28.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Menakar Peta Pimpinan DPR-MPR Periode 2019-2024

Hasil pemilihan umum (pemilu)
2019 hampir seluruhnya diketahui. Komisi Pemilihan Umum RI (KPU) sudah merilis
perolehan suara partai politik peserta pemilu 2019.

 

Saat ini hanya tersisa proses
sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum akhirnya dilakukan penetapan
akhir. Lantas bagaimana bayangan komposisi legislatif periode 2019-2024?

 

Menurut peneliti senior Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, untuk posisi Ketua DPR RI sudah
jelas akan diisi oleh kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebab
secara undang-undang, partai pemenang pemilu mendapat jatah tersebut.

 

“Kalau DPR sudah jelas, kecuali
diganti UU MD3-nya. Saya rasa (Wakil Ketua DPR) sudah milik 5 partai teratas
(sesuai UU),” ujar Zuhro dalam diskusi Empat Pilar MPR RI di kompleks DPR RI
Senayan, Jakarta, Senin (17/6).

 

Kondisi cukup dinamis terjadi di
komposisi pimpinan MPR RI. Sebab, untuk jabatan ini, semua partai memiliki
peluang.

 

Namun, dari pengalaman dua
periode kepemimpinan terakhir, pimpinan MPR selalu diberikan kepada partai
oposisi sebagai bentuk penyeimbang birokrasi pemerintahan. Seperti pada masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketua MPR diberikan
kepada Taufik Kiemas yang merupakan kader PDIP.

 

Sedangkan pada pemerintahan
Presiden Joko Widodo, Ketua MPR juga diberikan kepada Zulkifli Hasan selaku
kader Partai Amanat Nasional (PAN). Baik PDIP dan PAN pada periode tersebut
merupakan partai oposisi atau di luar pemerintahan.

 

“Cuma yang MPR itu lobi, satu
musyawarah nggak tertutup kemungkinan partai pendukung 02 diakomodasi,” tambah
Zuhro.

Baca Juga :  NU Hingga Jusuf Kalla Minta Pilkada 2020 Ditunda

 

Sejauh ini, di koalisi 01 sendiri
sudah ada Golkar dan PKB yang menyatakan ketertarikan terhadap jabatan ketua
MPR. Sedangkan di 02 PAN berharap dapat mempertahankan posisinya.

 

Terkait ini, Zuhro masih enggan
menakar peluang masing-masing partai. Sebab,koalisi pemenang pasti akan
terlebih dahulu mengkalkulasi power sharing sebelum membuat keputusan.

ADA beberapa aspek bagi koalisi pemenang untuk memutuskan
memberikan posisi Ketua MPR kepada partai oposisi. Mereka akan terlebih dahulu
menghitung perolehan kekuasaan yang diterima oleh partai pendukung di
legislatif.

“Begitu banyak komisi, Ketua dan
lain-lain, kalau mungkin sudah luber di situ, akan ada perhitungan seperti pada
level SBY memberikan kepada Taufik Kiemas,” imbuh Zuhro.

Namun, dalam pandangannya,
jabatan Ketua MPR akan lebih baik diberikan kepada partai di luar pemerintahan.
Sebab dengan begitu, sistem pengawasan legislatif bisa berjalan seimbang.

“Kalau MPR menurut saya kalau di
adhoc tidak bekerja terus menerus dia simbol pemersatu, bhinneka tunggal ika
dan sebagainya, memang sebaiknya mengakomodasi kekuatan-kekuatan politik supaya
ada harmoni,” jelasnya.

Lebih lanjut, perempuan bergelar
profesor ini belum mau mengupas lebih mendalam. Dia menilai lebih baik menunggu
proses sengketa di MK selesai. Setelah itu, maka peta kekuasaan akan lebih
terang.

Di tempat sama, anggota MPR RI
fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo mengatakan, partainya memang tertarik
terhadap posisi Ketua MPR. Sebab tugas partai politik memang berebut kekuasaan
untuk kepentingan rakyat.

Baca Juga :  Muswil Hasilkan 5 Formatur,Mayoritas Ingin Awaludin Pimpin PPP Kalteng

“Kalau tidak di eksekutif ya kami
ke legislatif. Di legislatif ada pimpinan DPR secara UU sudah menjadi hak PDIP,
maka logika politik dari Golkar tentunya kami akan mencoba sesama partai
koalisi untuk posisi tertinggi di MPR,” kata Firman.

Selain itu, Firman tidak
memungkiri partainya telah melakukan lobi-lobi ke partai koalisi untuk mendapat
jabatan Ketua MPR. Namun, untuk gamblangnya akan terungkap setelah proses
sengketa di MK rampung.

“Tentunya lobi-lobi ini sudah
dilakukan pimpinan partai kita, namun itu dilakukan secara silent dan
keputusannya di koalisi,” terangnya.

Sikap berbeda ditunjukan oleh
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jazuli Juwaini. Menurutnya
membahas power sharing bukanlah hal yang mendesak. Dia memandang konsolidasi
legislatif sebagai intitusi harus lebih dikedepankan.

“Konsolidasi pertama yang harus
setelah pemilu adalah konsolidasi parlemen sebagai institusi. Jangan sampai
terkesampingkan oleh kepentingan pragmatis itu,” imbuhnya.

Hal itu disampaikan Jazuli karena
berkaca pada kejadian di periode-periode sebelumnya. Di kala itu kerap terjadi
percekcokan dalam perebutan kekuasaan.

Bahkan pada periode 2009 parlemen
terpecah menjadi dua kubu. Akibatnya kinerja DPR sempat tidak efektif hampir
selama 1 tahun.

“Saya tidak ingin terulang
kembali, malu kepada rakyat. Sekarang sudah ada aturan, kalau PKS nggak dapat
ya nggak apa-apa, itu sudah aturan. Kerangka kebersamaan ini yang harus dibawa
ke MPR,” pungkasnya. (JPC/KPC)

Hasil pemilihan umum (pemilu)
2019 hampir seluruhnya diketahui. Komisi Pemilihan Umum RI (KPU) sudah merilis
perolehan suara partai politik peserta pemilu 2019.

 

Saat ini hanya tersisa proses
sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum akhirnya dilakukan penetapan
akhir. Lantas bagaimana bayangan komposisi legislatif periode 2019-2024?

 

Menurut peneliti senior Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, untuk posisi Ketua DPR RI sudah
jelas akan diisi oleh kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebab
secara undang-undang, partai pemenang pemilu mendapat jatah tersebut.

 

“Kalau DPR sudah jelas, kecuali
diganti UU MD3-nya. Saya rasa (Wakil Ketua DPR) sudah milik 5 partai teratas
(sesuai UU),” ujar Zuhro dalam diskusi Empat Pilar MPR RI di kompleks DPR RI
Senayan, Jakarta, Senin (17/6).

 

Kondisi cukup dinamis terjadi di
komposisi pimpinan MPR RI. Sebab, untuk jabatan ini, semua partai memiliki
peluang.

 

Namun, dari pengalaman dua
periode kepemimpinan terakhir, pimpinan MPR selalu diberikan kepada partai
oposisi sebagai bentuk penyeimbang birokrasi pemerintahan. Seperti pada masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketua MPR diberikan
kepada Taufik Kiemas yang merupakan kader PDIP.

 

Sedangkan pada pemerintahan
Presiden Joko Widodo, Ketua MPR juga diberikan kepada Zulkifli Hasan selaku
kader Partai Amanat Nasional (PAN). Baik PDIP dan PAN pada periode tersebut
merupakan partai oposisi atau di luar pemerintahan.

 

“Cuma yang MPR itu lobi, satu
musyawarah nggak tertutup kemungkinan partai pendukung 02 diakomodasi,” tambah
Zuhro.

Baca Juga :  NU Hingga Jusuf Kalla Minta Pilkada 2020 Ditunda

 

Sejauh ini, di koalisi 01 sendiri
sudah ada Golkar dan PKB yang menyatakan ketertarikan terhadap jabatan ketua
MPR. Sedangkan di 02 PAN berharap dapat mempertahankan posisinya.

 

Terkait ini, Zuhro masih enggan
menakar peluang masing-masing partai. Sebab,koalisi pemenang pasti akan
terlebih dahulu mengkalkulasi power sharing sebelum membuat keputusan.

ADA beberapa aspek bagi koalisi pemenang untuk memutuskan
memberikan posisi Ketua MPR kepada partai oposisi. Mereka akan terlebih dahulu
menghitung perolehan kekuasaan yang diterima oleh partai pendukung di
legislatif.

“Begitu banyak komisi, Ketua dan
lain-lain, kalau mungkin sudah luber di situ, akan ada perhitungan seperti pada
level SBY memberikan kepada Taufik Kiemas,” imbuh Zuhro.

Namun, dalam pandangannya,
jabatan Ketua MPR akan lebih baik diberikan kepada partai di luar pemerintahan.
Sebab dengan begitu, sistem pengawasan legislatif bisa berjalan seimbang.

“Kalau MPR menurut saya kalau di
adhoc tidak bekerja terus menerus dia simbol pemersatu, bhinneka tunggal ika
dan sebagainya, memang sebaiknya mengakomodasi kekuatan-kekuatan politik supaya
ada harmoni,” jelasnya.

Lebih lanjut, perempuan bergelar
profesor ini belum mau mengupas lebih mendalam. Dia menilai lebih baik menunggu
proses sengketa di MK selesai. Setelah itu, maka peta kekuasaan akan lebih
terang.

Di tempat sama, anggota MPR RI
fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo mengatakan, partainya memang tertarik
terhadap posisi Ketua MPR. Sebab tugas partai politik memang berebut kekuasaan
untuk kepentingan rakyat.

Baca Juga :  Muswil Hasilkan 5 Formatur,Mayoritas Ingin Awaludin Pimpin PPP Kalteng

“Kalau tidak di eksekutif ya kami
ke legislatif. Di legislatif ada pimpinan DPR secara UU sudah menjadi hak PDIP,
maka logika politik dari Golkar tentunya kami akan mencoba sesama partai
koalisi untuk posisi tertinggi di MPR,” kata Firman.

Selain itu, Firman tidak
memungkiri partainya telah melakukan lobi-lobi ke partai koalisi untuk mendapat
jabatan Ketua MPR. Namun, untuk gamblangnya akan terungkap setelah proses
sengketa di MK rampung.

“Tentunya lobi-lobi ini sudah
dilakukan pimpinan partai kita, namun itu dilakukan secara silent dan
keputusannya di koalisi,” terangnya.

Sikap berbeda ditunjukan oleh
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jazuli Juwaini. Menurutnya
membahas power sharing bukanlah hal yang mendesak. Dia memandang konsolidasi
legislatif sebagai intitusi harus lebih dikedepankan.

“Konsolidasi pertama yang harus
setelah pemilu adalah konsolidasi parlemen sebagai institusi. Jangan sampai
terkesampingkan oleh kepentingan pragmatis itu,” imbuhnya.

Hal itu disampaikan Jazuli karena
berkaca pada kejadian di periode-periode sebelumnya. Di kala itu kerap terjadi
percekcokan dalam perebutan kekuasaan.

Bahkan pada periode 2009 parlemen
terpecah menjadi dua kubu. Akibatnya kinerja DPR sempat tidak efektif hampir
selama 1 tahun.

“Saya tidak ingin terulang
kembali, malu kepada rakyat. Sekarang sudah ada aturan, kalau PKS nggak dapat
ya nggak apa-apa, itu sudah aturan. Kerangka kebersamaan ini yang harus dibawa
ke MPR,” pungkasnya. (JPC/KPC)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru