28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Awas Resisten, Simpan dan Gunakan Antibiotik di Rumah Tanpa Resep

Semakin
banyaknya kasus resisten terhadap obat antibiotik, saat ini dilarang dijual
bebas tanpa indikasi dan resep dokter. Bahkan berdasar riset masih ada
masyarakat yang menyimpannya di rumah tanpa resep serta tanpa indikasi.

Perwakilan
dari Perhimpunan Kedokteran Tropis dan Penyakit Infeksi Indonesia (PETRI) Dr.
dr. Lie Khie Chen, Sp.PD, K-PTI, menjelaskan antibiotik adalah kelompok obat
yang digunakan untuk mengatasi dan mencegah infeksi bakteri. Obat ini bekerja
dengan cara membunuh dan menghentikan bakteri berkembang biak di dalam tubuh.

“Antibiotik
tidak dapat digunakan untuk mengatasi infeksi akibat virus, seperti flu,”
katanya dalam keterangan tertulis Perhimpunan Kedokteran Tropis dan Penyakit
Infeksi Indonesia (PETRI), Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA)
dan Pfizer Indonesia tentang Antimicrobial Resistance (AMR) dan
pengendaliannya, Kamis (3/12).

Antimicrobial
Resistance (AMR) merupakan krisis kesehatan global yang terabaikan, dan
membutuhkan perhatian dan tindakan segera. Pada 2030, diperkirakan penggunaan
antibiotik akan meningkat sebesar 30 persen dan dapat meningkat sebesar 200
persen jika AMR masih ditangani dengan kebijakan yang sama seperti saat ini.
Setidaknya sebanyak 700 ribu kematian disebabkan oleh penyakit yang resisten
terhadap obat di seluruh dunia setiap tahunnya dan pada 2050, sebanyak 10 juta
orang meninggal karena AMR.

Baca Juga :  Pentingnya Laporkan Efek Samping Obat

Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan 35,2 persen masyarakat
Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi. Dan sebanyak 86,1 persen dari
kelompok tersebut menyimpan antibiotik yang didapatkan tanpa resep. Selain itu
di temukan 30 persen sampai dengan 80 persen

penggunaan
antibiotik di Indonesia tidak berdasarkan indikasi.

“Penggunaan
antibiotik yang tidak tepat apabila antibiotik digunakan dengan spektrum yang
berlebihan, tidak sesuai dengan jenis bakteri penyebab infeksi,” kata dr. Lie
Kie Chen.

Durasi
yang terlalu pendek atau terlalu lama, serta dosis yang digunakan tidak tepat
sehingga memicu proses seleksi mikroba. Penggunaan dengan dosis yang terlalu
kecil akan mengurangi efektivitas dan memicu resistensi. Sebaliknya dosis
berlebihan akan menimbulkan efek samping.

Durasi
atau lama penggunaan antibiotik harus sesuai dengan jenis dan kondisi infeksi.
Dengan tindakan meningkatkan daya tahan tubuh, infeksi ringan umumnya dapat
teratasi.

“Kondisi
bukan infeksi seperti alergi kulit, gangguan lambung atau sakit kepala tidak
memerlukan terapi antibiotik,” lanjut dr. Kie Chen.

Dia
menambahkan untuk menentukan apakah suatu kondisi medis memerlukan terapi
antibiotik, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter, jangan membeli antibiotik
sendiri di toko obat atau apotik. Sebab pengobatan antibiotik yang tidak tepat
memberikan efek yang merugikan.

Baca Juga :  3 Kiat Mengendalikan Diabetes Saat Perayaan Natal

Gunakan
antibiotik sesuai dengan rekomendasi dengan minum secara teratur sesuai
instruksi. Antibiotik yang sudah diresepkan harus dihabiskan, sebaiknya tidak
menyimpan sisa antibiotik atau diberikan kepada anggota keluarga lainnya.

Selain
itu, penting untuk meningkatkan kesadaran serta mengedukasi masyarakat dan
tenaga kesehatan di Indonesia mengenai pentingnya penggunaan antibiotik secara
bijak dan rasional,” jelasnya.

Medical
Director, Cluster Lead Pfizer Indonesia, Singapura & Pakistan, dr. Handoko
Santoso, mengatakan ada lima inisatif utama dalam mendorong peningkatan
penanganan resistensi antibiotik. Pertama, penatalaksanaan aktif untuk
mendukung upaya pendidikan bagi para tenaga kesehatan profesional dan
masyarakat umum. Kedua, inovasi alat pengawasan resistensi yang efektif.

Inovasi
ini memungkinkan dokter dan komunitas kesehatan global mendapatkan akses
langsung ke database penting tentang keampuhan berbagai perawatan antibiotik
dan pola resistensi yang muncul di lebih dari 70 negara. Ketiga, kebijakan
global untuk memfasilitasi pengembangan antibiotik dan vaksin, akses dan
penggunaan yang tepat, serta bermitra dengan pemerintah dan organisasi kesehatan
untuk menangani AMR.

Keempat,
memperluas portfolio obat-obatan anti-infeksi dan vaksin untuk membantu
mengobati dan mencegah infeksi serius di seluruh dunia, dan kelima, menerapkan
praktik manufaktur yang bertanggung jawab meminimalkan dampak terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan.

Semakin
banyaknya kasus resisten terhadap obat antibiotik, saat ini dilarang dijual
bebas tanpa indikasi dan resep dokter. Bahkan berdasar riset masih ada
masyarakat yang menyimpannya di rumah tanpa resep serta tanpa indikasi.

Perwakilan
dari Perhimpunan Kedokteran Tropis dan Penyakit Infeksi Indonesia (PETRI) Dr.
dr. Lie Khie Chen, Sp.PD, K-PTI, menjelaskan antibiotik adalah kelompok obat
yang digunakan untuk mengatasi dan mencegah infeksi bakteri. Obat ini bekerja
dengan cara membunuh dan menghentikan bakteri berkembang biak di dalam tubuh.

“Antibiotik
tidak dapat digunakan untuk mengatasi infeksi akibat virus, seperti flu,”
katanya dalam keterangan tertulis Perhimpunan Kedokteran Tropis dan Penyakit
Infeksi Indonesia (PETRI), Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA)
dan Pfizer Indonesia tentang Antimicrobial Resistance (AMR) dan
pengendaliannya, Kamis (3/12).

Antimicrobial
Resistance (AMR) merupakan krisis kesehatan global yang terabaikan, dan
membutuhkan perhatian dan tindakan segera. Pada 2030, diperkirakan penggunaan
antibiotik akan meningkat sebesar 30 persen dan dapat meningkat sebesar 200
persen jika AMR masih ditangani dengan kebijakan yang sama seperti saat ini.
Setidaknya sebanyak 700 ribu kematian disebabkan oleh penyakit yang resisten
terhadap obat di seluruh dunia setiap tahunnya dan pada 2050, sebanyak 10 juta
orang meninggal karena AMR.

Baca Juga :  Pentingnya Laporkan Efek Samping Obat

Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan 35,2 persen masyarakat
Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi. Dan sebanyak 86,1 persen dari
kelompok tersebut menyimpan antibiotik yang didapatkan tanpa resep. Selain itu
di temukan 30 persen sampai dengan 80 persen

penggunaan
antibiotik di Indonesia tidak berdasarkan indikasi.

“Penggunaan
antibiotik yang tidak tepat apabila antibiotik digunakan dengan spektrum yang
berlebihan, tidak sesuai dengan jenis bakteri penyebab infeksi,” kata dr. Lie
Kie Chen.

Durasi
yang terlalu pendek atau terlalu lama, serta dosis yang digunakan tidak tepat
sehingga memicu proses seleksi mikroba. Penggunaan dengan dosis yang terlalu
kecil akan mengurangi efektivitas dan memicu resistensi. Sebaliknya dosis
berlebihan akan menimbulkan efek samping.

Durasi
atau lama penggunaan antibiotik harus sesuai dengan jenis dan kondisi infeksi.
Dengan tindakan meningkatkan daya tahan tubuh, infeksi ringan umumnya dapat
teratasi.

“Kondisi
bukan infeksi seperti alergi kulit, gangguan lambung atau sakit kepala tidak
memerlukan terapi antibiotik,” lanjut dr. Kie Chen.

Dia
menambahkan untuk menentukan apakah suatu kondisi medis memerlukan terapi
antibiotik, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter, jangan membeli antibiotik
sendiri di toko obat atau apotik. Sebab pengobatan antibiotik yang tidak tepat
memberikan efek yang merugikan.

Baca Juga :  3 Kiat Mengendalikan Diabetes Saat Perayaan Natal

Gunakan
antibiotik sesuai dengan rekomendasi dengan minum secara teratur sesuai
instruksi. Antibiotik yang sudah diresepkan harus dihabiskan, sebaiknya tidak
menyimpan sisa antibiotik atau diberikan kepada anggota keluarga lainnya.

Selain
itu, penting untuk meningkatkan kesadaran serta mengedukasi masyarakat dan
tenaga kesehatan di Indonesia mengenai pentingnya penggunaan antibiotik secara
bijak dan rasional,” jelasnya.

Medical
Director, Cluster Lead Pfizer Indonesia, Singapura & Pakistan, dr. Handoko
Santoso, mengatakan ada lima inisatif utama dalam mendorong peningkatan
penanganan resistensi antibiotik. Pertama, penatalaksanaan aktif untuk
mendukung upaya pendidikan bagi para tenaga kesehatan profesional dan
masyarakat umum. Kedua, inovasi alat pengawasan resistensi yang efektif.

Inovasi
ini memungkinkan dokter dan komunitas kesehatan global mendapatkan akses
langsung ke database penting tentang keampuhan berbagai perawatan antibiotik
dan pola resistensi yang muncul di lebih dari 70 negara. Ketiga, kebijakan
global untuk memfasilitasi pengembangan antibiotik dan vaksin, akses dan
penggunaan yang tepat, serta bermitra dengan pemerintah dan organisasi kesehatan
untuk menangani AMR.

Keempat,
memperluas portfolio obat-obatan anti-infeksi dan vaksin untuk membantu
mengobati dan mencegah infeksi serius di seluruh dunia, dan kelima, menerapkan
praktik manufaktur yang bertanggung jawab meminimalkan dampak terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan.

Terpopuler

Artikel Terbaru