33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Diselimuti Kabut Asap, Pasrah?

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) semakin
menarik perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Kalimantan
Tengah adalah salah satu daerah di Indonesia yang cukup sering mengalami
kejadian kebakaran hutan. Dilansir dari Kalteng Pos (16/8/2019), data Pusdalops
terkait karhutla, bahwa luas lahan yang terbakar tahun 2015 adalah sebesar
14.383,4 Ha. Selanjutnya, Kalteng Pos (8/9/2019) menyebutkan hutan dan lahan
yang terbakar tahun 2019 seluas 6.141,45 Ha. Di mana sebagian besar karhutla
ini terjadi pada lahan gambut yang berpotensi menghasilkan kabut asap.

SiPongi (akses 23/9/2019) menyebutkan jumlah
titik panas Terra/Aqua (LAPAN) hingga Bulan September di Kalimantan Tengah
tersebar sebanyak 4.774 hotspot.
Tingginya angka hotspot mengindikasikan
sedang terjadi karhutla yang menghasilkan kabut asap. Saat kabut asap, Indeks
Standar Pencemaran Udara (ISPU) dapat menunjukan display tanda berbahaya (PM10
di atas 350). Berarti kualitas udara yang ada telah tercemar dan berkualitas
sangat buruk untuk dihirup. Jadi,  masyarakat
perlu menjaga kesehatannya dengan menggunakan masker dalam beraktivitas. Selain
itu, banyak pula warga yang akhirnya terserang penyakit ISPA akibat kualitas
udara yang sangat buruk ini serta tidak sedikit yang memerlukan tabung oksigen
untuk mendapatkan udara yang layak. Belum lagi gangguan visibilitas.
Pada efek jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatan
morbiditas pada penyakit kardiovaskular dan peradangan sistemik pada paru-paru.

            Selama
ini, kita mendengar bagaimana kerugian maskapai ketika penerbangan ditutup. Sektor
perdagangan dan hotel merugi akibat penurunan occupancy rate dan pembatalan kegiatan. Kerugian petani akibat
lahan perkebunannya terbakar. Atau biaya water
bombing
menggunakan helikopter?  Anak
sekolah yang diliburkan. Belum lagi, keanekaragaman hayati yang tak ternilai
harganya telah rusak dan terbakar. Deforestasi dan degradasi lahan. Lalu,
bagaimana kerugian yang dialami masyarakat sendiri akibat kabut asap ini? Apakah
biaya pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang dikeluarkan selama periode
kabut asap tidak dapat dianggap sebagai kerugian?

Baca Juga :  Menumbuhkan Rasa Nasionalisme Dari Dalam Diri

Kebakaran hutan dan lahan 2015 di Kalimantan
Tengah dapat dianggap yang paling hebat, jika dilihat dari perkembangan jumlah hotspot
karhutla berlangsung cukup lama, kurang lebih lima bulan. Puncak hotspot
terjadi di Bulan September.

Sebagai ilustrasi, jika kita bandingkan jumlah
pengeluaran kesehatan yang dikeluarkan masyarakat sebelum dan sesudah kejadian
asap tahun 2015, tentu ada perbedaan karena kita pasti kita mengeluarkan dana
lebih untuk pos kesehatan kita. Katakanlah
rata-rata perubahan pengeluaran
kesehatan rumah tangga pada daerah terdampak asap sebesar Rp45.000 per rumah
tangga per bulan. Jika dikalkulasikan untuk semua rumah tangga yang berada di Kalimantan
Tengah yang terdampak asap kebakaran hutan dan lahan maka didapat Rp29,1 M per
bulan. Maka, secara rata-rata dampak kabut asap terhadap pengeluaran kesehatan
rumah tangga selama periode kabut asap 2015 di Kalimantan Tengah mencapai hingga
Rp145,5 M.

Wow! Angka yang sangat fantastis dan
tidak kita sadari, bukan? Selama ini, kita cukup terbiasa dengan kejadian kabut
asap, kita tidak sadar bahwa kita pun menanggung kerugian, tidak hanya maskapai
penerbangan, pemilik hotel ataupun pemilik lahan perkebunan. Masyarakat juga
mengalami dampak yang signifikan dari kabut asap ini. Pembelian masker, tabung
oksigen, vitamin dan perawatan lainnya dianggap lumrah sebagai konsekuensi dari
kabut asap. Jika melihat angka yang besar tersebut, tidakkah kita tercengang?

Baca Juga :  H. Sugianto dan H. Agustiar Bantu 10.000 Sembako

Pendekatan ini cukup sederhana. Biaya
pengeluaran kesehatan per rumah tangga mungkin tidak seberapa, namun jika dikumulatifkan
untuk seluruh rumah tangga di satu provinsi dan bahkan di seluruh Indonesia
yang mengalami karhutla, jumlahnya tidak sedikit. Lalu, apakah kita ingin
dirugikan seperti ini lagi dan terus menerus?

Melihat bahaya dan besarnya biaya akibat
karhutla ini, sudah saatnya kita bergerak bersama melakukan kegiatan preventif.
Tidak melulu fokus pada penanggulangan pasca karhutla, bahkan menyalahkan musim
dan kekhasan sumber daya lahan gambut yang ada.

Sudah saatnya kita sadar dan peduli lingkungan,
mengedukasi sejak dini para pelajar, orang muda, pemilik lahan juga aparat
pemerintah hingga level terkecil. Serta menyosialisasikannya secara
berkelanjutan kepada seluruh lapisan masyarakat agar berpartisipasi aktif dalam
pencegahan dan pemadaman karhutla. Sudah saatnya pemerintah memberlakukan hukum
negara dan adat yang tegas bagi para pelaku agar jera. Sudah saatnya perusahaan
menggiatkan kegiatan pro CSR lingkungan. Dengan melakukan kegiatan preventif,
diharapkan karhutla dapat berkurang secara signifikan serta seluruh lapisan
masyarakat dapat membangun paradigma dan habitus baru dalam memanfaatkan alam
namun tetap menjaga kelestariannya.(*) Penulis adalah PNS/Kepala Seksi Neraca
Wilayah dan Analisis Statistik

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) semakin
menarik perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Kalimantan
Tengah adalah salah satu daerah di Indonesia yang cukup sering mengalami
kejadian kebakaran hutan. Dilansir dari Kalteng Pos (16/8/2019), data Pusdalops
terkait karhutla, bahwa luas lahan yang terbakar tahun 2015 adalah sebesar
14.383,4 Ha. Selanjutnya, Kalteng Pos (8/9/2019) menyebutkan hutan dan lahan
yang terbakar tahun 2019 seluas 6.141,45 Ha. Di mana sebagian besar karhutla
ini terjadi pada lahan gambut yang berpotensi menghasilkan kabut asap.

SiPongi (akses 23/9/2019) menyebutkan jumlah
titik panas Terra/Aqua (LAPAN) hingga Bulan September di Kalimantan Tengah
tersebar sebanyak 4.774 hotspot.
Tingginya angka hotspot mengindikasikan
sedang terjadi karhutla yang menghasilkan kabut asap. Saat kabut asap, Indeks
Standar Pencemaran Udara (ISPU) dapat menunjukan display tanda berbahaya (PM10
di atas 350). Berarti kualitas udara yang ada telah tercemar dan berkualitas
sangat buruk untuk dihirup. Jadi,  masyarakat
perlu menjaga kesehatannya dengan menggunakan masker dalam beraktivitas. Selain
itu, banyak pula warga yang akhirnya terserang penyakit ISPA akibat kualitas
udara yang sangat buruk ini serta tidak sedikit yang memerlukan tabung oksigen
untuk mendapatkan udara yang layak. Belum lagi gangguan visibilitas.
Pada efek jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatan
morbiditas pada penyakit kardiovaskular dan peradangan sistemik pada paru-paru.

            Selama
ini, kita mendengar bagaimana kerugian maskapai ketika penerbangan ditutup. Sektor
perdagangan dan hotel merugi akibat penurunan occupancy rate dan pembatalan kegiatan. Kerugian petani akibat
lahan perkebunannya terbakar. Atau biaya water
bombing
menggunakan helikopter?  Anak
sekolah yang diliburkan. Belum lagi, keanekaragaman hayati yang tak ternilai
harganya telah rusak dan terbakar. Deforestasi dan degradasi lahan. Lalu,
bagaimana kerugian yang dialami masyarakat sendiri akibat kabut asap ini? Apakah
biaya pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang dikeluarkan selama periode
kabut asap tidak dapat dianggap sebagai kerugian?

Baca Juga :  Menumbuhkan Rasa Nasionalisme Dari Dalam Diri

Kebakaran hutan dan lahan 2015 di Kalimantan
Tengah dapat dianggap yang paling hebat, jika dilihat dari perkembangan jumlah hotspot
karhutla berlangsung cukup lama, kurang lebih lima bulan. Puncak hotspot
terjadi di Bulan September.

Sebagai ilustrasi, jika kita bandingkan jumlah
pengeluaran kesehatan yang dikeluarkan masyarakat sebelum dan sesudah kejadian
asap tahun 2015, tentu ada perbedaan karena kita pasti kita mengeluarkan dana
lebih untuk pos kesehatan kita. Katakanlah
rata-rata perubahan pengeluaran
kesehatan rumah tangga pada daerah terdampak asap sebesar Rp45.000 per rumah
tangga per bulan. Jika dikalkulasikan untuk semua rumah tangga yang berada di Kalimantan
Tengah yang terdampak asap kebakaran hutan dan lahan maka didapat Rp29,1 M per
bulan. Maka, secara rata-rata dampak kabut asap terhadap pengeluaran kesehatan
rumah tangga selama periode kabut asap 2015 di Kalimantan Tengah mencapai hingga
Rp145,5 M.

Wow! Angka yang sangat fantastis dan
tidak kita sadari, bukan? Selama ini, kita cukup terbiasa dengan kejadian kabut
asap, kita tidak sadar bahwa kita pun menanggung kerugian, tidak hanya maskapai
penerbangan, pemilik hotel ataupun pemilik lahan perkebunan. Masyarakat juga
mengalami dampak yang signifikan dari kabut asap ini. Pembelian masker, tabung
oksigen, vitamin dan perawatan lainnya dianggap lumrah sebagai konsekuensi dari
kabut asap. Jika melihat angka yang besar tersebut, tidakkah kita tercengang?

Baca Juga :  H. Sugianto dan H. Agustiar Bantu 10.000 Sembako

Pendekatan ini cukup sederhana. Biaya
pengeluaran kesehatan per rumah tangga mungkin tidak seberapa, namun jika dikumulatifkan
untuk seluruh rumah tangga di satu provinsi dan bahkan di seluruh Indonesia
yang mengalami karhutla, jumlahnya tidak sedikit. Lalu, apakah kita ingin
dirugikan seperti ini lagi dan terus menerus?

Melihat bahaya dan besarnya biaya akibat
karhutla ini, sudah saatnya kita bergerak bersama melakukan kegiatan preventif.
Tidak melulu fokus pada penanggulangan pasca karhutla, bahkan menyalahkan musim
dan kekhasan sumber daya lahan gambut yang ada.

Sudah saatnya kita sadar dan peduli lingkungan,
mengedukasi sejak dini para pelajar, orang muda, pemilik lahan juga aparat
pemerintah hingga level terkecil. Serta menyosialisasikannya secara
berkelanjutan kepada seluruh lapisan masyarakat agar berpartisipasi aktif dalam
pencegahan dan pemadaman karhutla. Sudah saatnya pemerintah memberlakukan hukum
negara dan adat yang tegas bagi para pelaku agar jera. Sudah saatnya perusahaan
menggiatkan kegiatan pro CSR lingkungan. Dengan melakukan kegiatan preventif,
diharapkan karhutla dapat berkurang secara signifikan serta seluruh lapisan
masyarakat dapat membangun paradigma dan habitus baru dalam memanfaatkan alam
namun tetap menjaga kelestariannya.(*) Penulis adalah PNS/Kepala Seksi Neraca
Wilayah dan Analisis Statistik

Terpopuler

Artikel Terbaru