26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Akuntabelkah Nilai Rapor Jadi Dasar PPDB?

SELEKSI penerimaan peserta didik baru (PPDB)
tingkat pendidikan dasar (SD-SMP dan sederajat) serta pendidikan menengah
(SMA/SMK dan sederajat) memiliki dinamika yang menarik. Misalnya, tahun ini.
Karena tidak ada ujian nasional atau sejenisnya akibat pandemi Covid-19,
akhirnya nilai rapor digunakan sebagai dasar seleksi PPDB jalur prestasi.

Kuota jalur prestasi berdasar nilai rapor
memang jauh lebih kecil dibandingkan jalur zonasi dan jalur lain. Namun,
tetaplah penting kita renungkan agar penggunaan rapor sebagai dasar seleksi
memberikan hasil yang akuntabel. Johnson & Johnson (2002) menyatakan,
setidaknya ada tiga hal yang harus dipenuhi agar penilaian dalam bidang
pendidikan itu bermakna (meaningful). Yakni, harus dirasakan manfaatnya oleh
pengguna, memiliki prosedur yang jelas dan fair, serta memberikan arah pada
peningkatan kualitas pendidikan.

Seleksi peserta didik baru merupakan salah
satu bentuk penilaian pendidikan guna menyaring calon peserta yang memenuhi
syarat. Hasil penyaringan tidak bisa lepas dari seberapa baik kualitas alat
penyaring dan seberapa tepat proses penyaringannya. Maka, PPDB jalur rapor juga
dapat kita evaluasi kebermaknaan dan akuntabilitasnya menggunakan kerangka
berpikir di atas.

Hingga 2010-an, PPDB dilakukan melalui tes
masuk yang diorganisasi dinas pendidikan atau lembaga lain yang ditugasi. Dalam
rangka memenuhi kualitas dan prosedur penyaringan yang akuntabel, institusi
tersebut menggandeng perguruan tinggi atau unit lain. Itu dilakukan untuk memberikan
jaminan bahwa alat penyaringnya bagus dan proses penyaringannya fair.

Periode berikutnya, PPDB tidak melalui tes
masuk, tetapi menggunakan hasil ujian nasional (UN). Ada masyarakat yang
menyangsikan akuntabilitas hasil PPDB saat itu. Bahkan muncul anggapan adanya
”kecurangan” dalam proses UN. Respons masyarakat berangsur positif ketika UN
dilakukan berbasis komputer (UNBK), yang secara empiris menunjukkan indeks
kejujuran tinggi.

Tahun 2021 tidak ada UNBK karena pandemi
Covid-19. Keputusan pemerintah melalui Peraturan dan Surat Edaran Mendikbud No
1 Tahun 2021 menyebutkan bahwa PPDB jalur prestasi ditentukan berdasar rapor
dan/atau prestasi akademik maupun nonakademik. Penggunaan nilai rapor sebagai
dasar PPDB sebenarnya tidak sebangun dengan penggunaan nilai tes masuk atau
nilai UNBK sebagaimana dideskripsikan di atas. Mengapa?

Baca Juga :  Menggagas Koperasi Kesehatan

Nilai tes masuk atau nilai UNBK diperoleh
dari respons peserta didik terhadap instrumen penilaian yang sama atau setara.
Sehingga dapat diibaratkan kemampuan setiap peserta didik diukur dengan
”penggaris” yang sama atau setara. Sementara itu, nilai rapor diperoleh setiap
guru dengan cara mengukur kemampuan siswanya menggunakan ”jengkal”
masing-masing. Tentu jengkal setiap guru berbeda dan proses mengukurnya pun
bisa berbeda. Dengan demikian, tidaklah bijaksana jika nilai rapor serta-merta
diperlakukan sebagaimana nilai tes masuk atau nilai UNBK sebagai dasar PPDB
jalur prestasi.

Kelemahan nilai rapor sebagai dasar PPDB
setidaknya dapat dikoreksi dengan menyertakan kualitas sekolah dan keakuratan
proses penilaian oleh guru. Kualitas sekolah dapat dipresentasikan dengan nilai
akreditasi sekolah. Maka, perhitungan nilai akhir calon peserta didik baru
dapat diformulakan sebagai gabungan dari nilai rapor dan nilai akreditasi sekolah.

Besarnya persentase nilai rapor dan nilai
akreditasi sekolah dapat ditemukan berbasis data empiris. Menggunakan data
peserta didik pada tahun ajaran sebelumnya, untuk PPDB SMA dan sederajat, dapat
dilakukan simulasi korelasi antara gabungan nilai rapor dan akreditasi sekolah
saat peserta didik masih SMP dengan nilai rapornya ketika SMA. Hal serupa,
untuk PPDB SMP dan sederajat, dilakukan korelasi gabungan nilai rapor dan nilai
akreditasi saat SD dengan rata-rata rapor saat SMP.

Koreksi kedua yang patut dipertimbangkan
adalah seberapa akurat penilaian dalam rapor. Bisa saja nilai akreditasi
sekolah A dan B sama, tetapi jika guru-guru di sekolah A menilainya lebih
akurat dibandingkan guru-guru sekolah B, semestinya nilai rapor peserta didik
sekolah A diboboti lebih tinggi dibandingkan peserta didik sekolah B. Penilaian
lebih akurat dapat dimaknai dengan proses menilainya lebih jujur dan instrumen
penilaian yang digunakan lebih valid dan reliabel.

Baca Juga :  TikTok dan Potensi Disinformasi Politik 2024

Lantas, bagaimana mengukur keakuratan
penilaian guru dari setiap sekolah? Cara yang bisa digunakan antara lain
menganalisis capaian lulusan di jenjang berikutnya. Hal ini sama dengan yang
dilakukan perguruan tinggi terhadap inputnya yang diterima melalui jalur SNMPTN
atau jalur undangan, di mana seleksinya juga berdasar rapor. Jika kemampuan
lulusan sekolah tertentu cenderung rendah di jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, itu merupakan indikator yang layak dipercaya untuk menjustifikasi bahwa
penilaian rapor pada satuan pendidikan sebelumnya tidak akurat. Maka, harus
dirunut berdasar data rapor siswa pada mata pelajaran atau bidang tertentu saat
berada di SD, SMP, atau nilai rapor saat SMP dengan di SMA.

Profil kemampuan atau kompetensi peserta
didik semestinya cenderung konsisten walaupun sudah berkembang dari SMP ke SMA.
Maka, penilaian guru-guru di suatu sekolah yang cenderung menghasilkan profil
konsisten bisa diyakini relatif akurat dibandingkan yang menghasilkan profil
tidak konsisten.

Jika pemetaan tersebut dilakukan dan sekolah
yang terbukti penilaian rapornya lebih akurat diberi bobot lebih tinggi, tentu
semua guru di setiap sekolah akan termotivasi untuk melakukan penilaian secara
jujur. Dan pada akhirnya membentuk kejujuran bersama. Tentu saja hal ini akan
semakin bermakna jika dibarengi dengan upaya peningkatan kompetensi semua guru
dalam melaksanakan proses penilaian yang akuntabel di semua jenjang dan satuan
pendidikan. (*)

 

Wasis, Guru besar evaluasi pendidikan
IPA-Fisika Universitas Negeri Surabaya

SELEKSI penerimaan peserta didik baru (PPDB)
tingkat pendidikan dasar (SD-SMP dan sederajat) serta pendidikan menengah
(SMA/SMK dan sederajat) memiliki dinamika yang menarik. Misalnya, tahun ini.
Karena tidak ada ujian nasional atau sejenisnya akibat pandemi Covid-19,
akhirnya nilai rapor digunakan sebagai dasar seleksi PPDB jalur prestasi.

Kuota jalur prestasi berdasar nilai rapor
memang jauh lebih kecil dibandingkan jalur zonasi dan jalur lain. Namun,
tetaplah penting kita renungkan agar penggunaan rapor sebagai dasar seleksi
memberikan hasil yang akuntabel. Johnson & Johnson (2002) menyatakan,
setidaknya ada tiga hal yang harus dipenuhi agar penilaian dalam bidang
pendidikan itu bermakna (meaningful). Yakni, harus dirasakan manfaatnya oleh
pengguna, memiliki prosedur yang jelas dan fair, serta memberikan arah pada
peningkatan kualitas pendidikan.

Seleksi peserta didik baru merupakan salah
satu bentuk penilaian pendidikan guna menyaring calon peserta yang memenuhi
syarat. Hasil penyaringan tidak bisa lepas dari seberapa baik kualitas alat
penyaring dan seberapa tepat proses penyaringannya. Maka, PPDB jalur rapor juga
dapat kita evaluasi kebermaknaan dan akuntabilitasnya menggunakan kerangka
berpikir di atas.

Hingga 2010-an, PPDB dilakukan melalui tes
masuk yang diorganisasi dinas pendidikan atau lembaga lain yang ditugasi. Dalam
rangka memenuhi kualitas dan prosedur penyaringan yang akuntabel, institusi
tersebut menggandeng perguruan tinggi atau unit lain. Itu dilakukan untuk memberikan
jaminan bahwa alat penyaringnya bagus dan proses penyaringannya fair.

Periode berikutnya, PPDB tidak melalui tes
masuk, tetapi menggunakan hasil ujian nasional (UN). Ada masyarakat yang
menyangsikan akuntabilitas hasil PPDB saat itu. Bahkan muncul anggapan adanya
”kecurangan” dalam proses UN. Respons masyarakat berangsur positif ketika UN
dilakukan berbasis komputer (UNBK), yang secara empiris menunjukkan indeks
kejujuran tinggi.

Tahun 2021 tidak ada UNBK karena pandemi
Covid-19. Keputusan pemerintah melalui Peraturan dan Surat Edaran Mendikbud No
1 Tahun 2021 menyebutkan bahwa PPDB jalur prestasi ditentukan berdasar rapor
dan/atau prestasi akademik maupun nonakademik. Penggunaan nilai rapor sebagai
dasar PPDB sebenarnya tidak sebangun dengan penggunaan nilai tes masuk atau
nilai UNBK sebagaimana dideskripsikan di atas. Mengapa?

Baca Juga :  Menggagas Koperasi Kesehatan

Nilai tes masuk atau nilai UNBK diperoleh
dari respons peserta didik terhadap instrumen penilaian yang sama atau setara.
Sehingga dapat diibaratkan kemampuan setiap peserta didik diukur dengan
”penggaris” yang sama atau setara. Sementara itu, nilai rapor diperoleh setiap
guru dengan cara mengukur kemampuan siswanya menggunakan ”jengkal”
masing-masing. Tentu jengkal setiap guru berbeda dan proses mengukurnya pun
bisa berbeda. Dengan demikian, tidaklah bijaksana jika nilai rapor serta-merta
diperlakukan sebagaimana nilai tes masuk atau nilai UNBK sebagai dasar PPDB
jalur prestasi.

Kelemahan nilai rapor sebagai dasar PPDB
setidaknya dapat dikoreksi dengan menyertakan kualitas sekolah dan keakuratan
proses penilaian oleh guru. Kualitas sekolah dapat dipresentasikan dengan nilai
akreditasi sekolah. Maka, perhitungan nilai akhir calon peserta didik baru
dapat diformulakan sebagai gabungan dari nilai rapor dan nilai akreditasi sekolah.

Besarnya persentase nilai rapor dan nilai
akreditasi sekolah dapat ditemukan berbasis data empiris. Menggunakan data
peserta didik pada tahun ajaran sebelumnya, untuk PPDB SMA dan sederajat, dapat
dilakukan simulasi korelasi antara gabungan nilai rapor dan akreditasi sekolah
saat peserta didik masih SMP dengan nilai rapornya ketika SMA. Hal serupa,
untuk PPDB SMP dan sederajat, dilakukan korelasi gabungan nilai rapor dan nilai
akreditasi saat SD dengan rata-rata rapor saat SMP.

Koreksi kedua yang patut dipertimbangkan
adalah seberapa akurat penilaian dalam rapor. Bisa saja nilai akreditasi
sekolah A dan B sama, tetapi jika guru-guru di sekolah A menilainya lebih
akurat dibandingkan guru-guru sekolah B, semestinya nilai rapor peserta didik
sekolah A diboboti lebih tinggi dibandingkan peserta didik sekolah B. Penilaian
lebih akurat dapat dimaknai dengan proses menilainya lebih jujur dan instrumen
penilaian yang digunakan lebih valid dan reliabel.

Baca Juga :  TikTok dan Potensi Disinformasi Politik 2024

Lantas, bagaimana mengukur keakuratan
penilaian guru dari setiap sekolah? Cara yang bisa digunakan antara lain
menganalisis capaian lulusan di jenjang berikutnya. Hal ini sama dengan yang
dilakukan perguruan tinggi terhadap inputnya yang diterima melalui jalur SNMPTN
atau jalur undangan, di mana seleksinya juga berdasar rapor. Jika kemampuan
lulusan sekolah tertentu cenderung rendah di jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, itu merupakan indikator yang layak dipercaya untuk menjustifikasi bahwa
penilaian rapor pada satuan pendidikan sebelumnya tidak akurat. Maka, harus
dirunut berdasar data rapor siswa pada mata pelajaran atau bidang tertentu saat
berada di SD, SMP, atau nilai rapor saat SMP dengan di SMA.

Profil kemampuan atau kompetensi peserta
didik semestinya cenderung konsisten walaupun sudah berkembang dari SMP ke SMA.
Maka, penilaian guru-guru di suatu sekolah yang cenderung menghasilkan profil
konsisten bisa diyakini relatif akurat dibandingkan yang menghasilkan profil
tidak konsisten.

Jika pemetaan tersebut dilakukan dan sekolah
yang terbukti penilaian rapornya lebih akurat diberi bobot lebih tinggi, tentu
semua guru di setiap sekolah akan termotivasi untuk melakukan penilaian secara
jujur. Dan pada akhirnya membentuk kejujuran bersama. Tentu saja hal ini akan
semakin bermakna jika dibarengi dengan upaya peningkatan kompetensi semua guru
dalam melaksanakan proses penilaian yang akuntabel di semua jenjang dan satuan
pendidikan. (*)

 

Wasis, Guru besar evaluasi pendidikan
IPA-Fisika Universitas Negeri Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru