33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Tanamkan Nilai Barang, Bukan Merek

SUATU hari, saat berlibur di
Jepang, Ira Rahmawati, ibu rumah tangga, melihat sebuah toko mainan. Rupanya,
toko itu menjual mainan brick bermerek ternama dengan harga supermurah. Mainan
jenis itu merupakan favorit putranya, Enricho William, 8. Namun, ternyata itu
bukan barang asli alias KW. Sebagai ibu rumah tangga yang mementingkan sisi
ekonomis, Ira langsung membeli mainan tersebut.

”Toh,
anak nggak akan tahu, yang penting gunanya sama,” pikir Ira saat itu.

Ketika
mainan sudah sampai di tangan anak, dugaan itu salah. ”Enricho dan temannya
bilang, ’Mommy kok beli yang KW, bukan yang asli.’ Ternyata, anak-anak itu tahu
lho,” katanya.

Bahkan,
Enricho menjelaskan secara detail perbedaan mainan asli dan KW itu kepada
mommynya. ”Memang nggak sampai semua temannya tahu. Kalau sampai tahu, bisa
diledekin juga karena banyak temannya punya yang asli dan ternyata bisa
membedakan,” imbuh dia.

Fenomena
seperti itu kerap muncul pada anak-anak zaman sekarang. Terlebih, teknologi dan
media sosial berkembang dengan sangat cepat. Bahkan, anak-anak pun bisa
mengaksesnya. ”Enricho biasanya kepengin mainan ini itu karena YouTube,” tutur
dia.

Irma
Dianita MPsi, anggota tim psikolog di Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) Surabaya,
menambahkan, tren yang muncul di kalangan anak-anak dipengaruhi lingkungan
sekitar. Terutama orang tua, sekolah, dan pertemanan.

”Ada
berbagai latar belakang orang tua yang bisa membentuk si anak,” terang Irma.
Karena itu, tidak mengherankan jika ada anak yang sangat paham tren dan merek.
Sebab, orang tuanya pun begitu. Hal itu kemudian ”ditularkan” kepada
teman-temannya.

Baca Juga :  Putri Jusuf Kalla Laporkan Ferdinand Hutahean ke Bareskrim

Bahkan,
tidak jarang anak yang mendewakan merek mahal demi gengsi. Kemudian merendahkan
teman yang tidak memakai merek yang sama dengannya. Hal itu akan bertambah
ketika anak menginjak usia remaja. Anak sudah bisa memilih sendiri dan butuh
pengakuan dari lingkungan sekitar. ”Itu menjadi masa krisis dia. Nah, orang tua
mau menguatkan atau menyalahkan?” ucap dia.

Satu
hal yang harus ditekankan oleh orang tua ketika hal semacam itu terjadi adalah
menanamkan nilai suatu barang. Terlepas apakah barang itu mahal, murah,
bermerek, tidak bermerek, atau bahkan KW. Jelaskan kepada anak, meski barang
tidak mahal atau bermerek, fungsi dan bentuknya hampir sama.

Jika
barang itu berupa mainan, jelaskan bahwa cara memainkannya pun sama. ”Kita
tidak mau mengangkat KW atau palsu. Orang tua tidak perlu membahas itu barang
KW atau tidak, tapi menanamkan nilai bermain dengan mainan tersebut,” urainya.
Sambil perlahan jelaskan perbedaan antara barang yang murah, bermerek, asli,
KW, dsb. Misalnya dengan menanyakan mau menggunakan barang itu berapa lama.

”Mungkin
barang yang mahal bisa lebih tahan lama. Tapi, berapa lama anak mau menggunakan
barang itu?” jelas Irma.

Bisa
juga diselipkan nilai-nilai empati. Menjelaskan bahwa tidak semua orang bisa
membeli barang bermerek atau yang berharga mahal. Di samping itu, orang tua
juga bisa terus meningkatkan kepercayaan diri anak. Hal tersebut bisa dimulai
saat anak berusia 3 tahun, ketika kesadarannya mulai terbangun. Salah satu
caranya adalah membiarkan anak menentukan pilihan barangnya sendiri.

Baca Juga :  Ganjar Bidani Undang-Undang Kewarganegaraan

Orang
tua bisa memberikan beberapa pilihan yang disesuaikan dengan kantong. Kemudian,
minta anak memilih tanpa melihat harganya. Ketika anak sudah menjatuhkan
pilihan, apresiasi dengan memberikan pujian. ”Dari situ, kepercayaan dirinya
tumbuh. Sehingga kelak dia lebih siap mental menghadapi lingkungan pertemanan
yang lebih luas,” terang dia.
(adn/c11/nda)

==

Belajar Rendah Hati

(MINTA ILUSTRASI ANAK-ANAK)

         
Bersyukur

Tidak terus melihat ke atas dan coba melihat ke
bawah. Salah satunya dengan berkunjung ke panti asuhan. ’’Melihat bahwa apa
yang kita punya itu adalah porsi cukup,’’ kata Irma.

         
Kritis

Jika teman-temanmu ternyata memiliki barang
yang bermerek dan mahal, mari kritis. Misalnya, bertanya kepada teman apa yang
membuat barang itu mahal. Jika temanmu tahu perbedaan barang asli dan KW. Kamu
jadi mengetahui latar belakang benda yang diinginkannya.

         
Asah Kreativitas

Mainan yang asyik tidak harus dibeli. Misalnya,
dengan membuat dulu. Kalaupun ingin membeli, masukkan usaha untuk
mengkreatifkan mainan itu. Contohnya, menggambar karakter mainan yang ingin
dibeli.

         
Menabung

Menabung bisa jadi salah satu usahamu untuk
mendapatkan apa yang diinginkan. Orang tua mengatakan menabung tidak bertujuan
membeli mainan, melainkan untuk masa depan. ’’Kalau kebutuhannya sekarang main,
boleh nabung pelan-pelan. Tapi, uang tabungan jangan dihabiskan semua,’’
ujarnya. Beberapa orang tua bahkan mengajari anak berbisnis sejak dini untuk
melatih kemandirian.

SUATU hari, saat berlibur di
Jepang, Ira Rahmawati, ibu rumah tangga, melihat sebuah toko mainan. Rupanya,
toko itu menjual mainan brick bermerek ternama dengan harga supermurah. Mainan
jenis itu merupakan favorit putranya, Enricho William, 8. Namun, ternyata itu
bukan barang asli alias KW. Sebagai ibu rumah tangga yang mementingkan sisi
ekonomis, Ira langsung membeli mainan tersebut.

”Toh,
anak nggak akan tahu, yang penting gunanya sama,” pikir Ira saat itu.

Ketika
mainan sudah sampai di tangan anak, dugaan itu salah. ”Enricho dan temannya
bilang, ’Mommy kok beli yang KW, bukan yang asli.’ Ternyata, anak-anak itu tahu
lho,” katanya.

Bahkan,
Enricho menjelaskan secara detail perbedaan mainan asli dan KW itu kepada
mommynya. ”Memang nggak sampai semua temannya tahu. Kalau sampai tahu, bisa
diledekin juga karena banyak temannya punya yang asli dan ternyata bisa
membedakan,” imbuh dia.

Fenomena
seperti itu kerap muncul pada anak-anak zaman sekarang. Terlebih, teknologi dan
media sosial berkembang dengan sangat cepat. Bahkan, anak-anak pun bisa
mengaksesnya. ”Enricho biasanya kepengin mainan ini itu karena YouTube,” tutur
dia.

Irma
Dianita MPsi, anggota tim psikolog di Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) Surabaya,
menambahkan, tren yang muncul di kalangan anak-anak dipengaruhi lingkungan
sekitar. Terutama orang tua, sekolah, dan pertemanan.

”Ada
berbagai latar belakang orang tua yang bisa membentuk si anak,” terang Irma.
Karena itu, tidak mengherankan jika ada anak yang sangat paham tren dan merek.
Sebab, orang tuanya pun begitu. Hal itu kemudian ”ditularkan” kepada
teman-temannya.

Baca Juga :  Putri Jusuf Kalla Laporkan Ferdinand Hutahean ke Bareskrim

Bahkan,
tidak jarang anak yang mendewakan merek mahal demi gengsi. Kemudian merendahkan
teman yang tidak memakai merek yang sama dengannya. Hal itu akan bertambah
ketika anak menginjak usia remaja. Anak sudah bisa memilih sendiri dan butuh
pengakuan dari lingkungan sekitar. ”Itu menjadi masa krisis dia. Nah, orang tua
mau menguatkan atau menyalahkan?” ucap dia.

Satu
hal yang harus ditekankan oleh orang tua ketika hal semacam itu terjadi adalah
menanamkan nilai suatu barang. Terlepas apakah barang itu mahal, murah,
bermerek, tidak bermerek, atau bahkan KW. Jelaskan kepada anak, meski barang
tidak mahal atau bermerek, fungsi dan bentuknya hampir sama.

Jika
barang itu berupa mainan, jelaskan bahwa cara memainkannya pun sama. ”Kita
tidak mau mengangkat KW atau palsu. Orang tua tidak perlu membahas itu barang
KW atau tidak, tapi menanamkan nilai bermain dengan mainan tersebut,” urainya.
Sambil perlahan jelaskan perbedaan antara barang yang murah, bermerek, asli,
KW, dsb. Misalnya dengan menanyakan mau menggunakan barang itu berapa lama.

”Mungkin
barang yang mahal bisa lebih tahan lama. Tapi, berapa lama anak mau menggunakan
barang itu?” jelas Irma.

Bisa
juga diselipkan nilai-nilai empati. Menjelaskan bahwa tidak semua orang bisa
membeli barang bermerek atau yang berharga mahal. Di samping itu, orang tua
juga bisa terus meningkatkan kepercayaan diri anak. Hal tersebut bisa dimulai
saat anak berusia 3 tahun, ketika kesadarannya mulai terbangun. Salah satu
caranya adalah membiarkan anak menentukan pilihan barangnya sendiri.

Baca Juga :  Ganjar Bidani Undang-Undang Kewarganegaraan

Orang
tua bisa memberikan beberapa pilihan yang disesuaikan dengan kantong. Kemudian,
minta anak memilih tanpa melihat harganya. Ketika anak sudah menjatuhkan
pilihan, apresiasi dengan memberikan pujian. ”Dari situ, kepercayaan dirinya
tumbuh. Sehingga kelak dia lebih siap mental menghadapi lingkungan pertemanan
yang lebih luas,” terang dia.
(adn/c11/nda)

==

Belajar Rendah Hati

(MINTA ILUSTRASI ANAK-ANAK)

         
Bersyukur

Tidak terus melihat ke atas dan coba melihat ke
bawah. Salah satunya dengan berkunjung ke panti asuhan. ’’Melihat bahwa apa
yang kita punya itu adalah porsi cukup,’’ kata Irma.

         
Kritis

Jika teman-temanmu ternyata memiliki barang
yang bermerek dan mahal, mari kritis. Misalnya, bertanya kepada teman apa yang
membuat barang itu mahal. Jika temanmu tahu perbedaan barang asli dan KW. Kamu
jadi mengetahui latar belakang benda yang diinginkannya.

         
Asah Kreativitas

Mainan yang asyik tidak harus dibeli. Misalnya,
dengan membuat dulu. Kalaupun ingin membeli, masukkan usaha untuk
mengkreatifkan mainan itu. Contohnya, menggambar karakter mainan yang ingin
dibeli.

         
Menabung

Menabung bisa jadi salah satu usahamu untuk
mendapatkan apa yang diinginkan. Orang tua mengatakan menabung tidak bertujuan
membeli mainan, melainkan untuk masa depan. ’’Kalau kebutuhannya sekarang main,
boleh nabung pelan-pelan. Tapi, uang tabungan jangan dihabiskan semua,’’
ujarnya. Beberapa orang tua bahkan mengajari anak berbisnis sejak dini untuk
melatih kemandirian.

Terpopuler

Artikel Terbaru