28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Pemerintah Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Langsung

JAKARTA – Pemerintah berencana segera mengkaji evaluasi
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang selama ini dilakukan
secara langsung. Evaluasi diklaim bukan untuk mengembalikan ke Pilkada tidak
langsung.

Kemarin, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (BPP Kemendagri), melakukan pertemuan
dengan sejumlah pihak untuk membahas kolaborasi kajian evaluasi pemilihan
kepala daerah (Pilkada). Kegiatan ini sebagai tindak lanjut dari proses pembahasan
sebelumnya, bersama sejumlah pihak yang terlibat dalam kajian.

Hadir dalam kegiatan tersebut,
Pelaksana Tugas Kepala BPP Kemendagri Agus Fatoni, Staf Khusus Menteri Dalam
Negeri (Mendagri) Kastorius Sinaga dan sejumlah lembaga pegiat pemilu.

Hadir pula sejumlah lembaga think
tank independen yang diajak kerja sama. Seperti dari Pusat Kajian Politik
Universitas Indonesia (Puskapol UI), Litbang Kompas, Perkumpulan untuk Pemilu
dan Demokrasi, Perhimpunan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi
Sosial (LP3ES), serta Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Fatoni yang memimpin jalannya
rapat menuturkan, pertemuan itu bermaksud untuk membahas persiapan kolaborasi
kajian evaluasi Pilkada. Ia juga menyebutkan, beberapa masukan dari Mendagri
terkait jalannya kajian. Dengan menggandeng lembaga think tank independen,
Fatoni berharap kajian yang dihasilkan dapat lebih objektif.

Selain itu, sejumlah lembaga
litbang harus dapat mengambil peran di berbagai sisi dan isu yang diambil tidak
tumpang tindih. “Diharapkan hasilnya optimal dan tidak overlapping,” kata
Fatoni di Jakarta, Sabtu (7/3).

Senada dengan Fatoni, Kastorius
menyebutkan, kajian ini merupakan komitmen Mendagri untuk mengevaluasi Pilkada
dari lembaga Litbang di luar Kemendagri. Dengan langkah ini diharapkan mendapat
gambaran secara independen berbasis ilmiah. Sebab, jika kajian itu dilakukan
oleh internal Kemendagri dikhawatirkan hasilnya bakal cenderung bias.

Baca Juga :  Lebaran dalam Kesederhanaan

“Karenanya kami sangat
membutuhkan evaluasi dari lembaga penelitian yang memiliki kepentingan untuk
membangun Indonesia,” jelasnya.

Tahun ini, lanjutnya, Indonesia
telah memasuki gelaran Pilkada Langsung yang keempat. Hal itu wajar jika
dilakukan evaluasi. Terutama menyangkut penyelenggaraan pilkada dalam proses
demokrasi.

Kajian ini, merupakan upaya untuk
melahirkan rekomendasi kebijakan perbaikan. Dirinya menepis anggapan
masyarakat, yang menilai langkah evaluasi hendak menerapkan pilkada dengan
metode lama.

Evaluasi yang dilakukan justru
ingin menentukan langkah yang lebih efektif, terutama dalam rangka memperkuat
demokrasi dan pembangunan di Indonesia.

“Bukan kita ingin memutar arah
jarum jam kembali ke isu-isu yang lama. Tetapi demi efektivitas dari Pilkada
dalam rangka penguatan demokrasi kita, dan selaras dengan pembangunan kita
termasuk dalam hal ekonomi,” jelasnya.

Dirinya menekankan, Kemendagri
tidak ingin mencampuri dari segi muatan evaluasi pilkada yang dilaksanakan
lembaga independen tersebut. Muatan yang dimaksud, baik berupa metodologi,
variabel yang digunakan, maupun fokus aspek kajian (ekonomi, politik, sosial,
maupun dampaknya).

Kemendagri, lanjut Kastorius,
menyerahkan kajian itu kepada masing-masing lembaga litbang. Secara fungsi,
Kemendagri hanya berperan sebagai pendukung anggaran agar penelitian ini
berlangsung maksimal.

Sementara itu, berbagai lembaga
litbang yang hadir mengapresiasi ihwal langkah kerja sama tersebut. Mereka
berharap kajian evaluasi ini benar-benar dilakukan secara indepen. Di sisi
lain, lembaga litbang juga menyampaikan sejumlah isu penting menyangkut
pilkada.

Seperti yang disebutkan salah
satu peneliti Puskapol UI, Aditya. Ia menyampaikan isu yang dinilainya menarik.
Yakni, mengupas dampak jalannya pilkada terhadap tata kelola pemerintahan,
apakah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Isu lainnya seperti otonomi khusus
juga turut disoroti. “Kami ingin memfokuskan soal dampak,” ucapnya.

Baca Juga :  Membaca Dimensi Politik Kesepakatan Abad Ini

Direktur CSIS Philips J Vermonte,
menyebutkan beberapa kondisi yang perlu dipersiapkan, jika orientasi dari
kajian hendak membenahi regulasi. Di sisi lain, katanya, secara substansi
mengevaluasi Pilkada tidak bisa berdiri sendiri. Tetapi juga perlu melihat
berbagai faktor yang turut memengaruhi. Karenanya, CSIS akan berusaha
mengevaluasi jalannya Pilkada secara menyeluruh, baik dari aspek ekonomi maupun
politik.

Sebelumnya, Pengamat politik
Ujang Komarudin memaparkan, jika nantinya kepala daerah dipilih oleh DPRD,
kandidat akan melobi ketua parpol untuk mendukungnya di parlemen. Kandidat yang
mampu melobi dua partai terbanyak di parlemen,dipastikan menang dalam pemilihan
tersebut.

“Coba itu berapa per kepala? Apa
Rp500 juta apa Rp1 miliar. Menurut saya hal itu akan terjadi. Jangan munafik
terkait hal tersebut,” kata Ujang kepada Fajar Indonesia Network (FIN) di
Jakarta, Sabtu (7/3).

Dia menganalogikan, jika di DPRD
ada 50 kursi. Partai A memiliki 14 kursi dan partai B 12 kursi. Kedua partai
tersbut tinggal berkoalisi dan dipastikan bisa mengusung kepala daerah. Karena
sudah punya 26 suara.

“Saya rasa ini kemunduran
demokrasi. Wacana ini pernah mencuat pada era pak SBY, kamudian di Perppu.
Sekarang muncul lagi. Sudah bisa ditebak arahnya kemana,” papar Direktur
Eksekutif Indonesia Political Review ini.

Jika pilkada dilaksanakan secara
tidak langsung, siapa pemenang sudah bisa ditentukan sebelum pemilihan dimulai.
Bahkan, pilkada bisa dijadikan permainan oleh elit. Sedangkan rakyat, hanya
jadi penonton tanpa diikutsertakan. (khf/fin/rh/kpc)

JAKARTA – Pemerintah berencana segera mengkaji evaluasi
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang selama ini dilakukan
secara langsung. Evaluasi diklaim bukan untuk mengembalikan ke Pilkada tidak
langsung.

Kemarin, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (BPP Kemendagri), melakukan pertemuan
dengan sejumlah pihak untuk membahas kolaborasi kajian evaluasi pemilihan
kepala daerah (Pilkada). Kegiatan ini sebagai tindak lanjut dari proses pembahasan
sebelumnya, bersama sejumlah pihak yang terlibat dalam kajian.

Hadir dalam kegiatan tersebut,
Pelaksana Tugas Kepala BPP Kemendagri Agus Fatoni, Staf Khusus Menteri Dalam
Negeri (Mendagri) Kastorius Sinaga dan sejumlah lembaga pegiat pemilu.

Hadir pula sejumlah lembaga think
tank independen yang diajak kerja sama. Seperti dari Pusat Kajian Politik
Universitas Indonesia (Puskapol UI), Litbang Kompas, Perkumpulan untuk Pemilu
dan Demokrasi, Perhimpunan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi
Sosial (LP3ES), serta Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Fatoni yang memimpin jalannya
rapat menuturkan, pertemuan itu bermaksud untuk membahas persiapan kolaborasi
kajian evaluasi Pilkada. Ia juga menyebutkan, beberapa masukan dari Mendagri
terkait jalannya kajian. Dengan menggandeng lembaga think tank independen,
Fatoni berharap kajian yang dihasilkan dapat lebih objektif.

Selain itu, sejumlah lembaga
litbang harus dapat mengambil peran di berbagai sisi dan isu yang diambil tidak
tumpang tindih. “Diharapkan hasilnya optimal dan tidak overlapping,” kata
Fatoni di Jakarta, Sabtu (7/3).

Senada dengan Fatoni, Kastorius
menyebutkan, kajian ini merupakan komitmen Mendagri untuk mengevaluasi Pilkada
dari lembaga Litbang di luar Kemendagri. Dengan langkah ini diharapkan mendapat
gambaran secara independen berbasis ilmiah. Sebab, jika kajian itu dilakukan
oleh internal Kemendagri dikhawatirkan hasilnya bakal cenderung bias.

Baca Juga :  Lebaran dalam Kesederhanaan

“Karenanya kami sangat
membutuhkan evaluasi dari lembaga penelitian yang memiliki kepentingan untuk
membangun Indonesia,” jelasnya.

Tahun ini, lanjutnya, Indonesia
telah memasuki gelaran Pilkada Langsung yang keempat. Hal itu wajar jika
dilakukan evaluasi. Terutama menyangkut penyelenggaraan pilkada dalam proses
demokrasi.

Kajian ini, merupakan upaya untuk
melahirkan rekomendasi kebijakan perbaikan. Dirinya menepis anggapan
masyarakat, yang menilai langkah evaluasi hendak menerapkan pilkada dengan
metode lama.

Evaluasi yang dilakukan justru
ingin menentukan langkah yang lebih efektif, terutama dalam rangka memperkuat
demokrasi dan pembangunan di Indonesia.

“Bukan kita ingin memutar arah
jarum jam kembali ke isu-isu yang lama. Tetapi demi efektivitas dari Pilkada
dalam rangka penguatan demokrasi kita, dan selaras dengan pembangunan kita
termasuk dalam hal ekonomi,” jelasnya.

Dirinya menekankan, Kemendagri
tidak ingin mencampuri dari segi muatan evaluasi pilkada yang dilaksanakan
lembaga independen tersebut. Muatan yang dimaksud, baik berupa metodologi,
variabel yang digunakan, maupun fokus aspek kajian (ekonomi, politik, sosial,
maupun dampaknya).

Kemendagri, lanjut Kastorius,
menyerahkan kajian itu kepada masing-masing lembaga litbang. Secara fungsi,
Kemendagri hanya berperan sebagai pendukung anggaran agar penelitian ini
berlangsung maksimal.

Sementara itu, berbagai lembaga
litbang yang hadir mengapresiasi ihwal langkah kerja sama tersebut. Mereka
berharap kajian evaluasi ini benar-benar dilakukan secara indepen. Di sisi
lain, lembaga litbang juga menyampaikan sejumlah isu penting menyangkut
pilkada.

Seperti yang disebutkan salah
satu peneliti Puskapol UI, Aditya. Ia menyampaikan isu yang dinilainya menarik.
Yakni, mengupas dampak jalannya pilkada terhadap tata kelola pemerintahan,
apakah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Isu lainnya seperti otonomi khusus
juga turut disoroti. “Kami ingin memfokuskan soal dampak,” ucapnya.

Baca Juga :  Membaca Dimensi Politik Kesepakatan Abad Ini

Direktur CSIS Philips J Vermonte,
menyebutkan beberapa kondisi yang perlu dipersiapkan, jika orientasi dari
kajian hendak membenahi regulasi. Di sisi lain, katanya, secara substansi
mengevaluasi Pilkada tidak bisa berdiri sendiri. Tetapi juga perlu melihat
berbagai faktor yang turut memengaruhi. Karenanya, CSIS akan berusaha
mengevaluasi jalannya Pilkada secara menyeluruh, baik dari aspek ekonomi maupun
politik.

Sebelumnya, Pengamat politik
Ujang Komarudin memaparkan, jika nantinya kepala daerah dipilih oleh DPRD,
kandidat akan melobi ketua parpol untuk mendukungnya di parlemen. Kandidat yang
mampu melobi dua partai terbanyak di parlemen,dipastikan menang dalam pemilihan
tersebut.

“Coba itu berapa per kepala? Apa
Rp500 juta apa Rp1 miliar. Menurut saya hal itu akan terjadi. Jangan munafik
terkait hal tersebut,” kata Ujang kepada Fajar Indonesia Network (FIN) di
Jakarta, Sabtu (7/3).

Dia menganalogikan, jika di DPRD
ada 50 kursi. Partai A memiliki 14 kursi dan partai B 12 kursi. Kedua partai
tersbut tinggal berkoalisi dan dipastikan bisa mengusung kepala daerah. Karena
sudah punya 26 suara.

“Saya rasa ini kemunduran
demokrasi. Wacana ini pernah mencuat pada era pak SBY, kamudian di Perppu.
Sekarang muncul lagi. Sudah bisa ditebak arahnya kemana,” papar Direktur
Eksekutif Indonesia Political Review ini.

Jika pilkada dilaksanakan secara
tidak langsung, siapa pemenang sudah bisa ditentukan sebelum pemilihan dimulai.
Bahkan, pilkada bisa dijadikan permainan oleh elit. Sedangkan rakyat, hanya
jadi penonton tanpa diikutsertakan. (khf/fin/rh/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru