27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Kearifan Lokal Vs Hoaks

BUDAYA hanya bisa tumbuh karena memiliki ruh yang bernama kearifan
lokal. Kearifan lokal yang berkenaan dengan nilai-nilai keberagaman budaya atau
multikulturalisme dalam masyarakat perlu direvitalisasi untuk menangkal
disintegrasi bangsa.

Dalam tata kehidupan sosial
masyarakat kita yang multikultural, sikap sosial yang menyadari adanya
perbedaan dalam kebersamaan atau sebaliknya kebersamaan di tengah perbedaan
dijaga oleh nilai dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu Bhinneka Tunggal Ika.  Begitu
pula, batik warisan budaya leluhur dapat menampung segala perbedaan menjadi
satu kesatuan yang disimbolkan di atas sehelai kain.

Energi budaya sesungguhnya dapat
memperkuat ketahanan nasional. Kehadiran budaya sangat berpotensi menggulingkan
eksistensi dari hoaks dan disrupsi informasi. Hal ini hanya dapat dicapai
dengan menciptakan harmoni dan solidaritas yang berlandaskan kebersamaan dan
persaudaraan demi terciptanya keamanan dan ketenteraman. Hoaks dan disrupsi
informasi yang terus berkecamuk menimbulkan ketakutan, keresahan dan mengganggu
ketenteraman masyarakat. Tensi sosial ini dapat berujung pada porak-porandanya
stabilitas keamanan dan ketertiban umum.

Setiap suku bangsa memiliki
budaya yang unik dan pedoman hidup menurut kepercayaan mereka masing-masing
demi mewujudkan kesejahteraan dalam masyarakatnya. Cita-cita bersama ini dapat
diraih dengan memperteguh kebhinekaan dan restorasi sosial sebagaimana tertuang
dalam Nawacita Jokowi yang ke Sembilan. Dengan adanya fakta keragaman yang
tergambar dalam bentuk tradisi dan budaya di Indonesia maka makna toleransi
harus dikembalikan kepada fungsi tradisi dan budaya yang didalamnya bersemayam
kearifan lokal sebagai jiwanya.

Pendidikan Toleransi di Sekolah

Toleransi menurut Bertelmann Group for Policy Research
(2000), yaitu: “Tolerance as cardinal
virtue or mental attitude, but also as the scope for various types of behavior,
orientational value or cultural work
”. Ini artinya bahwa tidak mungkin ada
toleransi jiku virtue atau mental attitude tidak diperkenalkan
secara baik melalui sebuah proses pembudayaan atau pendidikan. Mind-set pendidikan kita perlu
menanamkan keyakinan bahwa kemajemukan jangan sampai menjadi penyebab
pertentangan tetapi harus dipersandingkan dengan harmonis karena kemajemukan
adalah perwujudan dari nilai dan gagasan yang dapat saling menguatkan dan
meningkatkan wawasan.

Lembaga pendidikan seperti
keluarga, sekolah dan masyarakat diharapkan memberi apresiasi yang tinggi
terhadap kemajemukan. Dus, persamaan pandangan hidup yang berhubungan dengan
nilai kebajikan (virtue) dan  kebijaksanaan (wisdom) dapat diperoleh dari adanya kemajemukan atau keberagaman.

Baca Juga :  Hasil Evaluasi, Sekolah Tidak Terkendala Jaringan Internet

Manajemen konflik berbasis
sekolah (MKBS) yang digunakan banyak negara memiliki fungsi dan peran yang sama
pentingnya dengan program bina damai di lingkungan pendidikan seperti sekolah.
MKBS memperkenalkan cara mengelola kemajemukan, keterampilan resolusi konflik,
negosiasi, mediasi sejawat dan  manajemen
sekolah terhadap isu-isu kekerasan di lingkungan sekolah dan upaya penangannya
secara terpadu.

Apabila praktik toleransi dapat
diterapkan di lingkungan sekolah maka guru dan siswa akan sama-sama menghindari
tindak kekerasan dan kebiasaan berlaku kasar akibat provokasi atau ujaran
kebencian pada saat mengajar maupun di luar jam pelajaran.  Hal ini akan meredam berkembangnya hoaks
akibat adanya perbedaan kebudayaan, aspirasi dan pemikiran.

Kurikulum pendidikan kita
mendorong penubuhan pola berpikir yang kritis, analitis, evaluatif dan kreatif
atau pola berpikir tingkat tinggi atau high
order thinking skill
(HOTs). Siswa dilatih untuk mampu berpikir HOTs  untuk bisa menggali makna dan bukan pemikiran
yang cenderung dangkal atau permukaan. Demikian juga guru, dengan pendekatan
andragogis yang terbuka dan menyenangkan didorong untuk berpikir secara lebih
dalam (deep thinking). Orang yang
radikal dalam arti negatif biasanya cenderung berpikir dangkal atau permukaan (surface thinking) sehingga yang dilihat
hanyalah fakta-fakta.

Kearifan lokal selayaknya
dimasukkan dalam skema pedagogis para guru secara kritis, dalam (deep thinking) dan berkesinambungan.
Pelajaran muatan lokal yang hanya sebatas bahasa daerah dan tari daerah yang
diajarkan secara apa adanya perlu ditelaah ulang. Guru dapat meninggalkan
banyak rekam jejak keteladanan (hidden
curriculum
) dan kebijaksanaan hidup sebagai metode penanaman kearifan lokal
pada siswa.

Kearifan lokal tidak melulu
bersifat tradisional. Pengetahuan tradisional muncul dari orang-orang zaman dulu,
dongeng-dongeng klasik, cerita rakyat atau legenda, ritual atau petatah-petitih
para wali, babad, tembang, lontar, hikayat, kewaskitaan dalam berbagai karya
sastra kuno, serat, jangka, suluk dan juga aturan atau hukum setempat. Kearifan
masa kini atau kekinian yang melekat pada karakter seseorang yang bersifat arif
dan bijak dapat dikategorikan sebagai kearifan lokal pula. Sportivitas atlet
Indonesia  pada Asian Games 2018 dan
momen Jokowi-Prabowo berpelukan di final cabang olah raga pencak silat yang
menunjukkan kerukunan dan perdamaian adalah manifestasi kearifan masa
kini. 

Baca Juga :  Karena Alasan Ini, Taman Pasuk Kameloh Masih Belum Diperbolehkan Dibuk

Selain mengembangkan pelajaran
muatan lokal di atas nilai-nilai kearifan lokal yang mapan, pelajaran agama
dapat pula disampaikan secara utuh (kafah) dengan tetap melestarikan kearifan
lokal di dalamnya. Untuk menciptakan harmonisasi yang baik antara ajaran agama
dan kearifan lokal dibutuhkan perjuangan dan cukup waktu. Orang seperti A.N
Wilson dalam Againts Religion: Why We
Should Try to Live Without It?
(1992) dengan kata-katanya yang menghujam,
Wilson bahkan berkata: “ Jika agama tidak bisa mendidik orang untuk mencapai
tujuan-tujuan kedamaian, cinta kasih, lantas apa arti dan tujuan kehadiran
agama bagi manusia?” Toleransi dalam agama mengandung makna saling
hormat-menghormati sesama umat beragama atau aliran kepercayaan (kejawen,
kaharingan, sunda wiwitan dan lain-lain) dalam masyarakat yang inklusif dan
terbuka.

Nenek moyang nusantara dalam
penyebaran agama sangat inklusif dan terbuka, menjunjung tinggi toleransi  untuk menerima dan diterima oleh nilai-nilai
lokal. Mereka mengajarkan kepada kita untuk menjaga ketenteraman, kerukunan dan
kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama yang dibawa para ulama
dan Wali Songo dapat diterima masyarakat tanpa adanya paksaan atau tindak
kekerasan. Sinkretisme agama Islam dan Hindu berlangsung damai.

Kerukunan umat beragama adalah
pilar bagi kerukunan nasioanal. Ini akan menjadi tameng baja berkembangnya disrupsi
informasi, provokasi, hoaks dan ujaran kebencian yang berujung pada perpecahan
bangsa. Nilai kearifan lokal sendiri dapat menjadi perekat sosial dan menjadi
acuan dalam mewujudkan kerukunan umat beragama. Kasus pelarangan warga
beribadah di Gereja Yasmin Bogor dan di tempat lain seperti di Tolikara, Papua
adalah bukti bahwa kearifan lokal masih menjadi aksesoris budaya yang tanpa
makna. Agama adalah obyek yang multitafsir. Namun dengan memelihara dan
memajukan toleransi sebagai bentuk kearifan lokal, mozaik indah Indonesia akan
semakin berpendar. Mari membumikan kearifan lokal secara “radikal” untuk membendung
hoaks dan disrupsi informasi ***

(Penulis adalah pendidik dan pemerhati pendidikan di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan
Tengah)

BUDAYA hanya bisa tumbuh karena memiliki ruh yang bernama kearifan
lokal. Kearifan lokal yang berkenaan dengan nilai-nilai keberagaman budaya atau
multikulturalisme dalam masyarakat perlu direvitalisasi untuk menangkal
disintegrasi bangsa.

Dalam tata kehidupan sosial
masyarakat kita yang multikultural, sikap sosial yang menyadari adanya
perbedaan dalam kebersamaan atau sebaliknya kebersamaan di tengah perbedaan
dijaga oleh nilai dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu Bhinneka Tunggal Ika.  Begitu
pula, batik warisan budaya leluhur dapat menampung segala perbedaan menjadi
satu kesatuan yang disimbolkan di atas sehelai kain.

Energi budaya sesungguhnya dapat
memperkuat ketahanan nasional. Kehadiran budaya sangat berpotensi menggulingkan
eksistensi dari hoaks dan disrupsi informasi. Hal ini hanya dapat dicapai
dengan menciptakan harmoni dan solidaritas yang berlandaskan kebersamaan dan
persaudaraan demi terciptanya keamanan dan ketenteraman. Hoaks dan disrupsi
informasi yang terus berkecamuk menimbulkan ketakutan, keresahan dan mengganggu
ketenteraman masyarakat. Tensi sosial ini dapat berujung pada porak-porandanya
stabilitas keamanan dan ketertiban umum.

Setiap suku bangsa memiliki
budaya yang unik dan pedoman hidup menurut kepercayaan mereka masing-masing
demi mewujudkan kesejahteraan dalam masyarakatnya. Cita-cita bersama ini dapat
diraih dengan memperteguh kebhinekaan dan restorasi sosial sebagaimana tertuang
dalam Nawacita Jokowi yang ke Sembilan. Dengan adanya fakta keragaman yang
tergambar dalam bentuk tradisi dan budaya di Indonesia maka makna toleransi
harus dikembalikan kepada fungsi tradisi dan budaya yang didalamnya bersemayam
kearifan lokal sebagai jiwanya.

Pendidikan Toleransi di Sekolah

Toleransi menurut Bertelmann Group for Policy Research
(2000), yaitu: “Tolerance as cardinal
virtue or mental attitude, but also as the scope for various types of behavior,
orientational value or cultural work
”. Ini artinya bahwa tidak mungkin ada
toleransi jiku virtue atau mental attitude tidak diperkenalkan
secara baik melalui sebuah proses pembudayaan atau pendidikan. Mind-set pendidikan kita perlu
menanamkan keyakinan bahwa kemajemukan jangan sampai menjadi penyebab
pertentangan tetapi harus dipersandingkan dengan harmonis karena kemajemukan
adalah perwujudan dari nilai dan gagasan yang dapat saling menguatkan dan
meningkatkan wawasan.

Lembaga pendidikan seperti
keluarga, sekolah dan masyarakat diharapkan memberi apresiasi yang tinggi
terhadap kemajemukan. Dus, persamaan pandangan hidup yang berhubungan dengan
nilai kebajikan (virtue) dan  kebijaksanaan (wisdom) dapat diperoleh dari adanya kemajemukan atau keberagaman.

Baca Juga :  Hasil Evaluasi, Sekolah Tidak Terkendala Jaringan Internet

Manajemen konflik berbasis
sekolah (MKBS) yang digunakan banyak negara memiliki fungsi dan peran yang sama
pentingnya dengan program bina damai di lingkungan pendidikan seperti sekolah.
MKBS memperkenalkan cara mengelola kemajemukan, keterampilan resolusi konflik,
negosiasi, mediasi sejawat dan  manajemen
sekolah terhadap isu-isu kekerasan di lingkungan sekolah dan upaya penangannya
secara terpadu.

Apabila praktik toleransi dapat
diterapkan di lingkungan sekolah maka guru dan siswa akan sama-sama menghindari
tindak kekerasan dan kebiasaan berlaku kasar akibat provokasi atau ujaran
kebencian pada saat mengajar maupun di luar jam pelajaran.  Hal ini akan meredam berkembangnya hoaks
akibat adanya perbedaan kebudayaan, aspirasi dan pemikiran.

