33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Waspadai Irama Genderang

INI asumsi saya. Bisa salah. Tapi, juga bisa benar. Perihal tidak
adanya nama Hadratus Syech KH Hasyim Asy’ari dalam “draf” Kamus Sejarah
Indonesia yang disusun Kementerian Pendidikan. Kata “draf”, sengaja saya beri
tanda kutif. Sebab, meski berstatus draf, tapi sudah diupload dan bisa diakses
secara luas.

Asumsi saya, kasus raibnya nama
Hadratus Syech sama sekali tidak melibatkan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.
Namun, bidikan dari munculnya kasus ini, jelas dia. Nadiem ingin “dikembalikan”
ke habibatnya sebagai pengusaha berbasis aplikasi online.

Dari asumsi ini, saya juga tidak
bisa menerima teori bahwa hal itu terjadi semata-mata karena keteledoron. Ini
ada unsur kesengajaan. Bermotif politis dan idiolgis. Bisa pula ekonomis.

Lalu siapa? Menteri Pendidikan
sebelum Nadiem? Mengingat, “draft” itu disusun pada 2017, sebelum Nadiem
menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Saya juga tidak percaya teori ini.

Saya tidak akrab dengan Muhadjir
Effendy, sang pejabat sebelum Nadiem. Namun, saya pernah berbincang lama dengan
beliau dan pernah pula berkunjung ke kediamannya di Malang. Dari interaksi itu,
saya bisa menyimpulkan, rasanya sangat jauh dari mungkin bila Muhadjir
melakukan hal setolol ini.

Siapa pun orang yang masih
berpikir waras, rasanya tidak mungkin akan membuang nama Hadratus Syech dari
dokumen sejarah Indonesia. Nama beliau terlalu populer untuk disembunyikan.
Perjalanan hidupnya sudah terlanjur menjadi “rahasia umum”. Umpama ada yang
tidak suka dengan beliau atau kepada NU —organisasi yang didirikan—, paling
hanya membelokkan atau sedikit menutupi peran kesejarahannya. Kalau membuang,
terlalu nekat dan bodoh! Karena pasti sia-sia.

Untuk konteks Indonesia,
kepopuleran Hadratus Syech —plus minus— selevel dengan Soekarno, Bung Hatta, KH
Ahmad Dahlan, HOS Cokroaminito, dll. Beliau-beliau itu aktor utama dari
perjalanan bangsa ini. Tanpa menyertakan peran mereka, narasi sejarah Indonesia
sulit dipahami. Seperti puzzle yang tidak terselesaikan karena ada satu atau
dua bagian potongannya ketlisut (hilang).

Orang se-inteleks Nadiem dan
Muhadjir, saya yakin tahu itu. Jadi, feeling saya mengatakan sangat kecil
kemungkinannya —untuk tidak mengatakan tidak mungkin— mereka melakukan hal yang
pasti akan sia-sia itu.

Lalu siapa? Asumsi saya, ada tiga
skenario. Skenario pertama, dilakukan orang-orang yang tidak nyaman dengan
keberadaan Nadiem sebagai Menteri karena alasan politis dan idiologis. Yakni,
kelompok-kelompok yang menganggap Nadiem terlalu sekuler. Terlalu tidak
berpihak kepada gerakan islamisme, puritanisme dan politik identitas yang
belakangan ini marak.

Seperti diketahui, Nadiem
berkali-kali menyatakan komitmennya untuk menjauhkan pendidikan dari pengaruh
pemikiran intoleran dan radikal. Dan komitmen itu, sudah dibuktikannya.
Khususnya, ketika dia menangani kasus “pemaksaan” pemakaian Jilbab di Sumatera
Barat beberapa waktu lalu. Saya yakin, di luar itu, ada gerakan-gerakan sunyi
yang juga dilakukan Nadiem untuk melawan gejala intoleransi dan radikalisme di kementeriannya.

Baca Juga :  Kebingungan Pajak Indonesia

Beberapa hasil survey menunjukkan
bahwa perguruan-perguruan tinggi negeri di bawah kementerian Pendidikan sudah
banyak yang terpapar cara berpikir radikal. Ketahuilah, bila tahun 2020 kemarin
kita baru terbelalak melihat fenomena itu, maka hakikatnya persemaiannya sudah
dimulai 10 atau 15 tahun sebelumnya.

Artinya, sudah lama dan
menggurita. Beberapa pembawa dan penyebar pemikiran radikal sudah ada di
mana-mana. Sebagian dari mereka, tentu ada di sekitar kantor Nadiem di Jakarta.
Jadi, Nadiem harus jeli dan memasang banyak kamera untuk mengawasi orang-orang
yang berada di kantornya.

Skenario kedua, orang atau
kelompok yang mengincar gurihnya dan strategisnya kementerian Pendidikan.
Kementerian itu, memiliki anggaran jumbo. 20 persen APBN dialokasikan untuk
Pendidikan (Rp 550 triliun). Dari dana itu, Rp 81,5 triliun dikelola oleh
kementrian Pendidikan. Betapa menggiurkan! Ketika dana sebesar itu dikelola
oleh orang seprofesional Nadiem, saya yakin banyak pihak yang kesulitan untuk
mencari bocoran.

Saya tidak hendak menjamin
“kebersihan” Nadiem. Namun, logika saya mengatakan, dengan kesuksesan di bidang
usaha aplikasi online, Nadiem sudah kaya raya. Pundi-pundi uang yang ada di
rekeningnya sudah sulit dihitung. Keberadaanya sebagai Menteri, lebih karena
diminta, bukan mencari.

Skenario ketiga, bisa perpaduan
antara pihak-pihak politis dan idiologis dengan si pencari bocoran anggaran.
Mereka bisa disatukan dalam satu kepentingan: mendongkel Nadiem. Lantas,
berkolaborasi meniup suruling dan menabuh gendering agar ular kobra menari
seperti yang diinginkannya.

Sekali lagi, saya tegaskan, ini
asumsi. Bisa salah, bisa benar. Namun, paling tidak, dengan memahami
kemungkinan kebenaran dari skenario itu, saya berharap kecurigaan atas diri
Nadiem dijauhkan. Karena memang tidak logis! Apalagi dengan langkahnya
cepat-cepat sowan ke PB NU dan memberikan klarifikasi secara tertbuka, saya
rasa sudah cukup.

Saya bukan pendukung Nadiem.
Beberapa kebijakan dia, saya kurang sependapat. Namun, ada rasa respek untuk
dia. Kesediaannya mengemban tugas sebagai Menteri adalah pengabdian untuk
negara yang patut dihargai. Seperti saya singgung di atas, kalau dari sisi
materi dan ketenaran, saya rasa seorang Nadiem tidak perlu repot-repot menjadi
Menteri. Cukup dengan posisinya semula, dia sudah bergelimangan materi dan
ketenaran.

Karena itu, bila toh Presiden
Jokowi punya rencana menggeser dia dari kementerian pendidikan atau bahkan
melepasnya dari kabinet, tidak menjadi problem bagi saya. Yang penting, orang
yang ditunjuk sebagai penggantinya, lebih cakap dan yang penting jangan sampai
berpotensi memberikan ruang kembali kepada kelompok intoleran dan radikal di
lingkungan Kementerian Pendidikan.

Pendidikan adalah sektor yang
sangat strategis untuk pengembangan suatu idiologi. Ketika Pemerintah Belanda
dulu ingin merubah karakter orang Indonesia demi kelanggengan kolonialisasinya,
maka penasehat pemerintah Belanda, Snuck Hurgronje menyarankan agar dilancarkan
strategi “asosiasi” lewat lembaga Pendidikan. Yakni, sebuah strategi untuk
memasukkan idiologi dan kebudayaan lewat Pendidikan. Dan hasilnya, lumayan!

Baca Juga :  Ramadan: Antara Covid-19 dan Puasa Hoaks

Berikutnya, soal tudingan kepada
Muhadjir. Jika sebelumnya telunjuk kita sudah terlanjur mengarah ke dia,
alangkah baiknya segera dilipat kembali. Apalagi, kalau hal itu dikaitkan
dengan Muhammadiyah, ormas di mana Muhadjir berkhitmad. Rasanya, terlalu jauh.
Tidak logis!

Ini yang harus dicermati. “Mister
X” yang di balik kegaduhan itu, bisa jadi menyimpan maksud untuk membenturkan NU-Muhammadiyah.
Seperti diketahui, dalam hal memerangi radikalisme di Indonesia,
NU-Muhammadiyah selalu senada dan seirama. Keduanya menyatakan komitmennya
untuk menjadi penjaga Islam wasatiyah (toleran).

“Mister X” tahu, selagi
NU-Muhammadiyah berada dalam satu barusan, maka sulit bagi mereka untuk mencari
celah mengembangkan pemahamannya. Namun, kalau kedua ormas itu berhadap-hadapan
pada barisan yang berbeda, maka mereka akan mudah mencari celah dan bisa duduk
manis sebagai penumpang gelap. Maka dari itu, mereka berusaha memisahkan.

“Mister X” juga tahu, dalam
konstelasi politik saat ini, NU berada pada posisi yang sangat strategis. NU
adalah raksasa yang gerakannya bisa menimbulkan getaran di mana-mana. Karena
itu, “mister X” ingin NU bergerak dan menimbulkan getaran. Di balik getaran
yang ditimbulkan oleh NU, diharapkan ada “hikmah” yang bisa dikais. Makanya,
menurut saya, bila dalam kasus ini NU terpancing, maka terget dari “mister X”
berarti berhasil. Menggeser Nadiem bisa, membenturkan NU-Muhammadiyah bisa,
melanggengkan penyebaran intoleransi dan radikalisme juga bisa.

Otak-atik, gatuk. Hanya asumsi!
Lewat tulisan ini, saya hanya berharap warga nahdliyin bisa menyikapi kasus ini
dengan lebih tenang. Jangan terbawa pada irama genderang yang sedang ditabuh.
Cukup diselesaikan di level PBNU. Dengan klarifikasi Nadiem ke jajaran pengurus
PBNU dan disertai keputusan untuk segera dibentuk tim khusus yang akan merevisi
total “draf” kamus sejarah itu, saya rasa sudah cukup.

Saya haqul yakin, akal sehat mayoritas
penduduk di negeri ini, tidak bisa menerima bila nama Kiai Hasyim tidak
tercantum dalam Kamus Sejarah Indonesia. Maka, bisa dimaklumi bila banyak yang
mempersoalkannya. Namun, sadarilah, tidak semua yang lantang membela itu
memiliki niat yang sama. Bisa jadi, ada yang “mendadak NU” dan “mendadak baik”.
Jadi, waspdalah!

Terakhir, BIN (Badan Intelijen
Negara) harus peka menangkap fenomena itu. Ada agenda apa? Siapa aktornya?
Rasanya, tidak terlalu sulit untuk membuka tabir itu. Jejak digital sangat memudahkan
untuk menemukan fakta yang sebenarnya!

(AKHMAD ZAINI, mantan jurnalis,
kini menjadi pengajar di IAINU Tuban)

INI asumsi saya. Bisa salah. Tapi, juga bisa benar. Perihal tidak
adanya nama Hadratus Syech KH Hasyim Asy’ari dalam “draf” Kamus Sejarah
Indonesia yang disusun Kementerian Pendidikan. Kata “draf”, sengaja saya beri
tanda kutif. Sebab, meski berstatus draf, tapi sudah diupload dan bisa diakses
secara luas.

Asumsi saya, kasus raibnya nama
Hadratus Syech sama sekali tidak melibatkan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.
Namun, bidikan dari munculnya kasus ini, jelas dia. Nadiem ingin “dikembalikan”
ke habibatnya sebagai pengusaha berbasis aplikasi online.

Dari asumsi ini, saya juga tidak
bisa menerima teori bahwa hal itu terjadi semata-mata karena keteledoron. Ini
ada unsur kesengajaan. Bermotif politis dan idiolgis. Bisa pula ekonomis.

Lalu siapa? Menteri Pendidikan
sebelum Nadiem? Mengingat, “draft” itu disusun pada 2017, sebelum Nadiem
menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Saya juga tidak percaya teori ini.

Saya tidak akrab dengan Muhadjir
Effendy, sang pejabat sebelum Nadiem. Namun, saya pernah berbincang lama dengan
beliau dan pernah pula berkunjung ke kediamannya di Malang. Dari interaksi itu,
saya bisa menyimpulkan, rasanya sangat jauh dari mungkin bila Muhadjir
melakukan hal setolol ini.

Siapa pun orang yang masih
berpikir waras, rasanya tidak mungkin akan membuang nama Hadratus Syech dari
dokumen sejarah Indonesia. Nama beliau terlalu populer untuk disembunyikan.
Perjalanan hidupnya sudah terlanjur menjadi “rahasia umum”. Umpama ada yang
tidak suka dengan beliau atau kepada NU —organisasi yang didirikan—, paling
hanya membelokkan atau sedikit menutupi peran kesejarahannya. Kalau membuang,
terlalu nekat dan bodoh! Karena pasti sia-sia.

Untuk konteks Indonesia,
kepopuleran Hadratus Syech —plus minus— selevel dengan Soekarno, Bung Hatta, KH
Ahmad Dahlan, HOS Cokroaminito, dll. Beliau-beliau itu aktor utama dari
perjalanan bangsa ini. Tanpa menyertakan peran mereka, narasi sejarah Indonesia
sulit dipahami. Seperti puzzle yang tidak terselesaikan karena ada satu atau
dua bagian potongannya ketlisut (hilang).

Orang se-inteleks Nadiem dan
Muhadjir, saya yakin tahu itu. Jadi, feeling saya mengatakan sangat kecil
kemungkinannya —untuk tidak mengatakan tidak mungkin— mereka melakukan hal yang
pasti akan sia-sia itu.

Lalu siapa? Asumsi saya, ada tiga
skenario. Skenario pertama, dilakukan orang-orang yang tidak nyaman dengan
keberadaan Nadiem sebagai Menteri karena alasan politis dan idiologis. Yakni,
kelompok-kelompok yang menganggap Nadiem terlalu sekuler. Terlalu tidak
berpihak kepada gerakan islamisme, puritanisme dan politik identitas yang
belakangan ini marak.

Seperti diketahui, Nadiem
berkali-kali menyatakan komitmennya untuk menjauhkan pendidikan dari pengaruh
pemikiran intoleran dan radikal. Dan komitmen itu, sudah dibuktikannya.
Khususnya, ketika dia menangani kasus “pemaksaan” pemakaian Jilbab di Sumatera
Barat beberapa waktu lalu. Saya yakin, di luar itu, ada gerakan-gerakan sunyi
yang juga dilakukan Nadiem untuk melawan gejala intoleransi dan radikalisme di kementeriannya.

Baca Juga :  Kebingungan Pajak Indonesia

Beberapa hasil survey menunjukkan
bahwa perguruan-perguruan tinggi negeri di bawah kementerian Pendidikan sudah
banyak yang terpapar cara berpikir radikal. Ketahuilah, bila tahun 2020 kemarin
kita baru terbelalak melihat fenomena itu, maka hakikatnya persemaiannya sudah
dimulai 10 atau 15 tahun sebelumnya.

Artinya, sudah lama dan
menggurita. Beberapa pembawa dan penyebar pemikiran radikal sudah ada di
mana-mana. Sebagian dari mereka, tentu ada di sekitar kantor Nadiem di Jakarta.
Jadi, Nadiem harus jeli dan memasang banyak kamera untuk mengawasi orang-orang
yang berada di kantornya.

Skenario kedua, orang atau
kelompok yang mengincar gurihnya dan strategisnya kementerian Pendidikan.
Kementerian itu, memiliki anggaran jumbo. 20 persen APBN dialokasikan untuk
Pendidikan (Rp 550 triliun). Dari dana itu, Rp 81,5 triliun dikelola oleh
kementrian Pendidikan. Betapa menggiurkan! Ketika dana sebesar itu dikelola
oleh orang seprofesional Nadiem, saya yakin banyak pihak yang kesulitan untuk
mencari bocoran.

Saya tidak hendak menjamin
“kebersihan” Nadiem. Namun, logika saya mengatakan, dengan kesuksesan di bidang
usaha aplikasi online, Nadiem sudah kaya raya. Pundi-pundi uang yang ada di
rekeningnya sudah sulit dihitung. Keberadaanya sebagai Menteri, lebih karena
diminta, bukan mencari.

Skenario ketiga, bisa perpaduan
antara pihak-pihak politis dan idiologis dengan si pencari bocoran anggaran.
Mereka bisa disatukan dalam satu kepentingan: mendongkel Nadiem. Lantas,
berkolaborasi meniup suruling dan menabuh gendering agar ular kobra menari
seperti yang diinginkannya.

Sekali lagi, saya tegaskan, ini
asumsi. Bisa salah, bisa benar. Namun, paling tidak, dengan memahami
kemungkinan kebenaran dari skenario itu, saya berharap kecurigaan atas diri
Nadiem dijauhkan. Karena memang tidak logis! Apalagi dengan langkahnya
cepat-cepat sowan ke PB NU dan memberikan klarifikasi secara tertbuka, saya
rasa sudah cukup.

Saya bukan pendukung Nadiem.
Beberapa kebijakan dia, saya kurang sependapat. Namun, ada rasa respek untuk
dia. Kesediaannya mengemban tugas sebagai Menteri adalah pengabdian untuk
negara yang patut dihargai. Seperti saya singgung di atas, kalau dari sisi
materi dan ketenaran, saya rasa seorang Nadiem tidak perlu repot-repot menjadi
Menteri. Cukup dengan posisinya semula, dia sudah bergelimangan materi dan
ketenaran.

