31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

DNA Politik NU

PEREBUTAN suara basis pemilih berlatar Nahdlatul Ulama (NU) adalah satu kepastian politik yang berulang tiap lima tahunan. Menjelang 2024, NU dan Jawa Timur sebagai jangkar kaum bersarung disebut sebagai dua elemen terpenting yang akan menentukan kata putus atas siapa pemenang pemilu presiden. Langkah kuda bakal kandidat presiden Anies Baswedan yang berduet dengan Muhaimin Iskandar adalah salah satu cerminan betapa pentingnya NU.

Muhaimin, ketua PKB yang berkuasa satu dekade lebih, untuk sementara ini adalah representasi satu-satunya tokoh NU di pacuan pilpres. Dua bakal calon lain, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, disebut dalam banyak laporan media sedang mendekati figur berdarah NU lain untuk dipinang sebagai tandem.

Sikap resmi Pengurus Besar NU (PBNU) sudah benar dalam hal ini: bahwa secara struktural NU mengambil jarak, nonpartisan, dan tak akan terlibat dalam bentuk kampanye pilpres apa pun dan dari siapa pun. Tapi, ketegasan itu membuka kembali debat lama tentang hubungan benci-cinta NU dan politik: dengan riwayat panjang DNA politik di tubuh NU sejak tahun lima puluhan, bagaimana kita menjelaskan sikap nonpartisan NU hari ini, terutama ketika nama, atribut, dan massanya berada dalam masa-masa ranum untuk dikapitalisasi menjadi modal politik?

Bagaimana NU bisa menyelamatkan akses-aksesnya ke pintu-pintu kekuasaan jika ia menjauh dari ingar-bingar pilpres? Atau dengan pertanyaan yang lebih telanjang sekaligus lugas: mungkinkah NU netral?

Pertama, penting untuk ditelaah perubahan konfigurasi politik nasional dalam 10 tahun terakhir dan bagaimana NU memosisikan diri di tengah pergeseran itu. Para sarjana (Warburton dan Aspinall 2019; Mietzner 2020) mengemukakan sedikitnya dua tren sebagai fitur dominan: menguatnya elitisme dan melemahnya kekuatan oposisi.

Baca Juga :  Menjaga Pertumbuhan UMKM

Kombinasi dua hal itu membangunkan kembali sentralisasi kekuasaan ke tangan para oligarki. Hanya segelintir elite dengan kekuasaan eksesif yang dapat sungguh-sungguh menentukan maju mundurnya demokrasi.

Para ketua partai politik, misalnya, adalah majikan sesungguhnya yang mengontrol penuh siapa-siapa yang menjadi bidak dalam kompetisi pemilu. Elite-elite dan pejabat sentral di pemerintahan, pada saat yang sama, berhasil mengukuhkan pengaruhnya tanpa kontrol yang berarti.

Pada kurun waktu 10 tahun terakhir dengan konstelasi kekuasaan yang kaku dan oligarkis ini, NU menampilkan dirinya dengan fleksibilitas yang unik. Sikap resminya tidak bergeming dan terus menetapkan diri sebagai organ nonpolitik yang netral.

Tapi, secara praktis, NU menyadari bahwa ia harus terus mendesakkan diri ke dalam lingkaran elitisme itu guna mengamankan akses dan memperluas pengaruh keorganisasian. Masuknya eksponen NU ke banyak pos pemerintahan dan perusahaan negara dalam periode pemerintahan Jokowi ini, misalnya, adalah langkah agresif yang harus dibaca sebagai upaya strategis NU (Wadipalapa 2021).

Dalam pemilu terakhir pada 2019, aktivitas elite NU pun tidak pernah diam dan terus bergerak dalam mobilisasi massa. Keterpilihan Kiai Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden pendamping Jokowi adalah sinyal paling jelas bahwa NU mustahil terpisah dari politik. Tidak dulu, apalagi saat ini –masa krusial tatkala NU memegang formula kunci kemenangan pemilu akbar lima bulan lagi.

Karena itu, kita harus terbuka untuk mengakui bahwa sikap resmi nonpartisan NU adalah klaim yang rentan. Atas nama kepatutan etis, memang NU harus mendaku sebagai organ netral. Kecondongan pada calon tertentu dianggap tak elok. Tapi, mengunci NU dari gelanggang kontestasi pemilu sudah pasti upaya yang sia-sia.

Baca Juga :  Menjelang Pemilu 2024, Bupati Minta Warga Tolak Politik Identitas

Dilema lain dari kemustahilan NU untuk non-partisan ada pada risiko oportunisme politik. Kecenderungan itu mengemuka sejak lama dan dicatat dengan rapi oleh beragam pengamat dan peneliti dengan kesimpulan yang murung: banyak elite NU memerankan dirinya sebagai broker kekuasaan yang menjual jutaan basis loyal pemilih NU untuk imbalan tertentu. Pola semacam itu tentu disambut gembira oleh elite politik dan kontestan pemilu sebagai ruang transaksi yang saling menguntungkan.

Fleksibilitas sikap NU bisa juga dilihat sebagai keunggulan yang khas. Sebuah kelenturan sikap dari atas ke bawah yang sukar ditandingi organisasi lain. Ia mencerminkan kelonggaran perspektif dalam bertindak, tapi juga menandai banyak fragmentasi kepentingan di satu tubuh. Dengan prinsip fleksibilitas itu pula, NU bertahan bertahun-tahun dalam rezim yang terus berganti.

Soalnya sekarang adalah apakah dapat diuji dengan pasti bahwa fleksibilitas dan oportunisme partisan itu menjanjikan benefit nyata bagi nahdliyin? Apakah dapat diukur penambahan figur-figur NU di pos-pos pemerintahan berbanding lurus dengan dampak positif yang dibawanya bagi kaum bersarung di desa-desa dan perkotaan?

Hanya dengan menjawab soal ini kita bisa menjustifikasi DNA politik NU dalam pengertian yang positif atau sebaliknya. (*)

*) RENDY PAHRUN WADIPALAPA, Peneliti politik, PhD University of Leeds, UK

PEREBUTAN suara basis pemilih berlatar Nahdlatul Ulama (NU) adalah satu kepastian politik yang berulang tiap lima tahunan. Menjelang 2024, NU dan Jawa Timur sebagai jangkar kaum bersarung disebut sebagai dua elemen terpenting yang akan menentukan kata putus atas siapa pemenang pemilu presiden. Langkah kuda bakal kandidat presiden Anies Baswedan yang berduet dengan Muhaimin Iskandar adalah salah satu cerminan betapa pentingnya NU.

Muhaimin, ketua PKB yang berkuasa satu dekade lebih, untuk sementara ini adalah representasi satu-satunya tokoh NU di pacuan pilpres. Dua bakal calon lain, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, disebut dalam banyak laporan media sedang mendekati figur berdarah NU lain untuk dipinang sebagai tandem.

Sikap resmi Pengurus Besar NU (PBNU) sudah benar dalam hal ini: bahwa secara struktural NU mengambil jarak, nonpartisan, dan tak akan terlibat dalam bentuk kampanye pilpres apa pun dan dari siapa pun. Tapi, ketegasan itu membuka kembali debat lama tentang hubungan benci-cinta NU dan politik: dengan riwayat panjang DNA politik di tubuh NU sejak tahun lima puluhan, bagaimana kita menjelaskan sikap nonpartisan NU hari ini, terutama ketika nama, atribut, dan massanya berada dalam masa-masa ranum untuk dikapitalisasi menjadi modal politik?

Bagaimana NU bisa menyelamatkan akses-aksesnya ke pintu-pintu kekuasaan jika ia menjauh dari ingar-bingar pilpres? Atau dengan pertanyaan yang lebih telanjang sekaligus lugas: mungkinkah NU netral?

Pertama, penting untuk ditelaah perubahan konfigurasi politik nasional dalam 10 tahun terakhir dan bagaimana NU memosisikan diri di tengah pergeseran itu. Para sarjana (Warburton dan Aspinall 2019; Mietzner 2020) mengemukakan sedikitnya dua tren sebagai fitur dominan: menguatnya elitisme dan melemahnya kekuatan oposisi.

Baca Juga :  Menjaga Pertumbuhan UMKM

Kombinasi dua hal itu membangunkan kembali sentralisasi kekuasaan ke tangan para oligarki. Hanya segelintir elite dengan kekuasaan eksesif yang dapat sungguh-sungguh menentukan maju mundurnya demokrasi.

Para ketua partai politik, misalnya, adalah majikan sesungguhnya yang mengontrol penuh siapa-siapa yang menjadi bidak dalam kompetisi pemilu. Elite-elite dan pejabat sentral di pemerintahan, pada saat yang sama, berhasil mengukuhkan pengaruhnya tanpa kontrol yang berarti.

Pada kurun waktu 10 tahun terakhir dengan konstelasi kekuasaan yang kaku dan oligarkis ini, NU menampilkan dirinya dengan fleksibilitas yang unik. Sikap resminya tidak bergeming dan terus menetapkan diri sebagai organ nonpolitik yang netral.

Tapi, secara praktis, NU menyadari bahwa ia harus terus mendesakkan diri ke dalam lingkaran elitisme itu guna mengamankan akses dan memperluas pengaruh keorganisasian. Masuknya eksponen NU ke banyak pos pemerintahan dan perusahaan negara dalam periode pemerintahan Jokowi ini, misalnya, adalah langkah agresif yang harus dibaca sebagai upaya strategis NU (Wadipalapa 2021).

Dalam pemilu terakhir pada 2019, aktivitas elite NU pun tidak pernah diam dan terus bergerak dalam mobilisasi massa. Keterpilihan Kiai Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden pendamping Jokowi adalah sinyal paling jelas bahwa NU mustahil terpisah dari politik. Tidak dulu, apalagi saat ini –masa krusial tatkala NU memegang formula kunci kemenangan pemilu akbar lima bulan lagi.

Karena itu, kita harus terbuka untuk mengakui bahwa sikap resmi nonpartisan NU adalah klaim yang rentan. Atas nama kepatutan etis, memang NU harus mendaku sebagai organ netral. Kecondongan pada calon tertentu dianggap tak elok. Tapi, mengunci NU dari gelanggang kontestasi pemilu sudah pasti upaya yang sia-sia.

Baca Juga :  Menjelang Pemilu 2024, Bupati Minta Warga Tolak Politik Identitas

Dilema lain dari kemustahilan NU untuk non-partisan ada pada risiko oportunisme politik. Kecenderungan itu mengemuka sejak lama dan dicatat dengan rapi oleh beragam pengamat dan peneliti dengan kesimpulan yang murung: banyak elite NU memerankan dirinya sebagai broker kekuasaan yang menjual jutaan basis loyal pemilih NU untuk imbalan tertentu. Pola semacam itu tentu disambut gembira oleh elite politik dan kontestan pemilu sebagai ruang transaksi yang saling menguntungkan.

Fleksibilitas sikap NU bisa juga dilihat sebagai keunggulan yang khas. Sebuah kelenturan sikap dari atas ke bawah yang sukar ditandingi organisasi lain. Ia mencerminkan kelonggaran perspektif dalam bertindak, tapi juga menandai banyak fragmentasi kepentingan di satu tubuh. Dengan prinsip fleksibilitas itu pula, NU bertahan bertahun-tahun dalam rezim yang terus berganti.

Soalnya sekarang adalah apakah dapat diuji dengan pasti bahwa fleksibilitas dan oportunisme partisan itu menjanjikan benefit nyata bagi nahdliyin? Apakah dapat diukur penambahan figur-figur NU di pos-pos pemerintahan berbanding lurus dengan dampak positif yang dibawanya bagi kaum bersarung di desa-desa dan perkotaan?

Hanya dengan menjawab soal ini kita bisa menjustifikasi DNA politik NU dalam pengertian yang positif atau sebaliknya. (*)

*) RENDY PAHRUN WADIPALAPA, Peneliti politik, PhD University of Leeds, UK

Terpopuler

Artikel Terbaru