Kurikulum pendidikan kita
mendorong penubuhan pola berpikir yang kritis, analitis, evaluatif dan kreatif
atau pola berpikir tingkat tinggi atau high
order thinking skill
(HOTs). Siswa dilatih untuk mampu berpikir HOTs  untuk bisa menggali makna dan bukan pemikiran
yang cenderung dangkal atau permukaan. Demikian juga guru, dengan pendekatan
andragogis yang terbuka dan menyenangkan didorong untuk berpikir secara lebih
dalam (deep thinking). Orang yang
radikal dalam arti negatif biasanya cenderung berpikir dangkal atau permukaan (surface thinking) sehingga yang dilihat
hanyalah fakta-fakta.

Kearifan lokal selayaknya
dimasukkan dalam skema pedagogis para guru secara kritis, dalam (deep thinking) dan berkesinambungan.
Pelajaran muatan lokal yang hanya sebatas bahasa daerah dan tari daerah yang
diajarkan secara apa adanya perlu ditelaah ulang. Guru dapat meninggalkan
banyak rekam jejak keteladanan (hidden
curriculum
) dan kebijaksanaan hidup sebagai metode penanaman kearifan lokal
pada siswa.

Kearifan lokal tidak melulu
bersifat tradisional. Pengetahuan tradisional muncul dari orang-orang zaman dulu,
dongeng-dongeng klasik, cerita rakyat atau legenda, ritual atau petatah-petitih
para wali, babad, tembang, lontar, hikayat, kewaskitaan dalam berbagai karya
sastra kuno, serat, jangka, suluk dan juga aturan atau hukum setempat. Kearifan
masa kini atau kekinian yang melekat pada karakter seseorang yang bersifat arif
dan bijak dapat dikategorikan sebagai kearifan lokal pula. Sportivitas atlet
Indonesia  pada Asian Games 2018 dan
momen Jokowi-Prabowo berpelukan di final cabang olah raga pencak silat yang
menunjukkan kerukunan dan perdamaian adalah manifestasi kearifan masa
kini. 

Baca Juga :  Karena Alasan Ini, Taman Pasuk Kameloh Masih Belum Diperbolehkan Dibuk

Selain mengembangkan pelajaran
muatan lokal di atas nilai-nilai kearifan lokal yang mapan, pelajaran agama
dapat pula disampaikan secara utuh (kafah) dengan tetap melestarikan kearifan
lokal di dalamnya. Untuk menciptakan harmonisasi yang baik antara ajaran agama
dan kearifan lokal dibutuhkan perjuangan dan cukup waktu. Orang seperti A.N
Wilson dalam Againts Religion: Why We
Should Try to Live Without It?
(1992) dengan kata-katanya yang menghujam,
Wilson bahkan berkata: “ Jika agama tidak bisa mendidik orang untuk mencapai
tujuan-tujuan kedamaian, cinta kasih, lantas apa arti dan tujuan kehadiran
agama bagi manusia?” Toleransi dalam agama mengandung makna saling
hormat-menghormati sesama umat beragama atau aliran kepercayaan (kejawen,
kaharingan, sunda wiwitan dan lain-lain) dalam masyarakat yang inklusif dan
terbuka.

Nenek moyang nusantara dalam
penyebaran agama sangat inklusif dan terbuka, menjunjung tinggi toleransi  untuk menerima dan diterima oleh nilai-nilai
lokal. Mereka mengajarkan kepada kita untuk menjaga ketenteraman, kerukunan dan
kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama yang dibawa para ulama
dan Wali Songo dapat diterima masyarakat tanpa adanya paksaan atau tindak
kekerasan. Sinkretisme agama Islam dan Hindu berlangsung damai.

Kerukunan umat beragama adalah
pilar bagi kerukunan nasioanal. Ini akan menjadi tameng baja berkembangnya disrupsi
informasi, provokasi, hoaks dan ujaran kebencian yang berujung pada perpecahan
bangsa. Nilai kearifan lokal sendiri dapat menjadi perekat sosial dan menjadi
acuan dalam mewujudkan kerukunan umat beragama. Kasus pelarangan warga
beribadah di Gereja Yasmin Bogor dan di tempat lain seperti di Tolikara, Papua
adalah bukti bahwa kearifan lokal masih menjadi aksesoris budaya yang tanpa
makna. Agama adalah obyek yang multitafsir. Namun dengan memelihara dan
memajukan toleransi sebagai bentuk kearifan lokal, mozaik indah Indonesia akan
semakin berpendar. Mari membumikan kearifan lokal secara “radikal” untuk membendung
hoaks dan disrupsi informasi ***

(Penulis adalah pendidik dan pemerhati pendidikan di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan
Tengah)

Terpopuler

Artikel Terbaru