25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Waspada Model Pelanggaran Baru di Pilkada 2020

JAKARTA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengimbau Panitia
Pengawas Kecamatan (Panwascam) jeli terhadap berbagai bentuk baru dari
pelanggaran yang mungkin akan muncul dalam Pilkada 2020. Salah satu hal yang
disinggung tentang politik uang yang kedepannya tidak lagi berbentuk materi.

Anggota Bawaslu Ratna Dewi
Petalolo menegaskan, pengawas pemilu termasuk Panwascam harus lebih pandai dari
peserta pilkada. Pengawas pemilu juga harus mengikuti perkembangan informasi
mengenai bentuk-bentuk pelanggaran yang mungkin bakal terjadi. “Jadi bukan cuma uang atau barang. Banyak yang berkembang sekarang dalam bentuk
asuransi, janji umroh, beasiswa dan lain-lain,” kata Dewi di Jakarta, Jumat
(21/2).

Dia mengatakan, potensi
pelanggaran lain juga santer terjadi dalam media sosial sebagai sarana penyebaran
berita bohong. Bercermin pada Pemilu 2019, Dewi mengingatkan panwascam untuk
mewaspadai pelanggaran yang menggunakan media sosial secara masif.

Dia mengkhawatirkan hal tersebut.
Pasalnya, penyebaran berita bohong saat ini sudah dengan sengaja dimanfaatkan
oleh orang-orang dengan tingkat pendidikan tinggi. Tujuannya menyasar mereka
yang kurang mampu menyaring kualitas pemberitaan di media sosial. “Ini sudah
mempengaruhi kalangan elit. Faktanya pemilu 2019 tercatat sebagai pemilu yang
penyebaran berita bohongnya luar biasa. Ini menjadi concern Bawaslu meredam
berita bohong di Pilkada 2020,” tegasnya.

Baca Juga :  Usung Anies Baswedan Jadi Capres, Partai Ummat Beberkan Alasannya

Karena itu, Dewi menginstruksikan
panwascam agar memiliki kemampuan yang mumpuni untuk mendeteksi, mempelajari,
dan menilai aktivitas yang dilakukan peserta pemilu. Dia juga menyarankan
Bawaslu tingkat daerah untuk membuka kembali catatan-catatan penting terkait
pelanggaran di Pemilu 2019 agar menjadi referensi dalam menangani pelanggaran
yang mungkin terjadi dalam Pilkada 2020.

“Tentu dalam memperbaiki kualitas
pilkada, Bawasli harus mampu mengintevaris kembali catatan-catatan hasil
pengawasan yang sudah dilakukan pada pemilu 2019. Karena tidak mungkin kerja
Bawaslu lebih baik kalau tidak belajar dari pengalaman masa lalu,” tutur Dewi.

Terpisah, Ketua Bawaslu RI Abhan
menyebutkan, bentuk pelanggaran seperti praktik politik uang, ujaran kebencian,
dan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) masih menjadi hal yang perlu
diperhatikan. Dia mengungkapkan, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau UU Pilkada, pemberi dan
penerima uang dalam pesta demokrasi bisa dikenakan sanksi pidana. Hanya saja,
tak mudah memberantas politik uang.

Salah satu alasan menurutnya
saksi penerima yang tak mungkin mau melaporkan karena bisa jadi tersangka.
“Sisi positifnya aturan tersebut untuk sosialisasi kepada masyarakat bahwa
sanksinya berat,” ujar Abhan. Menurutnya, banyak pendukung maupun tim sukses
yang melakukan kampanye negatif untuk menjatuhkan lawan politik dengan menyebar
informasi tidak benar. Hal tersebut bisa memicu tingginya potensi politik.

Baca Juga :  Mukhtarudin Sampaikan Beberapa Catatan KEM-PPKF 2022

Abhan menuturkan pendukung
pasangan calon maupun masyarakat yang melanggar aturan kampanye di media sosial
bisa dijerat melalui pidana umum, pidana khusus, dan UU Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE). “Bawaslu berupaya melakukan sosialisasi kepada masyarakat
untuk gunakan medsos dengan baik. Perlu partisipasi publik agar medsos tidak
dibanjiri kampanye hitam,” imbuhnya.

Terkait persoalan netralitas
Aparatur Sipil Negara (ASN), dari 270 daerah yang menggelar pilkada, sebanyak
230 kepala daerah petahana diperkirakan akan maju kembali. Dikhawatirkan, para
kepala daerah menggunakan kewenangan untuk memuluskan jalan menjadi pemenang
dalam pilkada dengan menggerakan ASN.

Untuk itu, Bawaslu sudah
melakukan antisipasi sejak awal. Caranya dengan menggelar Workshop Penerapan
Pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016, tentang larangan bagi kepala daerah atau
petahana melakukan penggantian/mutasi dan Netralitas ASN. “Kepala daerah
dilarang melakukan pergantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan
pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan
tertulis dari menteri dalam negeri,” tandasnya. (khf/fin/rh/kpc)

JAKARTA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengimbau Panitia
Pengawas Kecamatan (Panwascam) jeli terhadap berbagai bentuk baru dari
pelanggaran yang mungkin akan muncul dalam Pilkada 2020. Salah satu hal yang
disinggung tentang politik uang yang kedepannya tidak lagi berbentuk materi.

Anggota Bawaslu Ratna Dewi
Petalolo menegaskan, pengawas pemilu termasuk Panwascam harus lebih pandai dari
peserta pilkada. Pengawas pemilu juga harus mengikuti perkembangan informasi
mengenai bentuk-bentuk pelanggaran yang mungkin bakal terjadi. “Jadi bukan cuma uang atau barang. Banyak yang berkembang sekarang dalam bentuk
asuransi, janji umroh, beasiswa dan lain-lain,” kata Dewi di Jakarta, Jumat
(21/2).

Dia mengatakan, potensi
pelanggaran lain juga santer terjadi dalam media sosial sebagai sarana penyebaran
berita bohong. Bercermin pada Pemilu 2019, Dewi mengingatkan panwascam untuk
mewaspadai pelanggaran yang menggunakan media sosial secara masif.

Dia mengkhawatirkan hal tersebut.
Pasalnya, penyebaran berita bohong saat ini sudah dengan sengaja dimanfaatkan
oleh orang-orang dengan tingkat pendidikan tinggi. Tujuannya menyasar mereka
yang kurang mampu menyaring kualitas pemberitaan di media sosial. “Ini sudah
mempengaruhi kalangan elit. Faktanya pemilu 2019 tercatat sebagai pemilu yang
penyebaran berita bohongnya luar biasa. Ini menjadi concern Bawaslu meredam
berita bohong di Pilkada 2020,” tegasnya.

Baca Juga :  Usung Anies Baswedan Jadi Capres, Partai Ummat Beberkan Alasannya

Karena itu, Dewi menginstruksikan
panwascam agar memiliki kemampuan yang mumpuni untuk mendeteksi, mempelajari,
dan menilai aktivitas yang dilakukan peserta pemilu. Dia juga menyarankan
Bawaslu tingkat daerah untuk membuka kembali catatan-catatan penting terkait
pelanggaran di Pemilu 2019 agar menjadi referensi dalam menangani pelanggaran
yang mungkin terjadi dalam Pilkada 2020.

“Tentu dalam memperbaiki kualitas
pilkada, Bawasli harus mampu mengintevaris kembali catatan-catatan hasil
pengawasan yang sudah dilakukan pada pemilu 2019. Karena tidak mungkin kerja
Bawaslu lebih baik kalau tidak belajar dari pengalaman masa lalu,” tutur Dewi.

Terpisah, Ketua Bawaslu RI Abhan
menyebutkan, bentuk pelanggaran seperti praktik politik uang, ujaran kebencian,
dan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) masih menjadi hal yang perlu
diperhatikan. Dia mengungkapkan, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau UU Pilkada, pemberi dan
penerima uang dalam pesta demokrasi bisa dikenakan sanksi pidana. Hanya saja,
tak mudah memberantas politik uang.

Salah satu alasan menurutnya
saksi penerima yang tak mungkin mau melaporkan karena bisa jadi tersangka.
“Sisi positifnya aturan tersebut untuk sosialisasi kepada masyarakat bahwa
sanksinya berat,” ujar Abhan. Menurutnya, banyak pendukung maupun tim sukses
yang melakukan kampanye negatif untuk menjatuhkan lawan politik dengan menyebar
informasi tidak benar. Hal tersebut bisa memicu tingginya potensi politik.

Baca Juga :  Mukhtarudin Sampaikan Beberapa Catatan KEM-PPKF 2022

Abhan menuturkan pendukung
pasangan calon maupun masyarakat yang melanggar aturan kampanye di media sosial
bisa dijerat melalui pidana umum, pidana khusus, dan UU Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE). “Bawaslu berupaya melakukan sosialisasi kepada masyarakat
untuk gunakan medsos dengan baik. Perlu partisipasi publik agar medsos tidak
dibanjiri kampanye hitam,” imbuhnya.

Terkait persoalan netralitas
Aparatur Sipil Negara (ASN), dari 270 daerah yang menggelar pilkada, sebanyak
230 kepala daerah petahana diperkirakan akan maju kembali. Dikhawatirkan, para
kepala daerah menggunakan kewenangan untuk memuluskan jalan menjadi pemenang
dalam pilkada dengan menggerakan ASN.

Untuk itu, Bawaslu sudah
melakukan antisipasi sejak awal. Caranya dengan menggelar Workshop Penerapan
Pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016, tentang larangan bagi kepala daerah atau
petahana melakukan penggantian/mutasi dan Netralitas ASN. “Kepala daerah
dilarang melakukan pergantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan
pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan
tertulis dari menteri dalam negeri,” tandasnya. (khf/fin/rh/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru