27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Pemerintah Akan Ambil Alih Lahan Konsensi Terlantar

JAKARTA – Pemerintah mengisyaratkan untuk segera mengambil alih
sebagian tanah konsensi yang terlantar atau tidak dimanfaatkan di sejumlah
provinsi. Sinyal itu disampaikan Presiden Joko Widodo, saat meninjau peternakan
di Desa Parsingguran, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera
Utara, Rabu (31/7).

Beberapa lahan yang kini masih
dimiliki taipan dan kurang bermanfaat untuk rakyat seperti di Kalimantan Timur.
Total sebesar 220 ribu hektare, termasuk di Aceh Tengah yang jumlahnya menembus
120 ribu hektare. Dan yang menarik, mayoritas tanah-tanah tersebut, belum
pernah mendapatkan izin HGU dalam jumlah besar oleh pemerintah di era Jokowi.

Hal ini karena sektor perkebunan,
terutama komoditas kelapa sawit masih menjadi salah satu andalan pemerintah dalam
penerimaan kas negara. Kontribusi industri sawit memang cukup signifikan bagi
neraca perdagangan Indonesia. Di tahun 2018, sektor ini menyumbang USS$35
miliar.

Bahkan pemerintah Jokowi sendiri
yang berupaya keras supaya industri kelapa sawit yang notabene menghabiskan
jutaan hektare lahan bisa terus bertahan di tengah ancaman jatuhnya harga
minyak sawit.

“Contoh saja di sini (sekitar
kawasan wisata Danau Toba, red). Baru tersedia lahan 100 ha di tahun 2016.
Padahal budidaya bawang putih organik, cabai cukup potensial. Ini saya kira,
hanya tanahnya kurang karena memang masih dikuasai oleh konsesi. Nah, ini nanti
yang mau saya ambil,” paparanya.

Tanah konsesi tersebut nantinya
diserahkan ke pemerintah daerah. “Nah nanti kita serahkan ke Bupati, Gubernur
untuk dibesarkan. Karena juga untuk perawatan juga sudah kita komplitin itu,
mau traktor, mau eskavator, tadi itu dari Menteri Pertanian sudah kita
berikan,” ungkapnya.

Baca Juga :  16 Jenderal TNI AD Naik Pangkat, Ini Daftarnya

Saat ditanya wartawan berapa
hektare tanah konsensi yang akan diambil alih, Menko Kemaritiman Luhut B.
Panjaitan yang menyertai Presiden Jokowi dalam kunjungan tersebut menjawab
Totalnya 148 hektare. “Ya, 148 ribu hektare. Nanti kita ambil sebagian untuk
kawasan wisata, dihijaukan kembali, sebagian untuk pertanian ya,” sambungnya.

Pemerintah, lanjut dia, tetap
memberikan subsidi triliunan rupiah pada sejumlah perusahaan sawit berskala
besar sebagai timbal balik atas penjualan minyak kelapa sawit untuk campuran
solar alias biodiesel. Ini melalui Peraturan Presiden nomor 24 tahun 2016,
tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang
ditandatangani Presiden Jokowi.

Pemerintah memberikan subsidi
pada 11 perusahaan sawit. Parahnya, menurut kajian KPK subsidi ini salah
sasaran karena 81% subsidi itu hanya dinikmati oleh tiga grup usaha perkebunan
dengan nilai Rp3,25 triliun dari alokasi dana subsidi. Subsidi terbesar
diterima oleh PT. Wilmar Nabati Indonesia, yakni RP1,02 triliun atau 31%.

Pengangamat hukum Yusdiyanto Alam
mengatakan, dari data yang ada besarnya kontribusi komoditas sawit, serta
perlakuan istimewa pemerintah pada industri sawit berskala besar. “Aneh rasanya
apabila kemudian Jokowi mengatakan pemerintahannya tidak mungkin dan tidak akan
lagi menerbitkan izin HGU dalam jumlah besar,” paparnya.

Perlu diketahui, sambung
Yusdiyanto, izin HGU atau kepemilikan konsesi lahan ada batas waktunya. Merujuk
pasal 28 UU nomor 5 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), PP nomor 40 tahun 1996
dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
nomor 7 tahun 2017 tentang pengaturan dan Tata Cara penetapan HGU.

Baca Juga :  Soal Fatwa Halal Vaksin Covid-19 China, Begini Kata MUI

Pada posisi ini, WNI dan Badan
Hukum yang berkedudukan di Indonesia boleh mengajukan HGU minimal 5 hektare.
Bila pengajuan permohonan HGU di atas 25 hektare, perorangan dan badan usaha
wajib mengajukan model bisnis pengelolaan lahan kepada Kementerian ATR/BPN
dengan waktu kontrak hingga 35 tahun dan dapat diperpanjang.

Pemegang HGU bisa dicabut hak
atau izin konsesinya apabila terbukti menelantarkan pengelolaan lahan. Bila hak
pengelolaan dicabut, lahan tersebut akan dikembalikan pada negara yang bisa
dimanfaatkan untuk beberapa kepentingan, seperti redistribusi tanah kepada
rakyat maupun tanah cadangan negara untuk fasilitas strategis negara.

“Karena ada batas waktu
pengelolaan lahan itu pula, sangat naif bila kemudian Jokowi menjanjikan tidak
akan mungkin terjadi pemberian izin HGU seluas ribuan hektare. Apakah Jokowi
berani melontarkan pernyataan tak akan memperpanjang izin HGU bagi perusahaan
manapun, termasuk grup-grup industri sawit,” tandasnya.

Dosen Fakultas Hukum dan Tata
Negara Universitas Lampung itu menambahkan, masyarakat memang tidak tahu sampai
kapan izin HGU dari perusahaan-perusahaan sawit berskala besar itu habis. “Bisa
saja seandainya Jokowi terpilih menjadi presiden, ijin HGU dari perusahaan perkebunan
skala besar diperpanjang dengan alasan kontribusi komoditas mereka signifikan
bagi penerimaan kas negara,” pungkasnya. (ful/fin/kpc)

JAKARTA – Pemerintah mengisyaratkan untuk segera mengambil alih
sebagian tanah konsensi yang terlantar atau tidak dimanfaatkan di sejumlah
provinsi. Sinyal itu disampaikan Presiden Joko Widodo, saat meninjau peternakan
di Desa Parsingguran, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera
Utara, Rabu (31/7).

Beberapa lahan yang kini masih
dimiliki taipan dan kurang bermanfaat untuk rakyat seperti di Kalimantan Timur.
Total sebesar 220 ribu hektare, termasuk di Aceh Tengah yang jumlahnya menembus
120 ribu hektare. Dan yang menarik, mayoritas tanah-tanah tersebut, belum
pernah mendapatkan izin HGU dalam jumlah besar oleh pemerintah di era Jokowi.

Hal ini karena sektor perkebunan,
terutama komoditas kelapa sawit masih menjadi salah satu andalan pemerintah dalam
penerimaan kas negara. Kontribusi industri sawit memang cukup signifikan bagi
neraca perdagangan Indonesia. Di tahun 2018, sektor ini menyumbang USS$35
miliar.

Bahkan pemerintah Jokowi sendiri
yang berupaya keras supaya industri kelapa sawit yang notabene menghabiskan
jutaan hektare lahan bisa terus bertahan di tengah ancaman jatuhnya harga
minyak sawit.

“Contoh saja di sini (sekitar
kawasan wisata Danau Toba, red). Baru tersedia lahan 100 ha di tahun 2016.
Padahal budidaya bawang putih organik, cabai cukup potensial. Ini saya kira,
hanya tanahnya kurang karena memang masih dikuasai oleh konsesi. Nah, ini nanti
yang mau saya ambil,” paparanya.

Tanah konsesi tersebut nantinya
diserahkan ke pemerintah daerah. “Nah nanti kita serahkan ke Bupati, Gubernur
untuk dibesarkan. Karena juga untuk perawatan juga sudah kita komplitin itu,
mau traktor, mau eskavator, tadi itu dari Menteri Pertanian sudah kita
berikan,” ungkapnya.

Baca Juga :  16 Jenderal TNI AD Naik Pangkat, Ini Daftarnya

Saat ditanya wartawan berapa
hektare tanah konsensi yang akan diambil alih, Menko Kemaritiman Luhut B.
Panjaitan yang menyertai Presiden Jokowi dalam kunjungan tersebut menjawab
Totalnya 148 hektare. “Ya, 148 ribu hektare. Nanti kita ambil sebagian untuk
kawasan wisata, dihijaukan kembali, sebagian untuk pertanian ya,” sambungnya.

Pemerintah, lanjut dia, tetap
memberikan subsidi triliunan rupiah pada sejumlah perusahaan sawit berskala
besar sebagai timbal balik atas penjualan minyak kelapa sawit untuk campuran
solar alias biodiesel. Ini melalui Peraturan Presiden nomor 24 tahun 2016,
tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang
ditandatangani Presiden Jokowi.

Pemerintah memberikan subsidi
pada 11 perusahaan sawit. Parahnya, menurut kajian KPK subsidi ini salah
sasaran karena 81% subsidi itu hanya dinikmati oleh tiga grup usaha perkebunan
dengan nilai Rp3,25 triliun dari alokasi dana subsidi. Subsidi terbesar
diterima oleh PT. Wilmar Nabati Indonesia, yakni RP1,02 triliun atau 31%.

Pengangamat hukum Yusdiyanto Alam
mengatakan, dari data yang ada besarnya kontribusi komoditas sawit, serta
perlakuan istimewa pemerintah pada industri sawit berskala besar. “Aneh rasanya
apabila kemudian Jokowi mengatakan pemerintahannya tidak mungkin dan tidak akan
lagi menerbitkan izin HGU dalam jumlah besar,” paparnya.

Perlu diketahui, sambung
Yusdiyanto, izin HGU atau kepemilikan konsesi lahan ada batas waktunya. Merujuk
pasal 28 UU nomor 5 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), PP nomor 40 tahun 1996
dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
nomor 7 tahun 2017 tentang pengaturan dan Tata Cara penetapan HGU.

Baca Juga :  Soal Fatwa Halal Vaksin Covid-19 China, Begini Kata MUI

Pada posisi ini, WNI dan Badan
Hukum yang berkedudukan di Indonesia boleh mengajukan HGU minimal 5 hektare.
Bila pengajuan permohonan HGU di atas 25 hektare, perorangan dan badan usaha
wajib mengajukan model bisnis pengelolaan lahan kepada Kementerian ATR/BPN
dengan waktu kontrak hingga 35 tahun dan dapat diperpanjang.

Pemegang HGU bisa dicabut hak
atau izin konsesinya apabila terbukti menelantarkan pengelolaan lahan. Bila hak
pengelolaan dicabut, lahan tersebut akan dikembalikan pada negara yang bisa
dimanfaatkan untuk beberapa kepentingan, seperti redistribusi tanah kepada
rakyat maupun tanah cadangan negara untuk fasilitas strategis negara.

“Karena ada batas waktu
pengelolaan lahan itu pula, sangat naif bila kemudian Jokowi menjanjikan tidak
akan mungkin terjadi pemberian izin HGU seluas ribuan hektare. Apakah Jokowi
berani melontarkan pernyataan tak akan memperpanjang izin HGU bagi perusahaan
manapun, termasuk grup-grup industri sawit,” tandasnya.

Dosen Fakultas Hukum dan Tata
Negara Universitas Lampung itu menambahkan, masyarakat memang tidak tahu sampai
kapan izin HGU dari perusahaan-perusahaan sawit berskala besar itu habis. “Bisa
saja seandainya Jokowi terpilih menjadi presiden, ijin HGU dari perusahaan perkebunan
skala besar diperpanjang dengan alasan kontribusi komoditas mereka signifikan
bagi penerimaan kas negara,” pungkasnya. (ful/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru