26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Stop Mei

Agama pun terguncang. Islam, Kristen kurang lebih sama. Khususnya di
kalangan ulama-ulamanya.

Di kalangan Islam soal Ahlusunah dan Jabariyah
ramai disoal. Juga jadwal kapan Covid-19 akan lenyap menurut agama.

Di kalangan Kristen ramai soal copy meng-copy Tuhan Yesus.
Termasuk soal dahi yang bertanda.

Semua itu berseliweran di media sosial. Yang
Islam bisa mengikuti gejolak yang di Kristen. Yang Kristen tahu apa yang
terjadi di kalangan Islam.

YouTube telah membuang sekat antara masjid dan
gereja. Rasanya sulit mencari kesepakatan mana yang benar.

Masyarakatlah yang jadi juri terbaik. Dengan
kesimpulan mereka sendiri-sendiri.

Ternyata di semua agama ulamanya terbelah. Dan
itu masih lebih baik. Daripada tercabik-cabik. Atau dicabik-cabik.

Ulama sekelas Aa Gym dan Ustaz Abdul Somad ikut
berseliweran. Mereka bicara seputar boleh tidaknya tidak salat Jumat – -di masa
Covid-19 seperti ini.

Aa Gym yang lembut jadi seperti pembawa acara. Narasumbernya Ustaz Abdul
Somad yang keras –setidaknya nada suaranya.

Persoalannya mengapa masjid yang selama ini
dikenal ahlusunah –yang moderat– lebih banyak tetap melaksanakan salat Jumat.

Apa kata Ustaz Somad?

“Mereka itu mengaku saja Ahlusunah. Tapi
sebenarnya Jabariyah,” begitu kurang lebih penjelasannya.

Alasannya? Ikuti sendiri di video yang beredar
luas itu.

Silakan.

Ada juga yang seperti ahli hadis –ahli tentang
apa saja yang pernah diucapkan dan dilakukan Nabi Muhammad. Videonya juga
beredar luas, tetapi saya tidak kenal siapa ia.

Penampilan fisiknya mirip ulama ahli hadis.
Pakai jubah dan tutup kepala –mirip salah satu aliran sufi.

Latar belakangnya deretan buku dalam bahasa
Arab. Dari kiri luar sampai kanan luar. Dari rak atas sampai rak bawah.

Ia bilang Covid-19 ini akan lenyap sebentar
lagi. Hilang dari muka bumi. Kapan?

“Bulan Mei,” katanya tegas.

Itu, katanya, sesuai dengan hadis –ucapan Nabi
Muhammad.

Ia pun mengutip hadisnya –termasuk literatur
kitab-kitab dan endorser-nya: ulama besar kelas dunia di masa lalu.

Melihat video itu saya benar-benar horeeeee!
Mei sudah di depan mata. Covid-19 segera lenyap dari bumi.

Horeeeee saya itu ternyata tidak lama.
Terbacalah oleh saya tulisan Prof. DR. Moch Nur Ichwan. “Itu memanipulasi
hadis,” tulisnya. (Tulisan
lengkapnya di sini: Meramal Akhir Covid-19 dengan (Memanipulasi) Hadis Nabi)

Nur Ichwan terlalu cepat menerbitkan
tulisannya. Padahal saya ingin agak lama sedikit memimpikan datangnya bulan
Mei.

Baca Juga :  Masih Banyak Temui Pelanggar, Satgas Jaring 42 Warga Tak Patuhi Prokes

Dr. Nur Ichwan adalah dosen Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Masternya dari Leiden University, Belanda.
Gelar doktornya dari Tilburg University –antara Leiden dan Eindhoven. Ia
pernah mondok di nJorsan, Ponorogo.

Penjelasannya detail sekali. Kok saya jadi
setuju dengan Nur Ichwan. Meski harus kehilangan harapan pada Mei.

Tentu, bisa saja saya balik menyenangi bulan
Mei. Kalau ada penjelasan tandingan dari yang seperti ahli hadis tadi.

Di samping dua masalah itu masih banyak
perdebatan lain tentang Covid-19 dari sudut Islam. Namun ya sudahlah.

Kan perlu tahu juga yang terjadi di kalangan
Kristen. Yang lalu lintas medsosnya didominasi oleh pendeta Niko Njotorahardjo
dan pendeta Stephen Tong.

Dua-duanya hebat. Keduanya sudah tua. Niko 71
tahun. Tong 79 tahun. Dua-duanya punya pengikut yang sangat besar.

Seimbang. Dari segi itu.

Pendeta Niko lahir di Bondowoso. Ia jadi
pendeta atas bimbingan Pendeta Dr. Abraham Alex Tanuseputra.

Di Surabaya Pendeta Alex ini amat terkenal.
Ia-lah pendiri gereja Bethany di Semolowaru, Surabaya. Yang gerejanya sangat
besar dengan arsitektur dom –seperti sebuah convention center.

Bethany lantas dikenal sebagai gereja yang kaya
raya. Dengan jemaat yang kaya-kaya.

Ketika Bethany mengembangkan diri ke Jakarta,
Niko-lah yang dipercaya sebagai pimpinan Bethany wilayah barat. Niko menjadi
terkenal di Jakarta. Jemaatnya terus bertambah. Lalu mendirikan gereja sendiri
di luar Bethany –Gereja Bethel Indonesia.

Gereja baru itu menempati Gereja Bethany yang
di Jakarta itu –entah bagaimana hitungannya. Di pusatnya sendiri, di Surabaya,
Bethany juga pecah, bahkan sangat serius.

Saling pecat. Pun antara anak kandung dan bapak
biologis. Saling gugat pula ke pengadilan.

Bethany punya ratusan cabang. Termasuk beberapa
di Amerika Serikat. Saya pernah ke salah satu cabang gerejanya. Yang di
Philladelphia.

Perkembangan gereja Niko juga pesat. Kini sudah
punya 700 cabang di seluruh Indonesia. Juga di luar negeri.

Akan hal Stephen Tong, untuk apa diperkenalkan?
Ia sudah lebih dari terkenal. Ia-lah salah satu pendiri Institut Injil
Indonesia di Batu, Malang.

Baca Juga :  Penutupan Porprov, Panitia Suguhkan Tarian Daerah dan Artis Ibukota

Dua-duanya jago berkhotbah. Apalagi ketika
belum tua. Sama-sama pandai bicara Mandarin dan Inggris.

Dua-duanya pandai menyanyi. Dua-duanya pencipta
lagu-lagu rohani. Mereka juga sering khotbah di mancanegara.

Dua-duanya banyak tampil di YouTube.

Namun keduanya saling berseberangan. Terutama
setelah ada pandemi Covid-19.

“Jangan seperti pendeta yang besaaar itu,
yang sampai berani mengatakan akan menghentikan Covid-19,” ujar Stephen
Tong.

“Itu pengkhianatan. Itu meng-copy Tuhan Yesus. Itu
tidak boleh,” tambahnya.

Selebihnya tonton sendiri videonya. Yang
dimaksud ‘pendeta yang besaaar itu’, ya, Niko itu.

Niko –dalam khotbahnya yang diunggah di
YouTube– mengaku telah dibisiki Tuhan Yesus untuk menghentikan Covid-19.

Caranya?

Seperti Yesus menghentikan topan dan gelombang yang
mengguncang perahu-Nya. “Angin, diamlah! Gelombang, berhentilah!”
ujar Niko menirukan hardikan Yesus kala itu. Lengkap dengan ekspresi ketegasan
dan suara bentakannya.

Saat itu juga, kata Niko, topan dan gelombang
berhenti.

Maka di tengah pandemi Covid-19 yang menggila
ini pun Niko mengaku dibisiki Yesus. Untuk menghentikannya.

“Maka saya berkata kepada Covid-19.
Diamlah! Berhenti!,” teriaknya seperti menghardik Covid-19.

Khotbah itulah yang dikritik Pendeta Stephen
Tong.

“Kalau ia memang bisa menghentikan
Covid-19, coba kumpulkan ribuan penderita Covid-19 di Gelora Bung Karno.
Sembuhkan!” tantang Pendeta Tong.

Pokoknya serulah. Lihat sendiri videonya di
YouTube. Ramai.

Belum lagi pendeta-pendeta lain yang ikut
nimbrung. Ada yang membela Niko ada yang di belakang Tong. Ada juga yang
mencari jalan tengah –tetapi jatuhnya di seberang semuanya.

Salah satu di antara pendeta itu ada yang
menghubungkan Covid-19 dengan gerakan anti-Kristus. Katanya: dengan Covid ini
akan ada alasan dari pihak yang anti-Kristus untuk memasang chip di dahi dan di
lengan manusia.

Itu, katanya, persis seperti yang digambarkan
dalam Injil –Wahyu 6, ayat 16-18.

Apa kesimpulan pendeta itu? “Turunnya Tuhan
Yesus yang kedua sudah dekat,” tegasnya.

Artinya, kiamat sudah dekat.

Siapa golongan anti-Kristus yang dimaksud?

Tak lain persis seperti yang digambarkan dalam
novel Da Vinci Code: Golongan Primasoni!

Dari episode ini Islam ternyata tidak memusuhi
Kristen. Dan Kristen tidak memusuhi Islam.

Mereka lagi punya musuh bersama: musuh yang tidak tampak di mata.(***)

Agama pun terguncang. Islam, Kristen kurang lebih sama. Khususnya di
kalangan ulama-ulamanya.

Di kalangan Islam soal Ahlusunah dan Jabariyah
ramai disoal. Juga jadwal kapan Covid-19 akan lenyap menurut agama.

Di kalangan Kristen ramai soal copy meng-copy Tuhan Yesus.
Termasuk soal dahi yang bertanda.

Semua itu berseliweran di media sosial. Yang
Islam bisa mengikuti gejolak yang di Kristen. Yang Kristen tahu apa yang
terjadi di kalangan Islam.

YouTube telah membuang sekat antara masjid dan
gereja. Rasanya sulit mencari kesepakatan mana yang benar.

Masyarakatlah yang jadi juri terbaik. Dengan
kesimpulan mereka sendiri-sendiri.

Ternyata di semua agama ulamanya terbelah. Dan
itu masih lebih baik. Daripada tercabik-cabik. Atau dicabik-cabik.

Ulama sekelas Aa Gym dan Ustaz Abdul Somad ikut
berseliweran. Mereka bicara seputar boleh tidaknya tidak salat Jumat – -di masa
Covid-19 seperti ini.

Aa Gym yang lembut jadi seperti pembawa acara. Narasumbernya Ustaz Abdul
Somad yang keras –setidaknya nada suaranya.

Persoalannya mengapa masjid yang selama ini
dikenal ahlusunah –yang moderat– lebih banyak tetap melaksanakan salat Jumat.

Apa kata Ustaz Somad?

“Mereka itu mengaku saja Ahlusunah. Tapi
sebenarnya Jabariyah,” begitu kurang lebih penjelasannya.

Alasannya? Ikuti sendiri di video yang beredar
luas itu.

Silakan.

Ada juga yang seperti ahli hadis –ahli tentang
apa saja yang pernah diucapkan dan dilakukan Nabi Muhammad. Videonya juga
beredar luas, tetapi saya tidak kenal siapa ia.

Penampilan fisiknya mirip ulama ahli hadis.
Pakai jubah dan tutup kepala –mirip salah satu aliran sufi.

Latar belakangnya deretan buku dalam bahasa
Arab. Dari kiri luar sampai kanan luar. Dari rak atas sampai rak bawah.

Ia bilang Covid-19 ini akan lenyap sebentar
lagi. Hilang dari muka bumi. Kapan?

“Bulan Mei,” katanya tegas.

Itu, katanya, sesuai dengan hadis –ucapan Nabi
Muhammad.

Ia pun mengutip hadisnya –termasuk literatur
kitab-kitab dan endorser-nya: ulama besar kelas dunia di masa lalu.

Melihat video itu saya benar-benar horeeeee!
Mei sudah di depan mata. Covid-19 segera lenyap dari bumi.

Horeeeee saya itu ternyata tidak lama.
Terbacalah oleh saya tulisan Prof. DR. Moch Nur Ichwan. “Itu memanipulasi
hadis,” tulisnya. (Tulisan
lengkapnya di sini: Meramal Akhir Covid-19 dengan (Memanipulasi) Hadis Nabi)

Nur Ichwan terlalu cepat menerbitkan
tulisannya. Padahal saya ingin agak lama sedikit memimpikan datangnya bulan
Mei.

Baca Juga :  Masih Banyak Temui Pelanggar, Satgas Jaring 42 Warga Tak Patuhi Prokes

Dr. Nur Ichwan adalah dosen Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Masternya dari Leiden University, Belanda.
Gelar doktornya dari Tilburg University –antara Leiden dan Eindhoven. Ia
pernah mondok di nJorsan, Ponorogo.

Penjelasannya detail sekali. Kok saya jadi
setuju dengan Nur Ichwan. Meski harus kehilangan harapan pada Mei.

Tentu, bisa saja saya balik menyenangi bulan
Mei. Kalau ada penjelasan tandingan dari yang seperti ahli hadis tadi.

Di samping dua masalah itu masih banyak
perdebatan lain tentang Covid-19 dari sudut Islam. Namun ya sudahlah.

Kan perlu tahu juga yang terjadi di kalangan
Kristen. Yang lalu lintas medsosnya didominasi oleh pendeta Niko Njotorahardjo
dan pendeta Stephen Tong.

Dua-duanya hebat. Keduanya sudah tua. Niko 71
tahun. Tong 79 tahun. Dua-duanya punya pengikut yang sangat besar.

Seimbang. Dari segi itu.

Pendeta Niko lahir di Bondowoso. Ia jadi
pendeta atas bimbingan Pendeta Dr. Abraham Alex Tanuseputra.

Di Surabaya Pendeta Alex ini amat terkenal.
Ia-lah pendiri gereja Bethany di Semolowaru, Surabaya. Yang gerejanya sangat
besar dengan arsitektur dom –seperti sebuah convention center.

Bethany lantas dikenal sebagai gereja yang kaya
raya. Dengan jemaat yang kaya-kaya.

Ketika Bethany mengembangkan diri ke Jakarta,
Niko-lah yang dipercaya sebagai pimpinan Bethany wilayah barat. Niko menjadi
terkenal di Jakarta. Jemaatnya terus bertambah. Lalu mendirikan gereja sendiri
di luar Bethany –Gereja Bethel Indonesia.

Gereja baru itu menempati Gereja Bethany yang
di Jakarta itu –entah bagaimana hitungannya. Di pusatnya sendiri, di Surabaya,
Bethany juga pecah, bahkan sangat serius.

Saling pecat. Pun antara anak kandung dan bapak
biologis. Saling gugat pula ke pengadilan.

Bethany punya ratusan cabang. Termasuk beberapa
di Amerika Serikat. Saya pernah ke salah satu cabang gerejanya. Yang di
Philladelphia.

Perkembangan gereja Niko juga pesat. Kini sudah
punya 700 cabang di seluruh Indonesia. Juga di luar negeri.

Akan hal Stephen Tong, untuk apa diperkenalkan?
Ia sudah lebih dari terkenal. Ia-lah salah satu pendiri Institut Injil
Indonesia di Batu, Malang.

Baca Juga :  Penutupan Porprov, Panitia Suguhkan Tarian Daerah dan Artis Ibukota

Dua-duanya jago berkhotbah. Apalagi ketika
belum tua. Sama-sama pandai bicara Mandarin dan Inggris.

Dua-duanya pandai menyanyi. Dua-duanya pencipta
lagu-lagu rohani. Mereka juga sering khotbah di mancanegara.

Dua-duanya banyak tampil di YouTube.

Namun keduanya saling berseberangan. Terutama
setelah ada pandemi Covid-19.

“Jangan seperti pendeta yang besaaar itu,
yang sampai berani mengatakan akan menghentikan Covid-19,” ujar Stephen
Tong.

“Itu pengkhianatan. Itu meng-copy Tuhan Yesus. Itu
tidak boleh,” tambahnya.

Selebihnya tonton sendiri videonya. Yang
dimaksud ‘pendeta yang besaaar itu’, ya, Niko itu.

Niko –dalam khotbahnya yang diunggah di
YouTube– mengaku telah dibisiki Tuhan Yesus untuk menghentikan Covid-19.

Caranya?

Seperti Yesus menghentikan topan dan gelombang yang
mengguncang perahu-Nya. “Angin, diamlah! Gelombang, berhentilah!”
ujar Niko menirukan hardikan Yesus kala itu. Lengkap dengan ekspresi ketegasan
dan suara bentakannya.

Saat itu juga, kata Niko, topan dan gelombang
berhenti.

Maka di tengah pandemi Covid-19 yang menggila
ini pun Niko mengaku dibisiki Yesus. Untuk menghentikannya.

“Maka saya berkata kepada Covid-19.
Diamlah! Berhenti!,” teriaknya seperti menghardik Covid-19.

Khotbah itulah yang dikritik Pendeta Stephen
Tong.

“Kalau ia memang bisa menghentikan
Covid-19, coba kumpulkan ribuan penderita Covid-19 di Gelora Bung Karno.
Sembuhkan!” tantang Pendeta Tong.

Pokoknya serulah. Lihat sendiri videonya di
YouTube. Ramai.

Belum lagi pendeta-pendeta lain yang ikut
nimbrung. Ada yang membela Niko ada yang di belakang Tong. Ada juga yang
mencari jalan tengah –tetapi jatuhnya di seberang semuanya.

Salah satu di antara pendeta itu ada yang
menghubungkan Covid-19 dengan gerakan anti-Kristus. Katanya: dengan Covid ini
akan ada alasan dari pihak yang anti-Kristus untuk memasang chip di dahi dan di
lengan manusia.

Itu, katanya, persis seperti yang digambarkan
dalam Injil –Wahyu 6, ayat 16-18.

Apa kesimpulan pendeta itu? “Turunnya Tuhan
Yesus yang kedua sudah dekat,” tegasnya.

Artinya, kiamat sudah dekat.

Siapa golongan anti-Kristus yang dimaksud?

Tak lain persis seperti yang digambarkan dalam
novel Da Vinci Code: Golongan Primasoni!

Dari episode ini Islam ternyata tidak memusuhi
Kristen. Dan Kristen tidak memusuhi Islam.

Mereka lagi punya musuh bersama: musuh yang tidak tampak di mata.(***)

Terpopuler

Artikel Terbaru