30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Ancaman Destruksi Pemulihan Ekonomi

LEMBAGA pemberantas korupsi di negeri ini kembali dilanda kemelut. Setelah kasus penyerangan tak bertanggung jawab terhadap pegiat antikorupsi, kemudian pelemahan melalui revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), institusi antirasuah tersebut kembali terguncang dengan dipecatnya 75 orang pegawai yang dinyatakan tidak lolos tes (”berkedok”) wawasan kebangsaan (TWK). Menanggapi serangan beruntun dan secara terang-terangan kepada KPK, sangat wajar jika banyak kalangan mengkhawatirkan masa depan penanggulangan korupsi di negeri ini.

Dengan besarnya kewenangan yang dimiliki dalam memberantas korupsi yang telah mendarah daging di negeri ini, tidak heran jika banyak pihak yang terancam dan sangat berkepentingan untuk menjinakkan KPK. Pakar ekonomi politik Richard Robison dan Vedi Hadiz dalam bukunya, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, mengungkapkan bahwa tantangan besar dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif dan bersih di Indonesia adalah masih bercokolnya oligarki-oligarki di seputar kekuasaan. Oligarki-oligarki itu memiliki resiliensi yang kuat dan mampu bermetamorfosis dari satu rezim satu ke rezim berikutnya.

Serangan terhadap KPK tidak hanya mengkhawatirkan dari sisi penegakan hukum semata. Tetapi juga berdampak buruk terhadap perekonomian, khususnya dalam upaya memulihkan ekonomi yang terpuruk akibat pandemi seperti sekarang.

Pertama, pandemi Covid-19 telah membawa warisan di banyak negara berupa melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin. Di Indonesia, anjloknya daya beli golongan menengah ke bawah jelas terlihat dari lonjakan angka kemiskinan dan pengangguran. Dalam satu tahun, jumlah pengangguran terbuka bertambah 2,7 juta orang menjadi 9,8 juta jiwa per Agustus 2020. Sementara jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan bertambah 2,76 juta jiwa pada September 2020. Demikian pula para pelaku usaha, khususnya UMKM, mengalami penurunan pendapatan secara drastis selama diberlakukannya pembatasan mobilitas akibat pandemi.

Baca Juga :  Berperilaku Santri dalam Menjaga Negeri

Di sisi lain, kekayaan golongan menengah atas justru mengalami akumulasi. Ini dapat dilihat dari pertumbuhan nilai tabungan di perbankan yang mengalami akselerasi hingga 12 persen dari rata-rata 8 persen sebelum pandemi. Menariknya, akselerasi pertumbuhan simpanan terutama terjadi pada rekening dengan nilai nominal besar (di atas Rp 2 miliar).

Untuk meredam dampak pandemi terhadap golongan bawah dan menekan kesenjangan pendapatan, peran program perlindungan sosial dan pemberdayaan usaha kecil dan masyarakat marginal, termasuk di antaranya dalam bentuk bantuan sosial, menjadi vital. Namun, anggaran untuk perlindungan sosial yang bernilai ratusan triliun ini sangat rawan untuk dikorupsi. Artinya, tanpa pengawasan untuk memastikan praktik good governance, efektivitas program tersebut dalam membantu kalangan lemah menjadi tereduksi.

Kedua, dari sisi fiskal, dalam kondisi resesi di mana sumber-sumber penerimaan negara terbatas, biaya pemulihan ekonomi tidak cukup hanya bergantung pada penerimaan dari pajak dan hasil sumber daya alam, tapi juga dari utang. Untuk membiayai program pemulihan ekonomi nasional, pada 2020 pemerintah terpaksa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang membuka batas defisit APBN di atas 3 persen selama tiga tahun.

Defisit APBN pada 2020 pun melebar menjadi 6,09 persen, sementara tahun ini ditargetkan 5,7 persen terhadap PDB. Akibatnya, hanya dalam waktu satu tahun, utang pemerintah melonjak Rp 1.263 triliun menjadi Rp 6.455 triliun per Maret 2021 atau setara 41 persen dari PDB nasional.

Lonjakan utang memang menjadi warisan fenomenal pandemi Covid-19. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga hampir seluruh negara di dunia. Namun, selumrah apa pun peningkatan utang pada masa resesi, pada prinsipnya utang harus tetap dibayar. Pembengkakan utang tetap akan menggerogoti kesehatan fiskal dan berpotensi meningkatkan kerentanan ekonomi.

Karena itu, perlu ada upaya yang lebih serius untuk memastikan penggunaan utang agar benar-benar tepat sasaran dan efektif dalam memperbaiki kondisi ekonomi. Dalam hal inilah, peran KPK dan penegak hukum menjadi vital. Tanpa pengawasan yang memadai terhadap pemanfaatan APBN dan APBD, dana raksasa pemulihan ekonomi menjadi sangat rawan untuk diselewengkan. Korupsi dana bansos oleh menteri sosial beberapa waktu lalu adalah salah satu buktinya. Belum lagi kasus-kasus penyelewengan yang dilakukan di tingkat daerah.

Baca Juga :  Pendidikan untuk Indonesia Emas 2045

Lebih jauh lagi, merajalelanya korupsi pada gilirannya juga semakin menyulitkan upaya pemerintah untuk menggali pendapatan perpajakan. Misalnya melalui reformasi perpajakan yang saat ini sedang digodok. Setiap satu kasus korupsi yang ditemukan akan menggerogoti kepercayaan para wajib pajak untuk taat bayar pajak.

Ketiga, resesi yang kita hadapi saat ini juga memberikan pelajaran akan pentingnya membangun struktur ekonomi yang kukuh dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Sejumlah studi menunjukkan korelasi yang kuat antara tingkat korupsi dan daya saing ekonomi suatu negara. Korupsi tidak hanya meningkatkan inefisiensi, tetapi juga ketidakpastian dalam dunia usaha. Keberhasilan Tiongkok dalam melakukan transformasi menjadi kekuatan ekonomi dunia, misalnya, tidak hanya dicapai melalui program dan strategi di bidang ekonomi. Tetapi juga keseriusan dalam pemberantasan korupsi.

Membiarkan ekonomi tumbuh tanpa membangun integritas dan akuntabilitas berpotensi meningkatkan risiko elite capture yang berakibat pada tergerogotinya kekayaan negara dan menurunnya kepercayaan masyarakat. Pemerintah harus membuktikan komitmennya dalam pemberantasan korupsi dengan menggulung pelaku-pelaku korupsi kelas kakap dan menyelesaikan kasus-kasus besar. Untuk itu, pemerintah wajib menjaga integritas penegak hukum dan personel pendukung institusi antirasuah serta memberikan dukungan penuh atas komitmen tinggi mereka. (*)

Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics, Doctor of Philosophy in Political Economy (University of Queensland)

 

LEMBAGA pemberantas korupsi di negeri ini kembali dilanda kemelut. Setelah kasus penyerangan tak bertanggung jawab terhadap pegiat antikorupsi, kemudian pelemahan melalui revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), institusi antirasuah tersebut kembali terguncang dengan dipecatnya 75 orang pegawai yang dinyatakan tidak lolos tes (”berkedok”) wawasan kebangsaan (TWK). Menanggapi serangan beruntun dan secara terang-terangan kepada KPK, sangat wajar jika banyak kalangan mengkhawatirkan masa depan penanggulangan korupsi di negeri ini.

Dengan besarnya kewenangan yang dimiliki dalam memberantas korupsi yang telah mendarah daging di negeri ini, tidak heran jika banyak pihak yang terancam dan sangat berkepentingan untuk menjinakkan KPK. Pakar ekonomi politik Richard Robison dan Vedi Hadiz dalam bukunya, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, mengungkapkan bahwa tantangan besar dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif dan bersih di Indonesia adalah masih bercokolnya oligarki-oligarki di seputar kekuasaan. Oligarki-oligarki itu memiliki resiliensi yang kuat dan mampu bermetamorfosis dari satu rezim satu ke rezim berikutnya.

Serangan terhadap KPK tidak hanya mengkhawatirkan dari sisi penegakan hukum semata. Tetapi juga berdampak buruk terhadap perekonomian, khususnya dalam upaya memulihkan ekonomi yang terpuruk akibat pandemi seperti sekarang.

Pertama, pandemi Covid-19 telah membawa warisan di banyak negara berupa melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin. Di Indonesia, anjloknya daya beli golongan menengah ke bawah jelas terlihat dari lonjakan angka kemiskinan dan pengangguran. Dalam satu tahun, jumlah pengangguran terbuka bertambah 2,7 juta orang menjadi 9,8 juta jiwa per Agustus 2020. Sementara jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan bertambah 2,76 juta jiwa pada September 2020. Demikian pula para pelaku usaha, khususnya UMKM, mengalami penurunan pendapatan secara drastis selama diberlakukannya pembatasan mobilitas akibat pandemi.

Baca Juga :  Berperilaku Santri dalam Menjaga Negeri

Di sisi lain, kekayaan golongan menengah atas justru mengalami akumulasi. Ini dapat dilihat dari pertumbuhan nilai tabungan di perbankan yang mengalami akselerasi hingga 12 persen dari rata-rata 8 persen sebelum pandemi. Menariknya, akselerasi pertumbuhan simpanan terutama terjadi pada rekening dengan nilai nominal besar (di atas Rp 2 miliar).

Untuk meredam dampak pandemi terhadap golongan bawah dan menekan kesenjangan pendapatan, peran program perlindungan sosial dan pemberdayaan usaha kecil dan masyarakat marginal, termasuk di antaranya dalam bentuk bantuan sosial, menjadi vital. Namun, anggaran untuk perlindungan sosial yang bernilai ratusan triliun ini sangat rawan untuk dikorupsi. Artinya, tanpa pengawasan untuk memastikan praktik good governance, efektivitas program tersebut dalam membantu kalangan lemah menjadi tereduksi.

Kedua, dari sisi fiskal, dalam kondisi resesi di mana sumber-sumber penerimaan negara terbatas, biaya pemulihan ekonomi tidak cukup hanya bergantung pada penerimaan dari pajak dan hasil sumber daya alam, tapi juga dari utang. Untuk membiayai program pemulihan ekonomi nasional, pada 2020 pemerintah terpaksa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang membuka batas defisit APBN di atas 3 persen selama tiga tahun.

Defisit APBN pada 2020 pun melebar menjadi 6,09 persen, sementara tahun ini ditargetkan 5,7 persen terhadap PDB. Akibatnya, hanya dalam waktu satu tahun, utang pemerintah melonjak Rp 1.263 triliun menjadi Rp 6.455 triliun per Maret 2021 atau setara 41 persen dari PDB nasional.

Lonjakan utang memang menjadi warisan fenomenal pandemi Covid-19. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga hampir seluruh negara di dunia. Namun, selumrah apa pun peningkatan utang pada masa resesi, pada prinsipnya utang harus tetap dibayar. Pembengkakan utang tetap akan menggerogoti kesehatan fiskal dan berpotensi meningkatkan kerentanan ekonomi.

Karena itu, perlu ada upaya yang lebih serius untuk memastikan penggunaan utang agar benar-benar tepat sasaran dan efektif dalam memperbaiki kondisi ekonomi. Dalam hal inilah, peran KPK dan penegak hukum menjadi vital. Tanpa pengawasan yang memadai terhadap pemanfaatan APBN dan APBD, dana raksasa pemulihan ekonomi menjadi sangat rawan untuk diselewengkan. Korupsi dana bansos oleh menteri sosial beberapa waktu lalu adalah salah satu buktinya. Belum lagi kasus-kasus penyelewengan yang dilakukan di tingkat daerah.

Baca Juga :  Pendidikan untuk Indonesia Emas 2045

Lebih jauh lagi, merajalelanya korupsi pada gilirannya juga semakin menyulitkan upaya pemerintah untuk menggali pendapatan perpajakan. Misalnya melalui reformasi perpajakan yang saat ini sedang digodok. Setiap satu kasus korupsi yang ditemukan akan menggerogoti kepercayaan para wajib pajak untuk taat bayar pajak.

Ketiga, resesi yang kita hadapi saat ini juga memberikan pelajaran akan pentingnya membangun struktur ekonomi yang kukuh dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Sejumlah studi menunjukkan korelasi yang kuat antara tingkat korupsi dan daya saing ekonomi suatu negara. Korupsi tidak hanya meningkatkan inefisiensi, tetapi juga ketidakpastian dalam dunia usaha. Keberhasilan Tiongkok dalam melakukan transformasi menjadi kekuatan ekonomi dunia, misalnya, tidak hanya dicapai melalui program dan strategi di bidang ekonomi. Tetapi juga keseriusan dalam pemberantasan korupsi.

Membiarkan ekonomi tumbuh tanpa membangun integritas dan akuntabilitas berpotensi meningkatkan risiko elite capture yang berakibat pada tergerogotinya kekayaan negara dan menurunnya kepercayaan masyarakat. Pemerintah harus membuktikan komitmennya dalam pemberantasan korupsi dengan menggulung pelaku-pelaku korupsi kelas kakap dan menyelesaikan kasus-kasus besar. Untuk itu, pemerintah wajib menjaga integritas penegak hukum dan personel pendukung institusi antirasuah serta memberikan dukungan penuh atas komitmen tinggi mereka. (*)

Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics, Doctor of Philosophy in Political Economy (University of Queensland)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru