
saya kecewa dengan pemberitahuan yang sangat mendadak. Saya cek Surat Edaran
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor P-003/DJ.III/HK.00.7/04/2020
tentang Protokol Penanganan Covid-19 pada Area Publik dan Protokol Penanganan
Jenazah dirilis pada 2 April. Sedangkan saya baru diberi tahu kurang dari 24
jam sebelum akad berlangsung.

Singkat cerita, kami mau melangsungkan akad di
KUA. Tapi, kami tetap menyiapkan dekorasi di masjid karena sudah telanjur
lunas. Rencananya, setelah akad bisa langsung ke sana untuk mendengarkan
ceramah pernikahan, pengajian, dan tukar cincin saja.

Tapi, ternyata ”badai” belum selesai, Pemirsa.
Sabtu malam (4/4), sekitar pukul 20.00, saat saya lagi asyik siap-siap,
tiba-tiba ada chat dari takmir masjid. Intinya, menyampaikan bahwa mereka
khawatir dengan adanya keramaian di masjid. Sebab, masjid sudah ditutup untuk
kegiatan salat berjamaah sejak sekitar sepekan sebelumnya.

Saya yang kaget langsung datang ke masjid
bersama ayah saya. Naik motor berdua sambil gerimis. Sampai di sana vendor
dekor yang saya pesan sudah datang.

Baca Juga :  Astaga! Kalteng Tembus Rekor Baru, Kini Positif Covid-19 Bertambah 229

Mereka memang mau menata dekorasi H-1 malam
hari. Saya minta mereka menunggu sembari saya bernegosiasi dengan pengurus
masjid. Akhirnya diputuskan bahwa kegiatan di masjid batal. Vendor dekor juga
dibatalkan.

Ya, sudahlah. Saya berusaha legawa untuk kali
kesekian. Memang sudah takdirnya melakukan pernikahan sesederhana mungkin.
Malam itu semua urusan baru selesai dini hari, pukul 01.00.

Pukul 03.00 saya sudah harus bangun untuk
make-up. Pukul 08.00 tepat saya tiba di KUA. Sudah siap dengan kebaya putih
yang dipadukan dengan kain songket dan veil putih. Sedangkan calon suami siap
dengan jas hitam dan peci.

Rupanya di sana sudah ada calon pengantin yang
melangsungkan akad terlebih dulu. Kami menunggu sebentar sebelum akhirnya masuk
ke ruangan kantor yang cukup kecil.

Hanya sepuluh orang yang boleh masuk. Termasuk
penghulu, orang tua, dan fotografer. Semuanya wajib memakai masker dan sarung
tangan karet. Tidak sampai setengah jam kemudian saya resmi menjadi istri
orang.

Rasanya gimana? Pengin terharu, tapi kok enggak
bisa. Mungkin otak saya sudah sedikit error dan air mata sudah habis akibat
drama sebelumnya. Enggak apa-apa, yang penting ”Sah!”.

Cerita ini tidak dialami saya sendiri. Ada
banyak sekali teman saya yang juga melangsungkan pernikahan di bulan ini. Semuanya
juga punya keribetan masing-masing.

Nanti bisa jadi cerita ke anak-anak kami.
’’Nak, dulu mama papa mau nikah di tengah pandemi, ribet banget. Semoga nanti
giliran kamu Bumi sudah sembuh dan semua kembali normal.’’ 

Terpopuler

Artikel Terbaru