26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Covid-19, Seleksi Alam, dan Pentingnya Alat Pelindung Diri

PEMERINTAH memutuskan
agar masyarakat harus bisa berkompromi, hidup berdampingan dan berdamai, dengan
Covid-19 agar tetap produktif. Suatu keputusan pasti mengandung suatu risiko.
Pengambilan keputusan agar masyarakat bisa beraktivitas kembali (terutama usia
di bawah 45 tahun) akan berdampak besar pada sisi kesehatan. Akankah pemerintah
menerapkan herd immunity?

Herd
immunity atau kekebalan kelompok adalah suatu bentuk imunitas terhadap suatu
penyakit menular yang dapat terjadi jika sebagian besar populasi menjadi kebal
terhadap suatu penyakit infeksi menular, baik karena dilakukan vaksinasi maupun
setelah sembuh dari infeksi alamiah sebelumnya. Makin besar proporsi individu
yang mempunyai imunitas, makin kecil peluang individu yang tidak kebal untuk
tertular sehingga individu tersebut akan terlindungi. Bila cakupan vaksinasi
pada ambang tertentu telah tercapai (umumnya 70 persen), imunitas kelompok
secara bertahap akan dapat menghilangkan penyakit infeksi menular dari suatu
populasi. Bila keadaan itu meliputi seluruh dunia, tidak akan terjadi lagi
penularan yang disebut sebagai keadaan eradikasi.

Hingga
saat ini Indonesia menempati angka kematian tertinggi di Asia, yaitu mencapai
8–9 persen dari seluruh kasus Covid-19 yang telah tercatat. Sementara itu,
kalau kita menengok ke negara tetangga seperti Singapura, angka kematiannya
hanya 0,1 persen, Malaysia 1,7 persen, Jepang 2 persen, Korea Selatan 3 persen,
dan Filipina 6,5 persen.

Hampir
seluruh negara melaporkan, risiko kematian tertinggi karena faktor usia dan
adanya penyakit-penyakit tertentu yang telah diderita sebelumnya. Untuk
populasi di Indonesia, di samping faktor-faktor yang telah disebutkan tadi,
adalah karena faktor merokok. Menurut data WHO pada 2015, sekitar 75 persen
laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok yang merupakan tertinggi di dunia
dan berakibat pada terganggunya fungsi paru. Seperti yang sudah sering kita
dengar, pada Covid-19 ini, organ yang paling banyak terdampak adalah paru meski
organ lain secara sistemik juga terlibat.

Baca Juga :  Mari Bersatu Membangun Kalteng

Data
dari hampir semua negara sepakat bahwa tingkat fatalitas dan kematian yang
tinggi akibat Covid-19 justru disebabkan sudah mempunyai masalah penyakit yang
mendasari sebelumnya. Misalnya usia (di atas 60 tahun), obesitas alias
kegemukan, kencing manis, hipertensi, jantung, asma, kanker, dan penyakit
kronis lainnya. Hal yang melegakan adalah 80 persen dari orang dengan Covid-19
tidak bergejala atau menampilkan gejala yang ringan layaknya flu. Sedangkan
yang 15 persen termasuk kategori berat yang memerlukan perawatan di rumah
sakit, sementara yang 5 persen akan menjadi kritis dan memerlukan perawatan di
ruang intensif. Mereka itulah yang sebagian besar akan meninggal. Inikah bentuk
seleksi alam yang dipicu Covid-19?

Immunity Passport

Ada
kebijakan dari suatu kementerian yang mungkin mengundang polemik. Yaitu
pengecualian bagi para pekerja untuk melakukan perjalanan dinas dengan
menunjukkan surat tugas, surat bebas korona, serta keterangan lainnya yang
relevan. Surat keterangan sehat itu akan sangat rawan disalahgunakan.

Bergantung
metode yang digunakan, rapid test ini kurang memenuhi unsur keakuratan.
Artinya, banyak terjadi false negatif. Hasil tes yang false negatif bisa
berarti yang bersangkutan sedang terinfeksi, tapi hasil tes menunjukkan
negatif. Kondisi itu malah meningkatkan risiko penularan karena yang
bersangkutan merasa sehat dan bebas dari Covid-19. Surat bebas Covid-19 semacam
itu bisa menjadi salah mengategorikan seseorang yang semestinya positif
terinfeksi Covid19, menjadi tidak terinfeksi. WHO menyebutnya sebagai immunity
passports atau risk free certificate.