Karena itu, bila toh Presiden
Jokowi punya rencana menggeser dia dari kementerian pendidikan atau bahkan
melepasnya dari kabinet, tidak menjadi problem bagi saya. Yang penting, orang
yang ditunjuk sebagai penggantinya, lebih cakap dan yang penting jangan sampai
berpotensi memberikan ruang kembali kepada kelompok intoleran dan radikal di
lingkungan Kementerian Pendidikan.

Pendidikan adalah sektor yang
sangat strategis untuk pengembangan suatu idiologi. Ketika Pemerintah Belanda
dulu ingin merubah karakter orang Indonesia demi kelanggengan kolonialisasinya,
maka penasehat pemerintah Belanda, Snuck Hurgronje menyarankan agar dilancarkan
strategi “asosiasi” lewat lembaga Pendidikan. Yakni, sebuah strategi untuk
memasukkan idiologi dan kebudayaan lewat Pendidikan. Dan hasilnya, lumayan!

Baca Juga :  Ramadan: Antara Covid-19 dan Puasa Hoaks

Berikutnya, soal tudingan kepada
Muhadjir. Jika sebelumnya telunjuk kita sudah terlanjur mengarah ke dia,
alangkah baiknya segera dilipat kembali. Apalagi, kalau hal itu dikaitkan
dengan Muhammadiyah, ormas di mana Muhadjir berkhitmad. Rasanya, terlalu jauh.
Tidak logis!

Ini yang harus dicermati. “Mister
X” yang di balik kegaduhan itu, bisa jadi menyimpan maksud untuk membenturkan NU-Muhammadiyah.
Seperti diketahui, dalam hal memerangi radikalisme di Indonesia,
NU-Muhammadiyah selalu senada dan seirama. Keduanya menyatakan komitmennya
untuk menjadi penjaga Islam wasatiyah (toleran).

“Mister X” tahu, selagi
NU-Muhammadiyah berada dalam satu barusan, maka sulit bagi mereka untuk mencari
celah mengembangkan pemahamannya. Namun, kalau kedua ormas itu berhadap-hadapan
pada barisan yang berbeda, maka mereka akan mudah mencari celah dan bisa duduk
manis sebagai penumpang gelap. Maka dari itu, mereka berusaha memisahkan.

“Mister X” juga tahu, dalam
konstelasi politik saat ini, NU berada pada posisi yang sangat strategis. NU
adalah raksasa yang gerakannya bisa menimbulkan getaran di mana-mana. Karena
itu, “mister X” ingin NU bergerak dan menimbulkan getaran. Di balik getaran
yang ditimbulkan oleh NU, diharapkan ada “hikmah” yang bisa dikais. Makanya,
menurut saya, bila dalam kasus ini NU terpancing, maka terget dari “mister X”
berarti berhasil. Menggeser Nadiem bisa, membenturkan NU-Muhammadiyah bisa,
melanggengkan penyebaran intoleransi dan radikalisme juga bisa.

Otak-atik, gatuk. Hanya asumsi!
Lewat tulisan ini, saya hanya berharap warga nahdliyin bisa menyikapi kasus ini
dengan lebih tenang. Jangan terbawa pada irama genderang yang sedang ditabuh.
Cukup diselesaikan di level PBNU. Dengan klarifikasi Nadiem ke jajaran pengurus
PBNU dan disertai keputusan untuk segera dibentuk tim khusus yang akan merevisi
total “draf” kamus sejarah itu, saya rasa sudah cukup.

Saya haqul yakin, akal sehat mayoritas
penduduk di negeri ini, tidak bisa menerima bila nama Kiai Hasyim tidak
tercantum dalam Kamus Sejarah Indonesia. Maka, bisa dimaklumi bila banyak yang
mempersoalkannya. Namun, sadarilah, tidak semua yang lantang membela itu
memiliki niat yang sama. Bisa jadi, ada yang “mendadak NU” dan “mendadak baik”.
Jadi, waspdalah!

Terakhir, BIN (Badan Intelijen
Negara) harus peka menangkap fenomena itu. Ada agenda apa? Siapa aktornya?
Rasanya, tidak terlalu sulit untuk membuka tabir itu. Jejak digital sangat memudahkan
untuk menemukan fakta yang sebenarnya!

(AKHMAD ZAINI, mantan jurnalis,
kini menjadi pengajar di IAINU Tuban)

Terpopuler

Artikel Terbaru