28.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Pembahasan RUU Omnibus Law Diperkirakan Bakal Tertunda

JAKARTA – Langkah antisipasi penyebaran virus corona diambil DPR
RI. Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar mengatakan telah mengeluarkan
kebijakan kepada pegawai di lingkungan Kesekjenan dan Badan Keahlian DPR RI
menerapkan Bekerja dari Rumah atau (WFH). Sejumlah agenda penting DPR
diperkirakan juga akan ditunda. Salah satunya soal pembahasan Omnibus Law.

Menurutnya, langkah tersebut
diinstruksikan pimpinan DPR untuk mengikuti perkembangan secara aktual tentang
merebaknya COVID-19. Dalam satu pekan ke depan, semua aktivitas pelayanan
publik dan kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan pelayanan publik,
dilakukan dari rumah.

Untuk pegawai yang WFH diutamakan
berusia di atas 50 tahun dan pejabat eselon 4. Tapi, pihaknya melakukan sistem
piket di masing-masing unit. Karena mulai Selasa (17/3) hingga Jumat (20/3)
akan dilakukan penyemprotan disinfektan.

Indra mengatakan, unit
kepegawaian yang harus siaga di Kompleks Parlemen seperti dokter, bagian
administrasi keuangan dan pengamanan gedung parlemen. “Petugas pengamanan
gedung parlemen tetap bekerja seperti biasa untuk mengamankan Kompleks
Parlemen,” kata Indra di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/3).

Kesekjenan DPR bersama MPR dan
DPD RI telah sepakat untuk melakukan penyemprotan cairan disinfektan di seluruh
ruang publik di dalam Kompleks Parlemen hingga lima hari ke depan. Indra
mengatakan, Kesekjenan DPR juga akan memperbanyak titik-titik yang menyediakan alat
pembersih tangan atau hand sanitizer untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Baca Juga :  Kemendikbud Targetkan 359 Desa Jadi Pengembang Budaya Lokal

Sementara itu, anggota Komisi IX
DPR RI Netty Prasetiyani menanggapi pembentukan gugus tugas percepatan
penanganan Covid-19 oleh presiden sebagai langkah tepat, meski agak terlambat.
“Gugus tugas harus bekerja progressif, fokus, memiliki indikator kerja dan time
line yang jelas. Harus langsung kerja. Kangan sampai terjebak pada urusan
administrasi atau birokrasi,” katanya.

Menurut Netty, sejak awal dia
sudah mendesak pemerintah melalui Kemenkes RI untuk tidak lamban dalam
penanganan. “Saya menilai terlambat. Implikasinya sudah kemana-mana. Kepanikan
menyebar di masyarakat sampai pada panic buying akibat kurangnya informasi yang
tepat. Rumor dan hoax bertebaran. Bahkan muncul pemain masker yang mengambil
kesempatan dengan mencari keuntungan pribadi. Mengapa WHO sampai secara khusus
menyurati Indonesia agar menerapkan darurat nasional,” sesalnya.

Netty meminta transparansi dari
pemerintah tentang daerah sebaran COVID-19 agar masyarakat dapat berpartisipasi
dalam melakukan antisipasi. “Petakan dengan jelas dan informasikan pada
masyarakat agar tidak terjadi kepanikan. Daerah yang menjadi entry point warga
negara asing seperti Kuala Namu, Menado, Bali, dan daerah lainnya, harus
mendapat perhatian khusus. Jika diprediksi makin meningkat, kondisi ini dapat
dijadikan dasar untuk dilakukan lockdown sebagai langkah pencegahan penyebaran
lebih luas,” paparnya.

Terkait penanganan orang dalam
pemantauan (ODP) dan pasien dengan pengawasan (PDP), Netty agak menyesalkan
bahwa proses pengetesan spesimen pada PDP masih harus dilakukan di
Balitbangkes, Jakarta. “Bagaimana keamanannya selama dibawa. Apakah Kemenkes
tidak mampu menyiapkan laboratorium di setiap kota-kota besar?,” tanya Netty. Dia
berharap gerakan pencegahan tangkal Covid-19 harus melibatkan masyarakat secara
masif.

Baca Juga :  Sudahlah, Jangan Tanya Lagi Kapan Pandemi Covid-19 Berakhir

Terpisah, Wakil Ketua DPR Sufmi
Dasco Ahmad mengatakan tidak menutup kemungkinan akan dilakukan penundaan
pembahasan RUU skema Omnibus Law. “Karena pembahasan dari RUU Omnibus Law ini
akan melibatkan banyak pihak dari berbagai unsur masyarakat. Sehingga sangat
rentan terjadi penularan COVID-19 atau hal-hal lain yang tidak diinginkan,”
ujar Dasco di Jakarta, Senin (16/3).

Menurutnya, setelah masa reses
berakhir pada 23 Maret 2020, DPR RI dipastikan akan membahas RUU Omnibus Law.
Namun belum ditentukan dibahas secara tatap muka atau virtual. Dia menjelaskan
dalam tata laksana pembahasan RUU, ketika pemerintah menyerahkan draf RUU maka
pimpinan DPR akan membahasnya dalam rapat pimpinan.

Draf RUU tersebut dibawa ke Badan
Musyawarah (Bamus) dan tahap selanjutnya adalah Rapat Paripurna digelar untuk
mengumumkam RUU tersebut. “Lalu DPR menunjuk komisi yang bertugas membahas draf
RUU itu bersama perwakilan pemerintah. Namun, karena situasinya saat ini tidak
memungkinkan, ada kemungkinan pembahasan juga ditunda,” paparnya.

JAKARTA – Langkah antisipasi penyebaran virus corona diambil DPR
RI. Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar mengatakan telah mengeluarkan
kebijakan kepada pegawai di lingkungan Kesekjenan dan Badan Keahlian DPR RI
menerapkan Bekerja dari Rumah atau (WFH). Sejumlah agenda penting DPR
diperkirakan juga akan ditunda. Salah satunya soal pembahasan Omnibus Law.

Menurutnya, langkah tersebut
diinstruksikan pimpinan DPR untuk mengikuti perkembangan secara aktual tentang
merebaknya COVID-19. Dalam satu pekan ke depan, semua aktivitas pelayanan
publik dan kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan pelayanan publik,
dilakukan dari rumah.

Untuk pegawai yang WFH diutamakan
berusia di atas 50 tahun dan pejabat eselon 4. Tapi, pihaknya melakukan sistem
piket di masing-masing unit. Karena mulai Selasa (17/3) hingga Jumat (20/3)
akan dilakukan penyemprotan disinfektan.

Indra mengatakan, unit
kepegawaian yang harus siaga di Kompleks Parlemen seperti dokter, bagian
administrasi keuangan dan pengamanan gedung parlemen. “Petugas pengamanan
gedung parlemen tetap bekerja seperti biasa untuk mengamankan Kompleks
Parlemen,” kata Indra di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/3).

Kesekjenan DPR bersama MPR dan
DPD RI telah sepakat untuk melakukan penyemprotan cairan disinfektan di seluruh
ruang publik di dalam Kompleks Parlemen hingga lima hari ke depan. Indra
mengatakan, Kesekjenan DPR juga akan memperbanyak titik-titik yang menyediakan alat
pembersih tangan atau hand sanitizer untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Baca Juga :  Kemendikbud Targetkan 359 Desa Jadi Pengembang Budaya Lokal

Sementara itu, anggota Komisi IX
DPR RI Netty Prasetiyani menanggapi pembentukan gugus tugas percepatan
penanganan Covid-19 oleh presiden sebagai langkah tepat, meski agak terlambat.
“Gugus tugas harus bekerja progressif, fokus, memiliki indikator kerja dan time
line yang jelas. Harus langsung kerja. Kangan sampai terjebak pada urusan
administrasi atau birokrasi,” katanya.

Menurut Netty, sejak awal dia
sudah mendesak pemerintah melalui Kemenkes RI untuk tidak lamban dalam
penanganan. “Saya menilai terlambat. Implikasinya sudah kemana-mana. Kepanikan
menyebar di masyarakat sampai pada panic buying akibat kurangnya informasi yang
tepat. Rumor dan hoax bertebaran. Bahkan muncul pemain masker yang mengambil
kesempatan dengan mencari keuntungan pribadi. Mengapa WHO sampai secara khusus
menyurati Indonesia agar menerapkan darurat nasional,” sesalnya.

Netty meminta transparansi dari
pemerintah tentang daerah sebaran COVID-19 agar masyarakat dapat berpartisipasi
dalam melakukan antisipasi. “Petakan dengan jelas dan informasikan pada
masyarakat agar tidak terjadi kepanikan. Daerah yang menjadi entry point warga
negara asing seperti Kuala Namu, Menado, Bali, dan daerah lainnya, harus
mendapat perhatian khusus. Jika diprediksi makin meningkat, kondisi ini dapat
dijadikan dasar untuk dilakukan lockdown sebagai langkah pencegahan penyebaran
lebih luas,” paparnya.

Terkait penanganan orang dalam
pemantauan (ODP) dan pasien dengan pengawasan (PDP), Netty agak menyesalkan
bahwa proses pengetesan spesimen pada PDP masih harus dilakukan di
Balitbangkes, Jakarta. “Bagaimana keamanannya selama dibawa. Apakah Kemenkes
tidak mampu menyiapkan laboratorium di setiap kota-kota besar?,” tanya Netty. Dia
berharap gerakan pencegahan tangkal Covid-19 harus melibatkan masyarakat secara
masif.

Baca Juga :  Sudahlah, Jangan Tanya Lagi Kapan Pandemi Covid-19 Berakhir

Terpisah, Wakil Ketua DPR Sufmi
Dasco Ahmad mengatakan tidak menutup kemungkinan akan dilakukan penundaan
pembahasan RUU skema Omnibus Law. “Karena pembahasan dari RUU Omnibus Law ini
akan melibatkan banyak pihak dari berbagai unsur masyarakat. Sehingga sangat
rentan terjadi penularan COVID-19 atau hal-hal lain yang tidak diinginkan,”
ujar Dasco di Jakarta, Senin (16/3).

Menurutnya, setelah masa reses
berakhir pada 23 Maret 2020, DPR RI dipastikan akan membahas RUU Omnibus Law.
Namun belum ditentukan dibahas secara tatap muka atau virtual. Dia menjelaskan
dalam tata laksana pembahasan RUU, ketika pemerintah menyerahkan draf RUU maka
pimpinan DPR akan membahasnya dalam rapat pimpinan.

Draf RUU tersebut dibawa ke Badan
Musyawarah (Bamus) dan tahap selanjutnya adalah Rapat Paripurna digelar untuk
mengumumkam RUU tersebut. “Lalu DPR menunjuk komisi yang bertugas membahas draf
RUU itu bersama perwakilan pemerintah. Namun, karena situasinya saat ini tidak
memungkinkan, ada kemungkinan pembahasan juga ditunda,” paparnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru