33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Jokowi Tolak Terbitkan Perppu KPK

Pembahasan
rancangan undang-undang (RUU) di akhir masa jabatan DPR 2014–2019 berlangsung
dinamis. Mulus mengegolkan UU KPK, langkah pemerintah dan DPR tersendat untuk
mengesahkan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kencangnya suara
penolakan bahkan membuat pemerintah menunda pengesahan empat RUU, termasuk RUU
KUHP.

Kemarin (23/9)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta penundaan pengesahan empat RUU. Menyusul
RUU KUHP, tiga lainnya adalah RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU
Minerba. Sikap tersebut disampaikan langsung saat bertemu dengan pimpinan DPR
di Istana Kepresidenan Jakarta.

”Rancangan UU
tersebut saya sampaikan agar sebaiknya masuk ke nanti, DPR RI berikutnya,” ujar
presiden.

Jokowi
menuturkan, penundaan diperlukan untuk memaksimalkan kualitas UU itu. Termasuk
membuka partisipasi masyarakat. ”Untuk mendapatkan masukan, mendapatkan
substansi yang lebih baik dari masyarakat,” imbuhnya.

Namun, sikap
pemerintah yang melunak terkait polemik RUU-RUU tersebut tidak berlaku pada UU
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belum lama disahkan. Meskipun regulasi
itu juga mendapat penolakan keras dari masyarakat.

Mantan wali
kota Solo tersebut menegaskan bahwa sikap pemerintah sudah final. Pihaknya
tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

”Enggak ada,”
tandasnya.

Jokowi
berdalih, UU KPK merupakan inisiatif DPR. Itu berbeda dengan RUU KUHP, RUU
Pertanahan, dan RUU Pemasyarakatan yang menjadi inisiatif pemerintah.

Sementara itu,
DPR belum mengamini permintaan presiden terkait penundaan empat RUU tersebut.
Hingga kemarin para legislator masih mengintip peluang melakukan pengesahan,
terutama RUU KUHP, sebelum masa jabatan DPR periode 2014–2019 berakhir pada 30
September 2019.

Ketua Panja RUU
KUHP Mulfachri Harahap seusai pertemuan tertutup antara pimpinan DPR dan
presiden mengatakan, pengesahan memang tidak dilakukan pada rapat paripurna
hari ini (24/9). Namun, sebut dia, masih ada tiga rapat paripurna hingga akhir
masa jabatan. Sepanjang 23 sampai 30 September 2019, kata Mulfachri, masih ada
forum lobi pemerintah dengan DPR. ”Nanti kami lihat seberapa jauh forum lobi
itu menghasilkan sesuatu yang baik untuk kita semua,” ujarnya.

Baca Juga :  PENGUMUMAN! Penyelenggaraan Ibadah Haji 2021 Dibatalkan

Selain progres
di forum lobi, pihaknya akan memonitor kondisi yang terjadi di masyarakat. Sebagaimana
diketahui, desakan menolak pengesahan RUU KUHP yang penuh dengan pasal-pasal
bermasalah berlangsung di berbagai daerah.

Seberapa jauh
peluang RUU KUHP disahkan DPR periode sekarang? Mulfachri menyebut bergantung
pada forum lobi. Yang pasti, masih ada waktu hingga 30 September.

”Kami bakal
putuskan nasib RUU KUHP akan seperti apa,” kata politikus Partai Amanat
Nasional (PAN) tersebut.

Ketua DPR
Bambang Soesatyo mengungkapkan, ada beberapa hal yang dibicarakan dalam
pertemuan tertutup antara DPR dan presiden. Khususnya yang terkait dengan 14
pasal krusial dalam RUU KUHP. Salah satunya delik asusila. Mulai pasal kumpul
kebo atau perzinaan. Hubungan persetubuhan di luar ikatan perkawinan tersebut
bisa dipidana.

Nah, norma itu
ramai menuai protes dari luar negeri seperti Australia atau negara-negara
Eropa. ”Di Bali misalnya. Banyak turis asing di sana yang tidak menunjukkan
status perkawinannya. Khawatir ada kriminalisasi yang berdampak pada dunia
pariwisata,” jelas Bambang.

Pasal
penghinaan terhadap presiden juga dipersoalkan. Menurut Bamsoet, sapaan Bambang
Soesatyo, Presiden Jokowi tidak berkeberatan apabila pasal tersebut
dihilangkan. Termasuk yang disinggung soal pasal santet. ”Intinya, pasal-pasal
itu kami perdalam,” ujarnya.

Bamsoet tetap
berharap RUU KUHP bisa disahkan dalam periode DPR sekarang. Selain hari ini,
masih tersisa dua kali rapat paripurna: 26 dan 30 September. ”Masih ada waktu
untuk duduk bersama,” tuturnya.

Segala
kemungkinan, menurut politikus Partai Golkar tersebut, masih bisa terjadi.
Sebab, masih ada ruang bagi DPR untuk terus berkomunikasi dengan pemerintah.
Namun, keputusan final sangat bergantung pada dinamika di internal DPR maupun
publik. Apalagi, saat ini mulai merebak demonstrasi mahasiswa dengan eskalasi
meluas. ”Saya sebagai pimpinan berupaya melakukan harmonisasi dan selaraskan
antara keinginan presiden, DPR, dan dinamika lapangan,” ucapnya.

Baca Juga :  Kerusuhan Pecah di Calon Ibu Kota Baru

Di bagian lain,
pakar hukum perburuhan, HAM, dan jaminan sosial Surya Tjandra menyatakan, isi
RUU KUHP tidak seluruhnya buruk. Namun, dia mengkritisi langkah DPR yang
terlalu bernafsu untuk segera mengesahkan RUU KUHP. ”DPR periode ini sebetulnya
ingin menunjukkan prestasinya. Tetapi, dengan waktu yang mepet, mengorbankan
konten,” kata Surya kemarin.

Dalam
catatannya, sedikitnya ada dua persoalan krusial dalam RUU KUHP. Pertama, soal
dihidupkannya pidana adat dalam pasal 2. Padahal, pasal-pasal tersebut bisa
menimbulkan ketidakpastian hukum. Setiap daerah memiliki hukum adat yang
berbeda.

Di daerah
Lebak, Banten, misalnya, ungkap Surya, terdapat lebih dari 400 hukum adat.
Jenis hukumnya juga selalu berubah-ubah. ”Jadi, mana yang harus kita ikuti?
Padahal, asas hukum adalah kepastian,” ucapnya.

Persoalan kedua
terkait dengan pidana korporasi. Hidupnya pasal pidana korporasi dalam RUU KUHP
dinilai menghambat investasi dan mengganggu dunia usaha. Akibatnya, investor
berpikir berkali-kali untuk melabuhkan investasi di suatu daerah.

”Malah ini
menimbulkan ketidakpastian dalam dunia usaha. Dunia usaha juga takut
dikriminalisasi,” papar Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya itu. Pasal
tersebut dinilai bertentangan dengan cita-cita pemerintahan Jokowi untuk
memudahkan investasi masuk.

Sedikitnya ada
empat pasal yang bersinggungan dengan pidana korporasi, yaitu pasal 48, 50,
518, dan 519. Bahkan, pasal 519 dinilai sangat karet. Tidak disebutkan definisi
atau unsur yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan ”kerugian kreditor”.

Menjual aset di
bawah harga pasar juga bisa terancam pidana. Padahal, dalam dunia usaha, business
judgment
 harus dilakukan bergantung situasi pasar yang
berkembang.(jpg)

 

Pembahasan
rancangan undang-undang (RUU) di akhir masa jabatan DPR 2014–2019 berlangsung
dinamis. Mulus mengegolkan UU KPK, langkah pemerintah dan DPR tersendat untuk
mengesahkan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kencangnya suara
penolakan bahkan membuat pemerintah menunda pengesahan empat RUU, termasuk RUU
KUHP.

Kemarin (23/9)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta penundaan pengesahan empat RUU. Menyusul
RUU KUHP, tiga lainnya adalah RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU
Minerba. Sikap tersebut disampaikan langsung saat bertemu dengan pimpinan DPR
di Istana Kepresidenan Jakarta.

”Rancangan UU
tersebut saya sampaikan agar sebaiknya masuk ke nanti, DPR RI berikutnya,” ujar
presiden.

Jokowi
menuturkan, penundaan diperlukan untuk memaksimalkan kualitas UU itu. Termasuk
membuka partisipasi masyarakat. ”Untuk mendapatkan masukan, mendapatkan
substansi yang lebih baik dari masyarakat,” imbuhnya.

Namun, sikap
pemerintah yang melunak terkait polemik RUU-RUU tersebut tidak berlaku pada UU
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belum lama disahkan. Meskipun regulasi
itu juga mendapat penolakan keras dari masyarakat.

Mantan wali
kota Solo tersebut menegaskan bahwa sikap pemerintah sudah final. Pihaknya
tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

”Enggak ada,”
tandasnya.

Jokowi
berdalih, UU KPK merupakan inisiatif DPR. Itu berbeda dengan RUU KUHP, RUU
Pertanahan, dan RUU Pemasyarakatan yang menjadi inisiatif pemerintah.

Sementara itu,
DPR belum mengamini permintaan presiden terkait penundaan empat RUU tersebut.
Hingga kemarin para legislator masih mengintip peluang melakukan pengesahan,
terutama RUU KUHP, sebelum masa jabatan DPR periode 2014–2019 berakhir pada 30
September 2019.

Ketua Panja RUU
KUHP Mulfachri Harahap seusai pertemuan tertutup antara pimpinan DPR dan
presiden mengatakan, pengesahan memang tidak dilakukan pada rapat paripurna
hari ini (24/9). Namun, sebut dia, masih ada tiga rapat paripurna hingga akhir
masa jabatan. Sepanjang 23 sampai 30 September 2019, kata Mulfachri, masih ada
forum lobi pemerintah dengan DPR. ”Nanti kami lihat seberapa jauh forum lobi
itu menghasilkan sesuatu yang baik untuk kita semua,” ujarnya.

Baca Juga :  PENGUMUMAN! Penyelenggaraan Ibadah Haji 2021 Dibatalkan

Selain progres
di forum lobi, pihaknya akan memonitor kondisi yang terjadi di masyarakat. Sebagaimana
diketahui, desakan menolak pengesahan RUU KUHP yang penuh dengan pasal-pasal
bermasalah berlangsung di berbagai daerah.

Seberapa jauh
peluang RUU KUHP disahkan DPR periode sekarang? Mulfachri menyebut bergantung
pada forum lobi. Yang pasti, masih ada waktu hingga 30 September.

”Kami bakal
putuskan nasib RUU KUHP akan seperti apa,” kata politikus Partai Amanat
Nasional (PAN) tersebut.

Ketua DPR
Bambang Soesatyo mengungkapkan, ada beberapa hal yang dibicarakan dalam
pertemuan tertutup antara DPR dan presiden. Khususnya yang terkait dengan 14
pasal krusial dalam RUU KUHP. Salah satunya delik asusila. Mulai pasal kumpul
kebo atau perzinaan. Hubungan persetubuhan di luar ikatan perkawinan tersebut
bisa dipidana.

Nah, norma itu
ramai menuai protes dari luar negeri seperti Australia atau negara-negara
Eropa. ”Di Bali misalnya. Banyak turis asing di sana yang tidak menunjukkan
status perkawinannya. Khawatir ada kriminalisasi yang berdampak pada dunia
pariwisata,” jelas Bambang.

Pasal
penghinaan terhadap presiden juga dipersoalkan. Menurut Bamsoet, sapaan Bambang
Soesatyo, Presiden Jokowi tidak berkeberatan apabila pasal tersebut
dihilangkan. Termasuk yang disinggung soal pasal santet. ”Intinya, pasal-pasal
itu kami perdalam,” ujarnya.

Bamsoet tetap
berharap RUU KUHP bisa disahkan dalam periode DPR sekarang. Selain hari ini,
masih tersisa dua kali rapat paripurna: 26 dan 30 September. ”Masih ada waktu
untuk duduk bersama,” tuturnya.

Segala
kemungkinan, menurut politikus Partai Golkar tersebut, masih bisa terjadi.
Sebab, masih ada ruang bagi DPR untuk terus berkomunikasi dengan pemerintah.
Namun, keputusan final sangat bergantung pada dinamika di internal DPR maupun
publik. Apalagi, saat ini mulai merebak demonstrasi mahasiswa dengan eskalasi
meluas. ”Saya sebagai pimpinan berupaya melakukan harmonisasi dan selaraskan
antara keinginan presiden, DPR, dan dinamika lapangan,” ucapnya.

Baca Juga :  Kerusuhan Pecah di Calon Ibu Kota Baru

Di bagian lain,
pakar hukum perburuhan, HAM, dan jaminan sosial Surya Tjandra menyatakan, isi
RUU KUHP tidak seluruhnya buruk. Namun, dia mengkritisi langkah DPR yang
terlalu bernafsu untuk segera mengesahkan RUU KUHP. ”DPR periode ini sebetulnya
ingin menunjukkan prestasinya. Tetapi, dengan waktu yang mepet, mengorbankan
konten,” kata Surya kemarin.

Dalam
catatannya, sedikitnya ada dua persoalan krusial dalam RUU KUHP. Pertama, soal
dihidupkannya pidana adat dalam pasal 2. Padahal, pasal-pasal tersebut bisa
menimbulkan ketidakpastian hukum. Setiap daerah memiliki hukum adat yang
berbeda.

Di daerah
Lebak, Banten, misalnya, ungkap Surya, terdapat lebih dari 400 hukum adat.
Jenis hukumnya juga selalu berubah-ubah. ”Jadi, mana yang harus kita ikuti?
Padahal, asas hukum adalah kepastian,” ucapnya.

Persoalan kedua
terkait dengan pidana korporasi. Hidupnya pasal pidana korporasi dalam RUU KUHP
dinilai menghambat investasi dan mengganggu dunia usaha. Akibatnya, investor
berpikir berkali-kali untuk melabuhkan investasi di suatu daerah.

”Malah ini
menimbulkan ketidakpastian dalam dunia usaha. Dunia usaha juga takut
dikriminalisasi,” papar Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya itu. Pasal
tersebut dinilai bertentangan dengan cita-cita pemerintahan Jokowi untuk
memudahkan investasi masuk.

Sedikitnya ada
empat pasal yang bersinggungan dengan pidana korporasi, yaitu pasal 48, 50,
518, dan 519. Bahkan, pasal 519 dinilai sangat karet. Tidak disebutkan definisi
atau unsur yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan ”kerugian kreditor”.

Menjual aset di
bawah harga pasar juga bisa terancam pidana. Padahal, dalam dunia usaha, business
judgment
 harus dilakukan bergantung situasi pasar yang
berkembang.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru