27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Karantina di Dalam Kamar Itu Membosankan

PEMERINTAH telah membuka pintu penerbangan internasional dari 19 negara ke Bali dan Kepulauan Riau (Kepri). Hal itu tentu layak diapresiasi. Ini adalah kebijakan yang sudah lama kita tunggu untuk sektor pariwisata. Apalagi, Bali maupun Kepri merupakan destinasi penyumbang kunjungan wisman yang besar.

Karena itu, suplai dari akomodasinya pun lebih besar berasal dari wisman daripada wisnus. Di Bali, 70 persen kunjungannya berasal dari wisman.

Kalau belum dibuka, okupansi tidak bisa terdongkrak tinggi. Lantas, apakah dalam waktu dekat bisa mengangkat okupansi hotel? Nah, inilah tantangannya.

Kalau kita bicara market, tidak mungkin sesaat setelah kita membuka pintu lalu demand-nya langsung muncul. Ini persoalan yang berbeda dengan wisnus. Sebab, pembukaan pintu bagi wisman ini berkaitan erat dengan airlines juga.

Airlines tidak mungkin hanya mengangkut satu atau dua orang. Mereka (airlines) juga akan melihat bagaimana kondisi pasar. Begitu ada keyakinan bahwa negara kita sudah membuka diri, mereka akan mau menjual destinasi-destinasi (ke Indonesia) tersebut. Kalau sudah ada demand, tentu akan ada direct flight-nya juga. Tentu proses ini harus dilalui.

Kemudian, para wholesaler ini juga punya mitra terkait dengan destinasi 19 negara itu (yang diizinkan masuk Bali-Kepri). Lalu, mereka tentu akan berupaya menjual bahwa Bali dan Kepri sudah boleh dibuka dengan batasan-batasannya.

Baca Juga :  Menyegarkan Makna Berkurban

Saat ini tentu para traveler punya banyak pertimbangan. Mengingat masih banyak batasan yang cukup ketat juga untuk kedatangan wisman.

Salah satu kebijakan yang pasti menjadi pertimbangan penting adalah masa karantina. Masa karantina ini akan menjadikan biaya traveling besar. Terlebih, mereka harus berkomitmen bisa karantina penuh di kamar hotel selama lima hari.

Kami berharap ada evaluasi kebijakan karantina bukan hanya di kamar, tapi juga bisa dilakukan di hotelnya. Sebab, kalau lima hari hanya di dalam kamar, pasti para traveler dari luar negeri ini bosan juga. Traveler ini tetap harus dikarantina, tapi juga tetap bisa menikmati fasilitas hotel.

Kami sangat mengapresiasi kebijakan pengurangan jumlah hari karantina. Ini semua agar masyarakat tidak menjadi korban. Pemerintah pasti juga terus melakukan evaluasi.

 

Kami melihat bahwa demand ini tidak bisa langsung normal membaik seperti sediakala. Sebab, ini semua terkait dengan banyak faktor. Kalau untuk pariwisata, tentu batasan-batasan traveling itu sangat berkaitan. Dulu sebelum Covid-19 muncul, kita mau traveling tidak perlu tes-tes segala macam. Namun, sekarang itu harus dilakukan. Itu memang kendala tersendiri karena setiap tes yang dilakukan juga ada biayanya.

Baca Juga :  Melampaui Diskursus Halal-Haram Pinjaman Online

Selain itu, ada kebijakan yang berbeda-beda di setiap negara. Indonesia terbilang cukup ketat memberikan batasan itu. Tentu ini memang menjadi pertimbangan berat bagi semua traveler.

Kemudian, ada pertimbangan terkait dengan daya saing. Bagaimana kita bisa berkompetisi dengan negara lain dalam membuka pintu bagi wisman. Apalagi, saingan kita (Indonesia) adalah negara tetangga yang mungkin lebih longgar kebijakannya. Pasti para traveler itu akan membandingkan Indonesia dengan negara-negara sekitarnya sebelum memilih destinasi tujuan.

Kami berharap pelan-pelan demand mulai terbentuk. Apalagi, ada momen akhir tahun yang mana biasanya orang-orang mulai liburan. Kalau ada kenaikan 5 atau 10 persen saja dari kunjungan wisman, itu sudah sangat baik. Memang kita tidak bisa berharap angka kenaikan yang lebih besar. (*)

Disarikan dari wawancara wartawan Jawa Pos Dinda Juwita dengan Sekjen PHRI Maulana Yusran

PEMERINTAH telah membuka pintu penerbangan internasional dari 19 negara ke Bali dan Kepulauan Riau (Kepri). Hal itu tentu layak diapresiasi. Ini adalah kebijakan yang sudah lama kita tunggu untuk sektor pariwisata. Apalagi, Bali maupun Kepri merupakan destinasi penyumbang kunjungan wisman yang besar.

Karena itu, suplai dari akomodasinya pun lebih besar berasal dari wisman daripada wisnus. Di Bali, 70 persen kunjungannya berasal dari wisman.

Kalau belum dibuka, okupansi tidak bisa terdongkrak tinggi. Lantas, apakah dalam waktu dekat bisa mengangkat okupansi hotel? Nah, inilah tantangannya.

Kalau kita bicara market, tidak mungkin sesaat setelah kita membuka pintu lalu demand-nya langsung muncul. Ini persoalan yang berbeda dengan wisnus. Sebab, pembukaan pintu bagi wisman ini berkaitan erat dengan airlines juga.

Airlines tidak mungkin hanya mengangkut satu atau dua orang. Mereka (airlines) juga akan melihat bagaimana kondisi pasar. Begitu ada keyakinan bahwa negara kita sudah membuka diri, mereka akan mau menjual destinasi-destinasi (ke Indonesia) tersebut. Kalau sudah ada demand, tentu akan ada direct flight-nya juga. Tentu proses ini harus dilalui.

Kemudian, para wholesaler ini juga punya mitra terkait dengan destinasi 19 negara itu (yang diizinkan masuk Bali-Kepri). Lalu, mereka tentu akan berupaya menjual bahwa Bali dan Kepri sudah boleh dibuka dengan batasan-batasannya.

Baca Juga :  Menyegarkan Makna Berkurban

Saat ini tentu para traveler punya banyak pertimbangan. Mengingat masih banyak batasan yang cukup ketat juga untuk kedatangan wisman.

Salah satu kebijakan yang pasti menjadi pertimbangan penting adalah masa karantina. Masa karantina ini akan menjadikan biaya traveling besar. Terlebih, mereka harus berkomitmen bisa karantina penuh di kamar hotel selama lima hari.

Kami berharap ada evaluasi kebijakan karantina bukan hanya di kamar, tapi juga bisa dilakukan di hotelnya. Sebab, kalau lima hari hanya di dalam kamar, pasti para traveler dari luar negeri ini bosan juga. Traveler ini tetap harus dikarantina, tapi juga tetap bisa menikmati fasilitas hotel.

Kami sangat mengapresiasi kebijakan pengurangan jumlah hari karantina. Ini semua agar masyarakat tidak menjadi korban. Pemerintah pasti juga terus melakukan evaluasi.

 

Kami melihat bahwa demand ini tidak bisa langsung normal membaik seperti sediakala. Sebab, ini semua terkait dengan banyak faktor. Kalau untuk pariwisata, tentu batasan-batasan traveling itu sangat berkaitan. Dulu sebelum Covid-19 muncul, kita mau traveling tidak perlu tes-tes segala macam. Namun, sekarang itu harus dilakukan. Itu memang kendala tersendiri karena setiap tes yang dilakukan juga ada biayanya.

Baca Juga :  Melampaui Diskursus Halal-Haram Pinjaman Online

Selain itu, ada kebijakan yang berbeda-beda di setiap negara. Indonesia terbilang cukup ketat memberikan batasan itu. Tentu ini memang menjadi pertimbangan berat bagi semua traveler.

Kemudian, ada pertimbangan terkait dengan daya saing. Bagaimana kita bisa berkompetisi dengan negara lain dalam membuka pintu bagi wisman. Apalagi, saingan kita (Indonesia) adalah negara tetangga yang mungkin lebih longgar kebijakannya. Pasti para traveler itu akan membandingkan Indonesia dengan negara-negara sekitarnya sebelum memilih destinasi tujuan.

Kami berharap pelan-pelan demand mulai terbentuk. Apalagi, ada momen akhir tahun yang mana biasanya orang-orang mulai liburan. Kalau ada kenaikan 5 atau 10 persen saja dari kunjungan wisman, itu sudah sangat baik. Memang kita tidak bisa berharap angka kenaikan yang lebih besar. (*)

Disarikan dari wawancara wartawan Jawa Pos Dinda Juwita dengan Sekjen PHRI Maulana Yusran

Terpopuler

Artikel Terbaru