26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Sisik Melik Merdeka Melintasi Pandemi Covid-19

KETAHUILAH bahwa kata ”merdeka” itu lahir dengan diplomasi strategis dan taktis hebat para pejuang bangsa. Seperti dilaporkan verslaggever (reporter) surat kabar Darmokondo (1928), memang terdapat larangan pengucapan kata ”merdeka” dalam Kongres Pemuda Indonesia (1928). Polisi menyetop pembicara yang bersuara ”merdeka” sehingga rapat menjadi gaduh. Maka, sewaktu mengawali Kongres Pemuda Indonesia di Sabtu sore 27 Oktober 1928, yang berlangsung dalam pengawasan ketat aparatur kolonial, selaku ketua sidang, Soegondho tampil cerdik nan memukau: ”… toean-toean pembitjara soepaja djangan goenakan kata ’kemerdekaan’ … dan harap toean-toean haroes ’tahoe sama tahoe sadja’”.

Kini pekik merdeka bebas diteriakkan meski volumenya bersahutan dengan raungan duka akibat pandemi Covid-19. Kisah perayaannya menjadi bercampur duka lara. Gambarannya selaksa cerita yang lazim ditanggung saat musim kemarau tiba. Itulah nestapa versi Hantu Bulan Agustus karya Gabriel Garcia Marquez yang terangkum di Strange Pilgrims: Twelve Stories (1993). Gelimpang korban pandemi Covid-19 mendentumkan sukma derita yang mutlak didengar di tengah suguhan virtual merayakan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI.

Merdeka pada sejarahnya adalah produk panjang ikhtiar pembebasan melalui tahapan perjuangan pergerakan kebangsaan. Tiada pernah ada kemerdekaan tanpa pergerakan rakyat. Soekarno dalam pidatonya di Sidang Pertama BPUPKI 1 Juni 1945 di bawah wibawa Ketua Sidang KRT Radjiman Wedyodiningrat telah memformulasikan apa yang dinamakan merdeka. Kemerdekaan yang diidamkan oleh Soekarno dan diamini seluruh pendiri negara adalah politieke onafhankelijkheid alias political independence atau kemerdekaan politik. Kemerdekaan politik ini secara terminologis diposisikan sebagai jembatan emas yang di seberangnyalah ”… kita sempurnakan kita punya masyarakat”. Demikianlah hal ini bergema hingga terkristalisasi dalam teks proklamasi oleh sang proklamator.

Dalam koridor ilmu hukum, proklamasi merupakan revolusi hukum yang menerabas tatanan hukum kolonial. Proklamasi menjadi tindakan politik tanpa dasar hukum, tetapi menjadi sumber hukum yang berlegitimasi sosial politik tinggi. Tahapan ini merupakan titik simpul yang paling menentukan lahir dan berkembangnya sebuah negara bangsa (nation state) yang dinamakan Indonesia (NKRI). Para pendiri sehaluan dengan ungkapan Soekarno bahwa UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 adalah wujud revolutie-grondwet (konstitusi produk revolusi).

Baca Juga :  Bangkitlah Perempuan Desa

 

Cita Tan Malaka

UUD 1945 memberikan basis normatif mengenai fungsi negara ”untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah”. Selingkup ini sebagai ”jelajah ide” saya sertakan persaksian Tan Malaka. Pada 17–24 November 1945, Tan Malaka menyaksikan dahsyatnya peperangan yang revolusioner di Surabaya dalam rangka mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pengamatan itu dituangkan dalam ”naskah drama” yang mengemukakan celoteh tangkas rakyat yang diwakili tokoh rekaan bernama Mr Apal (mewakili para ilmuwan), Toke (wakil pedagang kelas menengah), Pacul (merepresentasikan nama lugas kaum tani), Denmas (si ningrat yang perlente), dan Godam (representasi kaum buruh).

Merdeka 100 persen adalah inti perjuangan yang dianggitkan Tan Malaka. Dalam karya Gerpolek (Gerilya-Politik-Ekonomi), Tan Malaka mengemukakan pikiran yang masih sangat relevan: ”… Revolusi Indonesia mau tak mau terpaksa mengambil tindakan ekonomi dan sosial serentak dengan tindakan merebut dan membela kemerdekaan 100 persen. Revolusi Kemerdekaan Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan dibungkus Revolusi Nasional saja. Perang Kemerdekaan Indonesia harus diisi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus … Tetapi jika pemerintah Indonesia kembali dipegang oleh kaki tangan kapitalis asing –walaupun bangsa Indonesia sendiri, dan 100 persen perusahaan modern berada di tangan kapitalis asing, seperti di zaman Hindia Belanda, maka Revolusi Nasional itu berarti … mengembalikan kapitalisme dan imperialisme internasional …”

Ungkapan Tan Malaka sengaja dikutip untuk mengenang semangat tokoh yang acap kali ditulis miring oleh sejarah bangsa ini. Ingatlah pula amandemen kedua UUD 1945 (18 Agustus 2000) yang melahirkan pasal 28H yang menjadi formula konstitusionalitas hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi setiap warga negara. Inilah janji ekologis dan kesehatan yang harus dipenuhi oleh negara, termasuk membebaskan rakyat dari gerusan pandemi Covid-19. Selama 76 tahun merdeka, rakyat telah menyimak hadirnya eksploitasi sumber daya alam besar-besaran serumpun kolonialisme ekologis yang menyesakkan. Dan kondisi nelongso yang traumatis para korban Covid-19 secara ”tahu sama tahu” harus dipungkasi.

Baca Juga :  Karantina di Dalam Kamar Itu Membosankan

Mengatasi beragam problema dampak pandemi Covid-19 adalah kewajiban negara saat menyeberangi ”jembatan emas” kemerdekaan. Pada konteks ini saya terkenang tanya ekspresif Bung Karno: apa yang bisa diperbuat kaum intelektual? Bung Karno di tahun 1929 dalam pidato Kewajiban Kaum Intelektual telah mempertanyakan: ”… apakah sebabnya kaum intelektual di Indonesia tidak begitu aktif, … malahan ’mati’ di kalangan pergerakan … Indonesia Merdeka”. Bahkan disinyalir para ilmuwan ini ”gumantung tanpa centelan” selama tidak bersatu bersama rakyat. Inilah sindiran dan pesan teragung para leluhur bangsa. Intelektual mutlak membersamai rakyat memberikan solusi atas situasi pandemi ini.

Saya merekam apresiasi publik kepada civitas academica yang telah menghadirkan riset inovatif, pengabdian kemanuiaan, dan melakukan fasilitasi vaksinasi sampai di desa-desa sebagai keterpanggilan kebangsaan. Bukan sosok terpelajar yang menjadi pendengung ”energi negatif” maupun hoaks. Khalayak ramai tahu bahwa Indonesia tidak cukup hanya berubah, tapi juga berbenah agar tangguh dan tumbuh. Saatnya memperkuat solidaritas, bergotong royong meringankan beban sesama warga bangsa dengan tetap lantang berseru merdeka. Akhirnya penuh syukur berdoa: Dirgahayu Indonesia. Inilah karunia terindah Tuhan Yang Maha Esa. (*)

SUPARTO WIJOYO, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya

KETAHUILAH bahwa kata ”merdeka” itu lahir dengan diplomasi strategis dan taktis hebat para pejuang bangsa. Seperti dilaporkan verslaggever (reporter) surat kabar Darmokondo (1928), memang terdapat larangan pengucapan kata ”merdeka” dalam Kongres Pemuda Indonesia (1928). Polisi menyetop pembicara yang bersuara ”merdeka” sehingga rapat menjadi gaduh. Maka, sewaktu mengawali Kongres Pemuda Indonesia di Sabtu sore 27 Oktober 1928, yang berlangsung dalam pengawasan ketat aparatur kolonial, selaku ketua sidang, Soegondho tampil cerdik nan memukau: ”… toean-toean pembitjara soepaja djangan goenakan kata ’kemerdekaan’ … dan harap toean-toean haroes ’tahoe sama tahoe sadja’”.

Kini pekik merdeka bebas diteriakkan meski volumenya bersahutan dengan raungan duka akibat pandemi Covid-19. Kisah perayaannya menjadi bercampur duka lara. Gambarannya selaksa cerita yang lazim ditanggung saat musim kemarau tiba. Itulah nestapa versi Hantu Bulan Agustus karya Gabriel Garcia Marquez yang terangkum di Strange Pilgrims: Twelve Stories (1993). Gelimpang korban pandemi Covid-19 mendentumkan sukma derita yang mutlak didengar di tengah suguhan virtual merayakan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI.

Merdeka pada sejarahnya adalah produk panjang ikhtiar pembebasan melalui tahapan perjuangan pergerakan kebangsaan. Tiada pernah ada kemerdekaan tanpa pergerakan rakyat. Soekarno dalam pidatonya di Sidang Pertama BPUPKI 1 Juni 1945 di bawah wibawa Ketua Sidang KRT Radjiman Wedyodiningrat telah memformulasikan apa yang dinamakan merdeka. Kemerdekaan yang diidamkan oleh Soekarno dan diamini seluruh pendiri negara adalah politieke onafhankelijkheid alias political independence atau kemerdekaan politik. Kemerdekaan politik ini secara terminologis diposisikan sebagai jembatan emas yang di seberangnyalah ”… kita sempurnakan kita punya masyarakat”. Demikianlah hal ini bergema hingga terkristalisasi dalam teks proklamasi oleh sang proklamator.

Dalam koridor ilmu hukum, proklamasi merupakan revolusi hukum yang menerabas tatanan hukum kolonial. Proklamasi menjadi tindakan politik tanpa dasar hukum, tetapi menjadi sumber hukum yang berlegitimasi sosial politik tinggi. Tahapan ini merupakan titik simpul yang paling menentukan lahir dan berkembangnya sebuah negara bangsa (nation state) yang dinamakan Indonesia (NKRI). Para pendiri sehaluan dengan ungkapan Soekarno bahwa UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 adalah wujud revolutie-grondwet (konstitusi produk revolusi).

Baca Juga :  Bangkitlah Perempuan Desa

 

Cita Tan Malaka

UUD 1945 memberikan basis normatif mengenai fungsi negara ”untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah”. Selingkup ini sebagai ”jelajah ide” saya sertakan persaksian Tan Malaka. Pada 17–24 November 1945, Tan Malaka menyaksikan dahsyatnya peperangan yang revolusioner di Surabaya dalam rangka mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pengamatan itu dituangkan dalam ”naskah drama” yang mengemukakan celoteh tangkas rakyat yang diwakili tokoh rekaan bernama Mr Apal (mewakili para ilmuwan), Toke (wakil pedagang kelas menengah), Pacul (merepresentasikan nama lugas kaum tani), Denmas (si ningrat yang perlente), dan Godam (representasi kaum buruh).

Merdeka 100 persen adalah inti perjuangan yang dianggitkan Tan Malaka. Dalam karya Gerpolek (Gerilya-Politik-Ekonomi), Tan Malaka mengemukakan pikiran yang masih sangat relevan: ”… Revolusi Indonesia mau tak mau terpaksa mengambil tindakan ekonomi dan sosial serentak dengan tindakan merebut dan membela kemerdekaan 100 persen. Revolusi Kemerdekaan Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan dibungkus Revolusi Nasional saja. Perang Kemerdekaan Indonesia harus diisi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus … Tetapi jika pemerintah Indonesia kembali dipegang oleh kaki tangan kapitalis asing –walaupun bangsa Indonesia sendiri, dan 100 persen perusahaan modern berada di tangan kapitalis asing, seperti di zaman Hindia Belanda, maka Revolusi Nasional itu berarti … mengembalikan kapitalisme dan imperialisme internasional …”

Ungkapan Tan Malaka sengaja dikutip untuk mengenang semangat tokoh yang acap kali ditulis miring oleh sejarah bangsa ini. Ingatlah pula amandemen kedua UUD 1945 (18 Agustus 2000) yang melahirkan pasal 28H yang menjadi formula konstitusionalitas hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi setiap warga negara. Inilah janji ekologis dan kesehatan yang harus dipenuhi oleh negara, termasuk membebaskan rakyat dari gerusan pandemi Covid-19. Selama 76 tahun merdeka, rakyat telah menyimak hadirnya eksploitasi sumber daya alam besar-besaran serumpun kolonialisme ekologis yang menyesakkan. Dan kondisi nelongso yang traumatis para korban Covid-19 secara ”tahu sama tahu” harus dipungkasi.

Baca Juga :  Karantina di Dalam Kamar Itu Membosankan

Mengatasi beragam problema dampak pandemi Covid-19 adalah kewajiban negara saat menyeberangi ”jembatan emas” kemerdekaan. Pada konteks ini saya terkenang tanya ekspresif Bung Karno: apa yang bisa diperbuat kaum intelektual? Bung Karno di tahun 1929 dalam pidato Kewajiban Kaum Intelektual telah mempertanyakan: ”… apakah sebabnya kaum intelektual di Indonesia tidak begitu aktif, … malahan ’mati’ di kalangan pergerakan … Indonesia Merdeka”. Bahkan disinyalir para ilmuwan ini ”gumantung tanpa centelan” selama tidak bersatu bersama rakyat. Inilah sindiran dan pesan teragung para leluhur bangsa. Intelektual mutlak membersamai rakyat memberikan solusi atas situasi pandemi ini.

Saya merekam apresiasi publik kepada civitas academica yang telah menghadirkan riset inovatif, pengabdian kemanuiaan, dan melakukan fasilitasi vaksinasi sampai di desa-desa sebagai keterpanggilan kebangsaan. Bukan sosok terpelajar yang menjadi pendengung ”energi negatif” maupun hoaks. Khalayak ramai tahu bahwa Indonesia tidak cukup hanya berubah, tapi juga berbenah agar tangguh dan tumbuh. Saatnya memperkuat solidaritas, bergotong royong meringankan beban sesama warga bangsa dengan tetap lantang berseru merdeka. Akhirnya penuh syukur berdoa: Dirgahayu Indonesia. Inilah karunia terindah Tuhan Yang Maha Esa. (*)

SUPARTO WIJOYO, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru