33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Mendidik Manusia Setengah Cyborg

BU TEDJO menggambarkan kultur bergosip manusia Indonesia. Itulah
kesan utama yang ditangkap dalam film Tilik. Berbeda halnya dengan sosok Alex
Murphy. Dia pemeran utama pada film Robocop. Dialah gambaran masa depan.
Manusia setengah robot (cyborg). Apakah Bu Tedjo akan berganti sosok jadi Bu
Teborg (Tedjo setengah robot) di masa depan?

Dalam hal robotik, prestasi
bangsa kita cukup gemilang. Di dunia, tim robotik ITS menjuarai lomba robotik
tingkat Asia-Pasifik (ABU) tahun 2011 lalu. Tahun 2013, tim robotik UGM
menyabet dua emas di ajang Olimpiade Robotik Dunia di Amerika.

Geliat robotik dalam negeri pun
terus mengencang. Misalnya, muncul produksi robot tari dari Unesa. Robot
penjinak bom dari LIPI. Robot pemadam api dari Universitas Sultang Agung. Robot
tempur Aurora buatan Yohanes Surya. Dan itu semua masih sekelumit contoh saja.

Di tengah pandemi Covid-19, peran
robot memang diperlukan. Minimal membantu penanganan pasien di institusi medis.
Misalnya robot RAISA yang diciptakan ITS dan Unair. RAISA ini bisa mengantarkan
makanan, pakaian, dan obat-obatan.

Serupa dengannya, baru-baru ini
Unesa meluncurkan robot Kece. Sedikit beda dari RAISA, robot tersebut mampu
mendeteksi suhu tubuh dan oksigen dari jarak 5 meter. Plus dilengkapi fitur
pemutar musik. Agar tim medis dan pasien Covid-19 bisa membunuh tekanan
psikologis.

Hanya, peringkat produksi
teknologi robotik Indonesia masih tampak tertinggal. Dari data IFR
(International Federation of Robotics) tahun 2010-2011, kita hanya memproduksi
3.500 unit. Hal itu terlihat jauh dari produksi negara Jepang (28.000 unit),
Korsel (25.536 unit), dan Tiongkok (22.557 unit). Bahkan, pengembangan keilmuan
kecerdasan buatan (AI) belum mengejar negeri tetangganya.

Indonesia berada di posisi ke-61
di tingkat dunia. Sementara itu, Tiongkok di posisi ke-1, Taiwan ke-2, Jepang
peringkat ke-6, Malaysia ke-18, dan Singapura ke-19.

Baca Juga :  Kelurahan Diminta Bangun Sumur Bor

Persoalan ekonomi politik
merupakan persoalan klasik di negeri ini. Aspek itu dituding biang keladi
lambannya daya lenting pendidikan kita. Kita merasa miris menyibak
kesejahteraan pendidiknya. Gaji guru pemula (D-3) di negeri jiran setara gaji
pokok bergelar S-1 dan S-2 di sini. Untuk pendidik bergelar S-1 dan S-2 di
sana, gaji pokoknya mencapai belasan juta rupiah. Itu belum pemberian laptop
gratis, tempat tinggal, mobil, dan tunjangan lainnya. Gaji pokok guru dan dosen
kita pun sekitar tiga kali di bawah gaji buruh Tiongkok.

Coba bandingkan dengan gaji dan
tunjangan anggota dewan kita. Setiap bulan mereka menerima sekitar Rp 50 juta
lebih. Itu rata-rata pendapatan para anggota dewan pusat. Sedangkan untuk
anggota dewan provinsi separo di bawahnya. Setiap bulannya mereka membawa
pulang sekitar Rp 27 juta.

Namun, kebijakan strategis
pendidikan justru melibatkan perannya. Misalnya pembatalan UN, anggaran
pendidikan, solusi program di era pendemi, dan UU Sisdiknas.

Meski tak semua berlatar belakang
pendidik, mereka punya otoritas terhadap perubahan kebijakan ini. Anehnya,
lembaga perwakilan rakyat itu sekitar 40 persen tak dipercaya publik (survei
LSI, 2019). Karena tabiat koruptifnya dan manis di bibir saja.

Hal itu disebabkan adanya
mekanisme biopolitik yang rapuh. Menurut Foucault (1976), kuasa biopolitik
membatasi orang lain dalam legislasi administratif dan populatif. Kaum lemah
hanya diposisikan sebagai akumulasi kuantitas. Rakyat yang menjadi alasan
rasionalitasnya mengacu pada wacana semata. Sedangkan modal dukungan riilnya
berbasis partai dan pemodal di belakangnya. Maka, selalu ada rumor adanya motif
transaksional. Sehingga kebijakan yang ditelurkannya cenderung bertepuk sebelah
tangan.

Rapuhnya biopolitik itu
memunculkan manifesto robotik. Manifesto robotik ini sangat diperlukan karena
teknologi kecerdasan buatan mengubah tatanan sosial baru (Haraway, 2016).

Baca Juga :  Perayaan Dies Natalis ke-57 Dilaksanakan secara Daring

Pertama, pemisahan antara sifat
kebinatangan dan kemanusiaan. Perlu adanya manusia baru dengan pemanfaatan
teknologi. Bukan manusia baru seperti kisah monster Frankenstein. Manusia baru
itu memiliki kemampuan untuk melayani rakyat kecil. Termasuk membatasi
pengkhianatan politik kerakyatan. Misalnya, setiap elite politik memiliki aplikasi
kritik sosial dan keterbukaan kinerjanya.

Kedua, hibridisasi kealaman.
Belakangan ini muncul profesi baru di kalangan masyarakat. Seperti desainer
grafis, YouTuber, vloger, jurnalis warga, musisi indie, dan gamer. Semuanya
terkait erat dengan teknologi nirkabel. Sehingga pemerintah perlu membuat
infrastruktur jaringan memadai.

Tetapi, di antara mereka harus
ada yang mengakomodasi kekayaan alam kita. Sehingga produksi kreatif mereka
turut mendistribusikan hasil alam Indonesia. Termasuk membuat robotik pengawas.
Supaya kedaulatan alam kita tak mudah dijarah. Bahkan ikut menjadi robotik
pendeteksi ancaman musuh dari luar negeri.

Ketiga, melampaui kegenderan.
Selama ini pencipta teknologi dan kreasi robotik didominasi laki-laki. Tak
heran muncul cibiran sosial. Terutama tertuju pada perempuan yang belajar di
sekolah teknik. Sehingga masyarakat perlu diberi pengetahuan akan pentingnya
pendidikan gender. Dan kejuruan teknik atau kompetensi teknologi lainnya harus
seimbang secara gender. Sehingga mereka mungkin terinspirasi dari sosok Bu
Tedjo itu. Lantas membuat teknologi gosip yang emansipatoris.

Ringkasnya, robotik feminis yang
mendidik kaum laki-laki. Seperti apa modelnya? Itulah tugas mereka.

Ke depan, tatanan baru dunia akan
mengarah pada masyarakat teknologis. Termasuk Indonesia. Tetapi, yang harus
disadari, teknologi adalah alat (mediasi). Keutamaan manusianya harus prima. Di
sanalah kekuatan ilmu sosial humaniora penting dirawat dan dijaga. Supaya
menghindari munculnya manusia setengah Frankenstein. (*)

(Sosiolog pendidikan kritis dan
kajian budaya di Departemen Sosiologi Unesa)

BU TEDJO menggambarkan kultur bergosip manusia Indonesia. Itulah
kesan utama yang ditangkap dalam film Tilik. Berbeda halnya dengan sosok Alex
Murphy. Dia pemeran utama pada film Robocop. Dialah gambaran masa depan.
Manusia setengah robot (cyborg). Apakah Bu Tedjo akan berganti sosok jadi Bu
Teborg (Tedjo setengah robot) di masa depan?

Dalam hal robotik, prestasi
bangsa kita cukup gemilang. Di dunia, tim robotik ITS menjuarai lomba robotik
tingkat Asia-Pasifik (ABU) tahun 2011 lalu. Tahun 2013, tim robotik UGM
menyabet dua emas di ajang Olimpiade Robotik Dunia di Amerika.

Geliat robotik dalam negeri pun
terus mengencang. Misalnya, muncul produksi robot tari dari Unesa. Robot
penjinak bom dari LIPI. Robot pemadam api dari Universitas Sultang Agung. Robot
tempur Aurora buatan Yohanes Surya. Dan itu semua masih sekelumit contoh saja.

Di tengah pandemi Covid-19, peran
robot memang diperlukan. Minimal membantu penanganan pasien di institusi medis.
Misalnya robot RAISA yang diciptakan ITS dan Unair. RAISA ini bisa mengantarkan
makanan, pakaian, dan obat-obatan.

Serupa dengannya, baru-baru ini
Unesa meluncurkan robot Kece. Sedikit beda dari RAISA, robot tersebut mampu
mendeteksi suhu tubuh dan oksigen dari jarak 5 meter. Plus dilengkapi fitur
pemutar musik. Agar tim medis dan pasien Covid-19 bisa membunuh tekanan
psikologis.

Hanya, peringkat produksi
teknologi robotik Indonesia masih tampak tertinggal. Dari data IFR
(International Federation of Robotics) tahun 2010-2011, kita hanya memproduksi
3.500 unit. Hal itu terlihat jauh dari produksi negara Jepang (28.000 unit),
Korsel (25.536 unit), dan Tiongkok (22.557 unit). Bahkan, pengembangan keilmuan
kecerdasan buatan (AI) belum mengejar negeri tetangganya.

Indonesia berada di posisi ke-61
di tingkat dunia. Sementara itu, Tiongkok di posisi ke-1, Taiwan ke-2, Jepang
peringkat ke-6, Malaysia ke-18, dan Singapura ke-19.

Baca Juga :  Kelurahan Diminta Bangun Sumur Bor

Persoalan ekonomi politik
merupakan persoalan klasik di negeri ini. Aspek itu dituding biang keladi
lambannya daya lenting pendidikan kita. Kita merasa miris menyibak
kesejahteraan pendidiknya. Gaji guru pemula (D-3) di negeri jiran setara gaji
pokok bergelar S-1 dan S-2 di sini. Untuk pendidik bergelar S-1 dan S-2 di
sana, gaji pokoknya mencapai belasan juta rupiah. Itu belum pemberian laptop
gratis, tempat tinggal, mobil, dan tunjangan lainnya. Gaji pokok guru dan dosen
kita pun sekitar tiga kali di bawah gaji buruh Tiongkok.

Coba bandingkan dengan gaji dan
tunjangan anggota dewan kita. Setiap bulan mereka menerima sekitar Rp 50 juta
lebih. Itu rata-rata pendapatan para anggota dewan pusat. Sedangkan untuk
anggota dewan provinsi separo di bawahnya. Setiap bulannya mereka membawa
pulang sekitar Rp 27 juta.

Namun, kebijakan strategis
pendidikan justru melibatkan perannya. Misalnya pembatalan UN, anggaran
pendidikan, solusi program di era pendemi, dan UU Sisdiknas.

Meski tak semua berlatar belakang
pendidik, mereka punya otoritas terhadap perubahan kebijakan ini. Anehnya,
lembaga perwakilan rakyat itu sekitar 40 persen tak dipercaya publik (survei
LSI, 2019). Karena tabiat koruptifnya dan manis di bibir saja.

Hal itu disebabkan adanya
mekanisme biopolitik yang rapuh. Menurut Foucault (1976), kuasa biopolitik
membatasi orang lain dalam legislasi administratif dan populatif. Kaum lemah
hanya diposisikan sebagai akumulasi kuantitas. Rakyat yang menjadi alasan
rasionalitasnya mengacu pada wacana semata. Sedangkan modal dukungan riilnya
berbasis partai dan pemodal di belakangnya. Maka, selalu ada rumor adanya motif
transaksional. Sehingga kebijakan yang ditelurkannya cenderung bertepuk sebelah
tangan.

Rapuhnya biopolitik itu
memunculkan manifesto robotik. Manifesto robotik ini sangat diperlukan karena
teknologi kecerdasan buatan mengubah tatanan sosial baru (Haraway, 2016).

Baca Juga :  Perayaan Dies Natalis ke-57 Dilaksanakan secara Daring

Pertama, pemisahan antara sifat
kebinatangan dan kemanusiaan. Perlu adanya manusia baru dengan pemanfaatan
teknologi. Bukan manusia baru seperti kisah monster Frankenstein. Manusia baru
itu memiliki kemampuan untuk melayani rakyat kecil. Termasuk membatasi
pengkhianatan politik kerakyatan. Misalnya, setiap elite politik memiliki aplikasi
kritik sosial dan keterbukaan kinerjanya.

Kedua, hibridisasi kealaman.
Belakangan ini muncul profesi baru di kalangan masyarakat. Seperti desainer
grafis, YouTuber, vloger, jurnalis warga, musisi indie, dan gamer. Semuanya
terkait erat dengan teknologi nirkabel. Sehingga pemerintah perlu membuat
infrastruktur jaringan memadai.

Tetapi, di antara mereka harus
ada yang mengakomodasi kekayaan alam kita. Sehingga produksi kreatif mereka
turut mendistribusikan hasil alam Indonesia. Termasuk membuat robotik pengawas.
Supaya kedaulatan alam kita tak mudah dijarah. Bahkan ikut menjadi robotik
pendeteksi ancaman musuh dari luar negeri.

Ketiga, melampaui kegenderan.
Selama ini pencipta teknologi dan kreasi robotik didominasi laki-laki. Tak
heran muncul cibiran sosial. Terutama tertuju pada perempuan yang belajar di
sekolah teknik. Sehingga masyarakat perlu diberi pengetahuan akan pentingnya
pendidikan gender. Dan kejuruan teknik atau kompetensi teknologi lainnya harus
seimbang secara gender. Sehingga mereka mungkin terinspirasi dari sosok Bu
Tedjo itu. Lantas membuat teknologi gosip yang emansipatoris.

Ringkasnya, robotik feminis yang
mendidik kaum laki-laki. Seperti apa modelnya? Itulah tugas mereka.

Ke depan, tatanan baru dunia akan
mengarah pada masyarakat teknologis. Termasuk Indonesia. Tetapi, yang harus
disadari, teknologi adalah alat (mediasi). Keutamaan manusianya harus prima. Di
sanalah kekuatan ilmu sosial humaniora penting dirawat dan dijaga. Supaya
menghindari munculnya manusia setengah Frankenstein. (*)

(Sosiolog pendidikan kritis dan
kajian budaya di Departemen Sosiologi Unesa)

Terpopuler

Artikel Terbaru