Kalau
memang hendak memberikan kelonggaran bagi pekerja di bawah 45 tahun untuk
beraktivitas lagi, perlu diwaspadai, mereka yang berada dalam usia itu secara
keseluruhan belum tentu sehat. Sebab, di antara mereka ada yang perokok dan
mempunyai beberapa penyakit kronis. Yang sehat pun harus paham bahwa aktivitas
di tempat kerja berisiko tertular Covid-19 meski sudah menerapkan pola hidup
bersih dan sehat. Mereka harus tetap menyadari, jika tertular, risiko penularan
seisi rumah, akan makin menyulitkan keadaan.

Baca Juga :  Upaya Sejahterakan Masyarakat, Ben-Ujang Bekali Anak Muda dengan Pendi

Bagi
tenaga kesehatan, sangat mungkin mereka akan kian terbebani bila kasus Covid-19
ini tidak kunjung mereda. Saat ini IDI mengimbau anggota yang berusia di atas
60 tahun sebaiknya tidak melakukan praktik, mengurangi jam praktik, dan
mengurangi waktu kontak dengan pasien. Operasi yang bersifat terencana
sebaiknya ditunda. Demikian juga dokter-dokter yang dalam praktiknya melakukan
prosedur memeriksa mulut (misalnya dokter gigi atau spesialis THT), untuk
sementara ini banyak yang tidak melakukan praktik –atau kalau tetap menjalankan
praktik, harus menggunakan APD.

Seharusnya
keberadaan APD yang sesuai harus dijamin terus oleh pemerintah serta tes PCR
melalui swab tenggorok untuk memastikan diagnosis lebih mudah diakses di mana
pun fasilitas dan tenaga kesehatan itu berada. Bila sulit terpenuhi, bisa
diprediksi akan kian banyak tenaga kesehatan yang menjadi korban Covid-19.

Di
sisi lain, sangat mungkin angka kematian penyakit-penyakit selain Covid-19 akan
kian meningkat. Sebab, selain ada kekhawatiran takut tertular Covid-19, pasien
bila datang berobat ke rumah sakit bakal mendapat perhatian yang kurang dari
tenaga medis yang selama ini lebih fokus menangani Covid-19. Apa pun kebijakan
yang diambil pemerintah, semoga merupakan suatu pilihan terbaik bagi semua
pihak. (*)


Spesialis
penyakit dalam, konsultan penyakit alergi dan imunologi klinis, staf Divisi
Alergi-Imunologi Klinik pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Unair dan RSUD
dr Soetomo Surabaya

PEMERINTAH memutuskan
agar masyarakat harus bisa berkompromi, hidup berdampingan dan berdamai, dengan
Covid-19 agar tetap produktif. Suatu keputusan pasti mengandung suatu risiko.
Pengambilan keputusan agar masyarakat bisa beraktivitas kembali (terutama usia
di bawah 45 tahun) akan berdampak besar pada sisi kesehatan. Akankah pemerintah
menerapkan herd immunity?

Herd
immunity atau kekebalan kelompok adalah suatu bentuk imunitas terhadap suatu
penyakit menular yang dapat terjadi jika sebagian besar populasi menjadi kebal
terhadap suatu penyakit infeksi menular, baik karena dilakukan vaksinasi maupun
setelah sembuh dari infeksi alamiah sebelumnya. Makin besar proporsi individu
yang mempunyai imunitas, makin kecil peluang individu yang tidak kebal untuk
tertular sehingga individu tersebut akan terlindungi. Bila cakupan vaksinasi
pada ambang tertentu telah tercapai (umumnya 70 persen), imunitas kelompok
secara bertahap akan dapat menghilangkan penyakit infeksi menular dari suatu
populasi. Bila keadaan itu meliputi seluruh dunia, tidak akan terjadi lagi
penularan yang disebut sebagai keadaan eradikasi.

Hingga
saat ini Indonesia menempati angka kematian tertinggi di Asia, yaitu mencapai
8–9 persen dari seluruh kasus Covid-19 yang telah tercatat. Sementara itu,
kalau kita menengok ke negara tetangga seperti Singapura, angka kematiannya
hanya 0,1 persen, Malaysia 1,7 persen, Jepang 2 persen, Korea Selatan 3 persen,
dan Filipina 6,5 persen.

Hampir
seluruh negara melaporkan, risiko kematian tertinggi karena faktor usia dan
adanya penyakit-penyakit tertentu yang telah diderita sebelumnya. Untuk
populasi di Indonesia, di samping faktor-faktor yang telah disebutkan tadi,
adalah karena faktor merokok. Menurut data WHO pada 2015, sekitar 75 persen
laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok yang merupakan tertinggi di dunia
dan berakibat pada terganggunya fungsi paru. Seperti yang sudah sering kita
dengar, pada Covid-19 ini, organ yang paling banyak terdampak adalah paru meski
organ lain secara sistemik juga terlibat.

Baca Juga :  Mari Bersatu Membangun Kalteng

Data
dari hampir semua negara sepakat bahwa tingkat fatalitas dan kematian yang
tinggi akibat Covid-19 justru disebabkan sudah mempunyai masalah penyakit yang
mendasari sebelumnya. Misalnya usia (di atas 60 tahun), obesitas alias
kegemukan, kencing manis, hipertensi, jantung, asma, kanker, dan penyakit
kronis lainnya. Hal yang melegakan adalah 80 persen dari orang dengan Covid-19
tidak bergejala atau menampilkan gejala yang ringan layaknya flu. Sedangkan
yang 15 persen termasuk kategori berat yang memerlukan perawatan di rumah
sakit, sementara yang 5 persen akan menjadi kritis dan memerlukan perawatan di
ruang intensif. Mereka itulah yang sebagian besar akan meninggal. Inikah bentuk
seleksi alam yang dipicu Covid-19?

Immunity Passport

Ada
kebijakan dari suatu kementerian yang mungkin mengundang polemik. Yaitu
pengecualian bagi para pekerja untuk melakukan perjalanan dinas dengan
menunjukkan surat tugas, surat bebas korona, serta keterangan lainnya yang
relevan. Surat keterangan sehat itu akan sangat rawan disalahgunakan.

Bergantung
metode yang digunakan, rapid test ini kurang memenuhi unsur keakuratan.
Artinya, banyak terjadi false negatif. Hasil tes yang false negatif bisa
berarti yang bersangkutan sedang terinfeksi, tapi hasil tes menunjukkan
negatif. Kondisi itu malah meningkatkan risiko penularan karena yang
bersangkutan merasa sehat dan bebas dari Covid-19. Surat bebas Covid-19 semacam
itu bisa menjadi salah mengategorikan seseorang yang semestinya positif
terinfeksi Covid19, menjadi tidak terinfeksi. WHO menyebutnya sebagai immunity
passports atau risk free certificate.

Kalau
memang hendak memberikan kelonggaran bagi pekerja di bawah 45 tahun untuk
beraktivitas lagi, perlu diwaspadai, mereka yang berada dalam usia itu secara
keseluruhan belum tentu sehat. Sebab, di antara mereka ada yang perokok dan
mempunyai beberapa penyakit kronis. Yang sehat pun harus paham bahwa aktivitas
di tempat kerja berisiko tertular Covid-19 meski sudah menerapkan pola hidup
bersih dan sehat. Mereka harus tetap menyadari, jika tertular, risiko penularan
seisi rumah, akan makin menyulitkan keadaan.

Baca Juga :  Upaya Sejahterakan Masyarakat, Ben-Ujang Bekali Anak Muda dengan Pendi

Bagi
tenaga kesehatan, sangat mungkin mereka akan kian terbebani bila kasus Covid-19
ini tidak kunjung mereda. Saat ini IDI mengimbau anggota yang berusia di atas
60 tahun sebaiknya tidak melakukan praktik, mengurangi jam praktik, dan
mengurangi waktu kontak dengan pasien. Operasi yang bersifat terencana
sebaiknya ditunda. Demikian juga dokter-dokter yang dalam praktiknya melakukan
prosedur memeriksa mulut (misalnya dokter gigi atau spesialis THT), untuk
sementara ini banyak yang tidak melakukan praktik –atau kalau tetap menjalankan
praktik, harus menggunakan APD.

Seharusnya
keberadaan APD yang sesuai harus dijamin terus oleh pemerintah serta tes PCR
melalui swab tenggorok untuk memastikan diagnosis lebih mudah diakses di mana
pun fasilitas dan tenaga kesehatan itu berada. Bila sulit terpenuhi, bisa
diprediksi akan kian banyak tenaga kesehatan yang menjadi korban Covid-19.

Di
sisi lain, sangat mungkin angka kematian penyakit-penyakit selain Covid-19 akan
kian meningkat. Sebab, selain ada kekhawatiran takut tertular Covid-19, pasien
bila datang berobat ke rumah sakit bakal mendapat perhatian yang kurang dari
tenaga medis yang selama ini lebih fokus menangani Covid-19. Apa pun kebijakan
yang diambil pemerintah, semoga merupakan suatu pilihan terbaik bagi semua
pihak. (*)


Spesialis
penyakit dalam, konsultan penyakit alergi dan imunologi klinis, staf Divisi
Alergi-Imunologi Klinik pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Unair dan RSUD
dr Soetomo Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru