28.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Negeri Pemuja Youtuber

SUATU negeri akan menjadi makmur, apabila pendidikan di dalam
negeri tersebut mempunyai semangat untuk menyebarkan ide-ide yang revolusioner.

Pada saat ini pendidikan
merupakan suatu hal yang paling menentukan dalam membawa negeri tersebut,
menjadi negeri yang kokoh untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Apabila
pendidikan di dalam negeri tersebut sudah berjalan dengan baik, maka tentu saja
negeri tersebut, akan dipenuhi dengan orang-orang yang mempunyai semangat untuk
membangun sebuah peradaban.

Memang membangun pendidikan yang
mendorong agar rakyatnya mempunyai intelektual yang baik, merupakan sesuatu
yang tidak mudah. Tetapi bukan karena kesulitan tersebut, kita harus membiarkan
kebodohan tersebut berkeliaran di mana-mana. Sebagai warga negara yang baik,
maka sudah seharusnya kita membuat negeri ini menjadi negeri yang mengedepankan
pendidikan yang bermutu.

Pendidikan yang bermutu akan
terlihat dari bagaimana pendidikan di dalam negeri tersebut bisa melahirkan
cendikiawan-cendikiawan yang tidak hanya berpikir secara normatif, tetapi juga
harus mampu menenatang status quo dan diskriminasi yang sering kali menyiksa
orang-orang yang tidak berdosa.

Jika kita dapat melihat ke
belakang, ada beberapa bukti bahwa pendidikan yang bermutu bisa melahirkan
seorang cendikiawan yang mempunyai kemampuan untuk menentang ketidakadilan yang
ada di dalam negeri tersebut. Misalnya mengenai keruntuhan rezim komunis di Uni
Soviet dan beberapa negara di Eropa Timur pada tahun 1989, tidak terlepas dari
suatu kontribusi cerdas para kaum cendikiawan yang ada di negeri tersebut.

Misalnya Alexander Solzhenitysn (pemegang
hadiah Nobel yang sarjana merangkap pengarang), termasuk cendikiawan yang
memperjuangkan kebebasan berpikir sebagai sesuatu yang perlu untuk setiap
masyarakat yang ingin maju. Begitu pun dengan Leslie Holmes, dalam bukunya, ia
mencoba merangkum beragam pendekatan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya
yang berkembang untuk menjelaskan kejatuhan rezim komunisme di berbagai negara
(terutama di Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur) sejak 1989.

Beragam pendekatan itu menjelaskan
kejatuhan rezim komunis, karena faktor Gorbachev, kegagalan ekonomi, peran
kekuatan oposisi, kompetisi dengan negara-negara Barat, koreksi dan
reinterpretasi pada ajaran Marxisme (Budiardjo, 2008: 165).

Baca Juga :  Pemko Sudah Terapkan E-planning dan E-budgeting

Berbeda dengan para cendikiawan
tersebut, di negeri kita sendiri justru pendidikan masih belum bisa melahirkan
para cendikiawan yang berani menentang ketidakadilan yang selama ini masih
sering kali menghampiri orang-orang yang tidak berdosa. Alih-alih menciptakan
pendidikan yang baik, tetapi justru di negeri kita ini, pendidikan seolah-olah
menjadi tidak jelas, dan tidak bisa membuat generasi muda untuk mempunyai
ide-ide yang revolusioner. Misalnya saja yang terjadi kemarin ini, di mana publik
sempat dihebohkan dengan soal ulangan kenaikan kelas (UKK) Sekolah Dasar, yang
berada di Kota Serang. Pada soal tersebut, terdapat beberapa pertanyaaan
pilihan ganda perihal Youtuber yang bernama Atta Halilintar. Selain itu
juga,  di dalam soal tersebut dinyatakan
bahwa Atta Halilintar adalah Youtuber dengan penghasilan sekitar 579 juta
rupiah, hingga 9 miliar rupiah per bulan.

Tentu saja dengan adanya hal
tersebut, sudah menunjukkan bahwa negeri ini tidak mempunyai keseriusan dalam
membangun pendidikan yang berfungsi, untuk mendorong agar para generasi muda
mempunyai ide-ide yang revolusioner.

Nampaknya juga, negeri ini lebih
bersemangat untuk membangun generasi muda, agar menjadi seseorang yang
menghasilkan uang yang cukup banyak. Sehingga dengan adanya peristiwa mengenai
Atta Halilintar tersebut, dapat menggambarkan bahwa ada suatu pegeseran
paradigma mengenai pendidikan. Dimana yang awalnya pendidikan itu selalu
dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengubah orang yang awalnya bodoh,
kemudian ia menjadi orang yang pandai. Tetapi karena adanya peristiwa tersebut,
pendidikan seolah-olah menciptakan paradigma baru, yaitu pendidikan kini dipandang
sebagai sebuah cara untuk menjadikan seseorang untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.

Nampaknya negeri ini telah menjadikan
pendidikan sebagai sarang kebodohan, sehingga di dalam sarang tersebut, para
siswa-siswi tidak pernah mendapatkan suntikan intelektual yang dapat membuat
dirinya menjadi seseorang yang mengutamakan akal sehatnya. Bahkan kebodohan
tersebut terus-menerus dipelihara sampai mereka menganggap bahwa kebodohan
tersebut, adalah hal yang dapat membuat mereka menjadi seseorang yang sukses di
masa depannya.

Baca Juga :  Bu Rambat akan Dorong UMKM Melalui Digital

Pada saat ini, negeri kita tidak
akan peduli, dengan seberapa lama para siswa-siswinya menghabiskan waktu untuk
membaca buku, tetapi dengan adanya peristiwa tersebut menunjukkan bahwa negeri
kita akan peduli dengan para siswa-siswi yang menghabiskan waktunya untuk
menonton Youtube.

Pada akhirnya, karena pendidikan
kini sudah dialihfungsikan sebagai tempat untuk mendidik siswa-siswinya agar
menjadi Youtuber, maka yang menjadi panutan bagi para siswa-siswi, bukan hanya
para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan, tetapi juga
para Youtuber yang mempunyai penghasilan sampai miliaran rupiah. Sehingga
pantas saja jika negeri ini, mendapat julukan sebagai negeri pemuja Youtuber.

Memang peristiwa tersebut,
merupakan sesuatu yang sangat tidak pantas untuk tetap dianggap sebagai hal
yang biasa. Karena apabila pendidikan yang ada di negeri ini, telah bergeser
untuk berkiblat terhadap para Youtuber, maka tentu saja hal ini akan membuat
para generasi muda tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis. Lalu
bagaimana Indonesia akan menjadi sebagai negara maju, jika para calon pemimpin
di masa depannya saja telah diracuni oleh sesuatu yang membuat mereka menjadi
tekurung di dalam sensasi yang tidak penting?

Maka dari itu, sudah seharusnya
pendidikan yang ada di negeri ini dapat mendorong agar para siswa-siswi
mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis. Sekolah harus mempunyai inisiatif
untuk memberikan wadah diskusi yang bermutu bagi para guru dan siswa-siswinya.
Dan yang paling terpenting, sekolah harus menciptakan akal sehat kepada para
siswa-siswinya, agar mereka mempunyai ide-ide yang revolusioner untuk
menjadikan negeri ini sebagai negeri yang bermutu. (***)

(Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Public
Relations, Universitas Serang Raya, Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu Politik dan Ilmu
Hukum (FISIPKUM))

DAFTAR PUSTAKA: Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

SUATU negeri akan menjadi makmur, apabila pendidikan di dalam
negeri tersebut mempunyai semangat untuk menyebarkan ide-ide yang revolusioner.

Pada saat ini pendidikan
merupakan suatu hal yang paling menentukan dalam membawa negeri tersebut,
menjadi negeri yang kokoh untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Apabila
pendidikan di dalam negeri tersebut sudah berjalan dengan baik, maka tentu saja
negeri tersebut, akan dipenuhi dengan orang-orang yang mempunyai semangat untuk
membangun sebuah peradaban.

Memang membangun pendidikan yang
mendorong agar rakyatnya mempunyai intelektual yang baik, merupakan sesuatu
yang tidak mudah. Tetapi bukan karena kesulitan tersebut, kita harus membiarkan
kebodohan tersebut berkeliaran di mana-mana. Sebagai warga negara yang baik,
maka sudah seharusnya kita membuat negeri ini menjadi negeri yang mengedepankan
pendidikan yang bermutu.

Pendidikan yang bermutu akan
terlihat dari bagaimana pendidikan di dalam negeri tersebut bisa melahirkan
cendikiawan-cendikiawan yang tidak hanya berpikir secara normatif, tetapi juga
harus mampu menenatang status quo dan diskriminasi yang sering kali menyiksa
orang-orang yang tidak berdosa.

Jika kita dapat melihat ke
belakang, ada beberapa bukti bahwa pendidikan yang bermutu bisa melahirkan
seorang cendikiawan yang mempunyai kemampuan untuk menentang ketidakadilan yang
ada di dalam negeri tersebut. Misalnya mengenai keruntuhan rezim komunis di Uni
Soviet dan beberapa negara di Eropa Timur pada tahun 1989, tidak terlepas dari
suatu kontribusi cerdas para kaum cendikiawan yang ada di negeri tersebut.

Misalnya Alexander Solzhenitysn (pemegang
hadiah Nobel yang sarjana merangkap pengarang), termasuk cendikiawan yang
memperjuangkan kebebasan berpikir sebagai sesuatu yang perlu untuk setiap
masyarakat yang ingin maju. Begitu pun dengan Leslie Holmes, dalam bukunya, ia
mencoba merangkum beragam pendekatan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya
yang berkembang untuk menjelaskan kejatuhan rezim komunisme di berbagai negara
(terutama di Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur) sejak 1989.

Beragam pendekatan itu menjelaskan
kejatuhan rezim komunis, karena faktor Gorbachev, kegagalan ekonomi, peran
kekuatan oposisi, kompetisi dengan negara-negara Barat, koreksi dan
reinterpretasi pada ajaran Marxisme (Budiardjo, 2008: 165).

Baca Juga :  Pemko Sudah Terapkan E-planning dan E-budgeting

Berbeda dengan para cendikiawan
tersebut, di negeri kita sendiri justru pendidikan masih belum bisa melahirkan
para cendikiawan yang berani menentang ketidakadilan yang selama ini masih
sering kali menghampiri orang-orang yang tidak berdosa. Alih-alih menciptakan
pendidikan yang baik, tetapi justru di negeri kita ini, pendidikan seolah-olah
menjadi tidak jelas, dan tidak bisa membuat generasi muda untuk mempunyai
ide-ide yang revolusioner. Misalnya saja yang terjadi kemarin ini, di mana publik
sempat dihebohkan dengan soal ulangan kenaikan kelas (UKK) Sekolah Dasar, yang
berada di Kota Serang. Pada soal tersebut, terdapat beberapa pertanyaaan
pilihan ganda perihal Youtuber yang bernama Atta Halilintar. Selain itu
juga,  di dalam soal tersebut dinyatakan
bahwa Atta Halilintar adalah Youtuber dengan penghasilan sekitar 579 juta
rupiah, hingga 9 miliar rupiah per bulan.

Tentu saja dengan adanya hal
tersebut, sudah menunjukkan bahwa negeri ini tidak mempunyai keseriusan dalam
membangun pendidikan yang berfungsi, untuk mendorong agar para generasi muda
mempunyai ide-ide yang revolusioner.

Nampaknya juga, negeri ini lebih
bersemangat untuk membangun generasi muda, agar menjadi seseorang yang
menghasilkan uang yang cukup banyak. Sehingga dengan adanya peristiwa mengenai
Atta Halilintar tersebut, dapat menggambarkan bahwa ada suatu pegeseran
paradigma mengenai pendidikan. Dimana yang awalnya pendidikan itu selalu
dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengubah orang yang awalnya bodoh,
kemudian ia menjadi orang yang pandai. Tetapi karena adanya peristiwa tersebut,
pendidikan seolah-olah menciptakan paradigma baru, yaitu pendidikan kini dipandang
sebagai sebuah cara untuk menjadikan seseorang untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.

Nampaknya negeri ini telah menjadikan
pendidikan sebagai sarang kebodohan, sehingga di dalam sarang tersebut, para
siswa-siswi tidak pernah mendapatkan suntikan intelektual yang dapat membuat
dirinya menjadi seseorang yang mengutamakan akal sehatnya. Bahkan kebodohan
tersebut terus-menerus dipelihara sampai mereka menganggap bahwa kebodohan
tersebut, adalah hal yang dapat membuat mereka menjadi seseorang yang sukses di
masa depannya.

Baca Juga :  Bu Rambat akan Dorong UMKM Melalui Digital

Pada saat ini, negeri kita tidak
akan peduli, dengan seberapa lama para siswa-siswinya menghabiskan waktu untuk
membaca buku, tetapi dengan adanya peristiwa tersebut menunjukkan bahwa negeri
kita akan peduli dengan para siswa-siswi yang menghabiskan waktunya untuk
menonton Youtube.

Pada akhirnya, karena pendidikan
kini sudah dialihfungsikan sebagai tempat untuk mendidik siswa-siswinya agar
menjadi Youtuber, maka yang menjadi panutan bagi para siswa-siswi, bukan hanya
para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan, tetapi juga
para Youtuber yang mempunyai penghasilan sampai miliaran rupiah. Sehingga
pantas saja jika negeri ini, mendapat julukan sebagai negeri pemuja Youtuber.

Memang peristiwa tersebut,
merupakan sesuatu yang sangat tidak pantas untuk tetap dianggap sebagai hal
yang biasa. Karena apabila pendidikan yang ada di negeri ini, telah bergeser
untuk berkiblat terhadap para Youtuber, maka tentu saja hal ini akan membuat
para generasi muda tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis. Lalu
bagaimana Indonesia akan menjadi sebagai negara maju, jika para calon pemimpin
di masa depannya saja telah diracuni oleh sesuatu yang membuat mereka menjadi
tekurung di dalam sensasi yang tidak penting?

Maka dari itu, sudah seharusnya
pendidikan yang ada di negeri ini dapat mendorong agar para siswa-siswi
mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis. Sekolah harus mempunyai inisiatif
untuk memberikan wadah diskusi yang bermutu bagi para guru dan siswa-siswinya.
Dan yang paling terpenting, sekolah harus menciptakan akal sehat kepada para
siswa-siswinya, agar mereka mempunyai ide-ide yang revolusioner untuk
menjadikan negeri ini sebagai negeri yang bermutu. (***)

(Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Public
Relations, Universitas Serang Raya, Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu Politik dan Ilmu
Hukum (FISIPKUM))

DAFTAR PUSTAKA: Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Terpopuler

Artikel Terbaru